SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (14/8/2017). Esai ini karya Ichwan Prasetyo, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah ichwan.prasetyo@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO — Pada Sabtu-Senin (5-7/8/2017) lalu saya menghadiri pertemuan majelis etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) se-Indonesia di Jakarta.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Sejak organisasi profesi jurnalis ini berdiri pada 1994, baru kali ini ada pertemuan yang secara khusus membahas penegakan kode etik dan pengawasan perilaku para jurnalis sekaligus merumuskan kode perilaku.

Tentu saja penegakan kode etik dan pengawasan perilaku jurnalis dan perumusan kode perilaku itu dalam ranah tugas profesi, bukan urusan lainnya. Acara itu diikuti para jurnalis wakil hampir seluruh AJI Kota di Indonesia, dari Lhokseumawe sampai Jayapura.

Hal terpenting yang mengemuka dalam pertemuan selama tiga hari itu adalah fakta Internet mengakibatkan perubahan besar pada hubungan antara produsen dan konsumen berita. Internet meniscayakan setiap orang yang bisa mengaksesnya menjadi produsen dan penyebar informasi.

Internet dengan platform media sosial menjadikan pengertian sumber berita berubah. Setiap orang dapat menjadi pewarta warga. Pewarta warga menjadi t populer karena banyak orang memilih informasi berdasarkan kesaksian atau rekomendasi dari orang yang dikenal, bukan atas tilikan objektif atas isinya.

Inilah tantangan utama jurnalisme era kini. Jurnalisme yang berpadu dengan media sosial. Dalam salah satu sesi diskusi membahas aneka pelanggaran etika jurnalisme yang terjadi di banyak daerah di Indonesia—tentu pelanggarnya adalah jurnalis anggota AJI karena forum ini memang hanya membahas ”keluarga” AJI—urusan jurnalisme yang bersinggungan dengan media sosial, dengan Internet, menjadi kasus yang jamak.

Persinggungan jurnalisme dengan media sosial, dengan Internet, memunculkan aneka produk jurnalisme yang tidak maksimal, tidak sesuai panduan-panduan etis yang disepakati secara universal.

Di banyak daerah ada saja anggota AJI yang sengaja ”mengkhianati kode etik dan kredo jurnalisme” hanya karena mengejar kecepatan, mengejar sensasi yang menarik perhatian khalayak, dan tentu saja mengejar ”klik” sebanyak-banyaknya.

Produk jurnalisme yang dihasilkan kemudian adalah produk jurnalisme yang belum selesai karena tak diproses secara tuntas sesuai kaidah dan prosedur jurnalisme yang mensyaratkan verifikasi ketat dan bertingkat. Verifikasi malah dianggap hal yang tidak penting. Ini sebenarnya bukan cuma problem etis, tetapi juga urusan kredo.

Pers profesional dengan segala platformnya—cetak, siaran, digital–bertarung keras yang ditandai ketegangan antara kecepatan dan kedalaman. Media sosial telah mengubah budaya “mengonsumsi” berita. Dulu audiens—pembaca, pendengar, pemirsa—pasrah 100% kepada institusi pers.

Selanjutnya adalah: Media sosial mengubah model mengonsumsi berita…

Media sosial

Media sosial mengubah model mengonsumsi berita seperti itu. Kini audiens punya banyak saluran untuk mempertanyakan berita yang disajikan institusi pers. Media sosial menjadi saluran sangat terbuka—layak disebut liberal—yang memberikan banyak pilihan kepada penggunanya untuk memilih, meyakini, memaknai, dan menggunakan informasi, termasuk berita.

Kredo jurnalisme yang sangat ketat dipertanyakan. Berita yang telah melalui tahap-tahap jurnalisme yang sangat ketat dan berdisiplin tinggi diragukan, dipertanyakan, dan dicarikan pembandingnya.

Media sosial memunculkan pilihan bahwa ”berita” tak lagi jadi monopoli institusi pers. Berita bisa dibikin dan disajikan oleh siapa saja. Ketika media sosial berkelindan dengan ’media digital”—pers yang berplatform Internet—budaya yang muncul kemudian adalah ”menikmati informasi” secara selintas lalu.

Daniel Dhakidae dalam esai pendek berjudul Kabar, Surat Kabar, Gunjing, dan Media Sosial di Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Prisma Volume 34 Tahun 2015 menulis semua orang tahu apa itu ”media” dan “sosial”, namun ketika keduanya disatukan menjadi “media sosal” makna yang muncul sama sekali baru, pengertiannya berubah total.

Media sosial bukan lagi urusan “media” dan urusan “sosial”. Media sosial menjelma menjadi “barang baru”, pemain baru di dunia media di luar pemahaman tentang media yang selama sekian lama dimengerti masyarakat.

Media sosial tidak diterbitkan seperti Harian Solopos, tidak disiarkan seperti Radio Solopos FM. Media sosial itu diunggah, dipamerkan, diumumkan di ruang bernama Internet. Komputer menjadi dasarnya. Kecepatan menjadi etosnya. Paling cepat berarti paling ”well informed”.

Kelemahannya adalah ketelitian mungkin saja dijaga, namun ditunda berlapis-lapis hingga kemudian menjadi tidak penting. Janji bahwa kesalahan bisa diralat atau dikoreksi pada unggahan berikutnya itulah yang disebut berlapis-lapis.

Kebutuhan Nyata

Perempuan filsuf Indonesia, Karlina Supelli, ketika menyampaikan orasi kebudayaan dalam peringatan hari ulang tahun ke-23 AJI Indonesia di Jakarta, Senin (7/8) malam, mengatakan efektivitas dunia digital meneguhkan kesimpulan betapa nyata kebutuhan masyarakat atas jurnalisme yang setia pada asas-asasnya.

AJI berkeyakinan pers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membangun kultur pers yang sehat. Menurut Karlina, pada era budaya digital dengan media sosial sebagai platform utamanya sekarang ini, pers profesional harus berperan lebih mendasar.



Pers profesional merupakan prasyarat yang tak dapat ditawar untuk membangun masyarakat melek informasi, melek berita, dan melek pengetahuan. Eksistensi pewarta warga memang keniscayaan zaman. Eksistensi dan payah mereka harus dihormati.

Selanjutnya adalah: Peran pewarta warga…

Pewarta Warga

Tanpa mengecilkan peran pewarta warga, harus diakui  dengan kerendahan hati perbedaan nyata antara mereka dengan jurnalis profesional. Jurnalis profesional secara etis terikat dengan keharusan menghormati kebenaran dan independensi.

Jurnalis profesional diikat kode etik untuk menimbang secara hati-hati konsekuensi dari apa yang diberitakan dan cara memberitakan. Godaan populisme dan kejar-kejaran informasi berdasarkan ”klik” per detik berdampak terabaikannya sebagian besar elemen klasik jurnalisme: 5W + 1H.

Dalam konteks ini menulis atau menyajikan berita bukan perkara mudah. Elemen-elemen itulah yang menjadikan jurnalis bukan sekadar penerus informasi dan pelapor kejadian. Jurnalis meliput, mengolah, dan menyajikan informasi dalam bentuk berita.

Elemen-elemen jurnalisme yang disajikan menjelaskan mengapa peristiwa tertentu penting dan relevan, serta apa implikasi pemberitaannya bagi kehidupan orang banyak. Elemen-elemen jurnalisme secara ketat membedakan fakta dan opini.

Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam salah satu sesi diskusi pertemuan majelis etik AJI se-Indonesia itu berharap kode perilaku jurnalis yang dirumuskan dalam pertemuan itu bisa diadopsi Dewan Pers untuk diberlakukan secara umum di Indonesia.

Mematuhi kode etik jurnalistik berarti menjaga eksistensi pers profesional sekaligus menjaga eksistensi peradaban yang dibangun dan dijaga oleh—salah satunya—pers profesional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya