SOLOPOS.COM - Penulis Paul Sutaryono adalah pengamat perbankan dan mantan Asisten Vice President BNI (JIBI/Bisnis)

Gagasan Solopos kali ini ditulis Paul Sutaryono. Penulis adalah pengamat perbankan dan mantan Assistant Vice President BNI . Penulis merupakan alumnus Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada.

Solopos.com, SOLO — Kini ketika pertumbuhan kredit perbankan tampak kurang subur, Bank Indonesia (BI) segera menerbitkan aneka kebijakan untuk menyuburkan pertumbuhan kredit.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebut saja perubahan rasio loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dari 70% menjadi 80%. Adakah anomali (hal yang berseberangan dengan kebijakan lainnya)?

LTV merupakan rasio atau perbandingan antara kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank nasional atau perusahaan pembiayaan (multifinance) terhadap nilai barang (rumah atau kendaraan).

Pada 15 Maret 2012, BI menerbitkan Surat Edaran No. 14/10/DPNP mengenai LTV untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan uang muka kredit kendaraan bermotor bagi bank umum.

Saat itu, aturan LTV untuk KPR sebesar 70% yang berarti uang muka 30% dari harga jual rumah. Mari kita tengok dulu sejauh mana penyaluran kredit properti hingga kuartal I/2015.

Menurut Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang terbit Mei 2015, kredit perbankan ke sektor properti naik 16,69% dari Rp479,85 triliun per Maret 2014 menjadi Rp 559,95 triliun per Maret 2015.

Total kredit Rp559,95 triliun itu meliputi pertumbuhan kredit konstruksi yang terbang tinggi 28,70% dari Rp 115,69 triliun per Maret 2014 menjadi Rp148,89 triliun per Maret 2015. Sementara itu, kredit real estat naik 14,18% dari Rp79,39 triliun menjadi Rp90,65 triliun.

Sayang seribu sayang, KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) hanya mendaki 12,51% dari Rp284,78 triliun Rp320,41 triliun pada periode yang sama.

Sungguh, ini pertumbuhan KPR dan KPA yang jauh melambat dibandingkan dengan pertumbuhan sebelumnya 23,07% dari Rp231,39 triliun per Maret 2013 menjadi Rp284,78 triliun per Maret 2014. Penurunan pertumbuhan hampir 50%.

Kini BI melonggarkan rasio LTV untuk KPR dari 70% menjadi 80%, berarti uang muka KPR menurun dari 30% menjadi 20% dari harga jual rumah. Apa manfaat pelonggaran LTV tersebut?

Pertama, mendongkrak penyaluran KPR. Sudah barang tentu pelonggaran rasio LTV itu bertujuan meningkatkan pengucuran KPR yang hanya tumbuh 12,51% per Maret 2015.

Dengan penurunan uang muka, KPR akan kembali bergairah seperti periode yang sama pada 2014 sebesar 23,07%. Bergairahnya KPR akan mendorong bisnis lain, juga penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak.

Dengan kata lain, makin banyak pembangunan rumah dengan KPR akan makin banyak pula penciptaan kesempatan kerja. Pembangunan rumah yang makin marak akan dapat menekan atau mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 7,4 juta orang  atau 5,81% per Februari 2015.

Kedua, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pertumbuhan KPR sangat diharapkan akan mengencangkan gerak roda sektor riil atau dunia usaha. [Sektor Riil]

 

Sektor Riil
Pembangunan rumah yang makin berkembang akan menciptakan pemerataan pendapatan. Sebagian besar perumahan kini berada di pinggir kota yang otomatis akan meningkatkan ekonomi daerah di sekitar lokasi perumahan.

Apakah di kota sudah tidak ada lagi perumahan baru? Tentu saja ada tetapi tidak banyak, katakanlah sekitar 25 unit rumah saja per cluster.

Ketiga, mewaspadai potensi risiko kredit macet. Sekalipun bank nasional akan mengubah (menaikkan) target pertumbuhan KPR, tetapi harap selalu ingat untuk mencermati rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL).

Perhatikan, Statistik Perbankan Indonesia yang terbit pada 15 Mei 2015 menunjukkan NPL bank umum naik cukup signifikan dari Rp66,08 triliun (1,99%) per Maret 2014 menjadi Rp89,40 triliun (2,44%) per Maret 2015.

Bank umum merupakan representasi dari enam kelompok bank yakni kelompok bank persero, bank umum swasta nasional (BUSN) devisa, BUSN nondevisa, bank pembangunan daerah (BPD), bank campuran, dan bank asing.

Selain itu, lirik pula NPL gross Bank Tabungan Negara (BTN), bank pemerintah yang fokus pada kredit perumahan yang mencapai 4,78% per Maret 2015. NPL gross adalah NPL yang belum termasuk cadangan kredit macet (loan loss provision). Sebaliknya, NPL net mencapai 3,47%.

Adalah benar NPL itu masih jauh di bawah ambang batas 5%, namun hal itu sudah sepatutnya menjadi peringatan dini bagi bank nasional dan perusahaan pembiayaan untuk bertindak lebih hati-hati.

Tegasnya, jangan hanya mengejar target pertumbuhan KPR, namun senantiasa menerapkan manajemen risiko kredit dengan baik dan benar. Paling gurih ketika bank nasional atau perusahaan pembiayaan memperoleh order untuk memberikan KPR atas pesanan perusahaan.



Mengapa? Hampir pasti tak ada NPL lantaran angsuran KPR langsung ditarik dari gaji masing-masing karyawan perusahaan tersebut.

Lebih dari itu, baik bank nasional maupun perusahaan pembiayaan tidak lalai untuk melakukan BI checking untuk mengintip apakah calon nasabah itu memiliki kewajiban lain. Hal itu amat membantu untuk menepis kenaikan NPL.

Keempat, mencermati anomali. Ketika BI meluncurkan aturan LTV pada 15 Maret 2012, terbit pula Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/PMK/0.10/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan.

Kebijakan LTV itu telah efektif 15 Juni 2012 bagi perusahaan pembiayaan. Peluncuran LTV itu bertujuan melakukan mitigasi risiko pembiayaan dan meningkatkan prinsip kehati-hatian sehingga tidak terjadi gelembung pada pembiayaan konsumen.

PMK itu menetapkan uang muka bagi pembiayaan kendaraan bermotor, yakni bagi kendaraan bermotor roda dua uang mukanya minimal 20% dari harga jual kendaraan yang bersangkutan.

Kendaraan bermotor roda empat yang bertujuan untuk kegiatan produktif uang mukanya minimal 20% dari harga jual kendaraan. Kendaraan bermotor roda empat yang bertujuan untuk kegiatan nonproduktif uang mukanya minimal 25% dari harga jual kendaraan.

Pelonggaran LTV itu juga berlaku untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) dengan uang muka minimal 20%. Nah, pelonggaran itu amat dicemaskan akan menimbulkan anomali.

KPR dan KKB termasuk kredit konsumsi yang merupakan kredit perorangan (individual). Mengingat sifat itulah maka kredit konsumsi secara agregat dinilai kurang mampu mendorong sektor riil.

Dibandingkan dengan KKB, KPR dinilai lebih mampu mendorong bisnis lain untuk ikut bergairah. Sebaliknya, kredit modal kerja dan kredit investasi dinilai lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Artinya, pelonggaran LTV untuk KKB kurang mendorong pertumbuhan sektor riil yang berujung pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Untuk itu, sejak sekitar Maret 2011, Statistik Perbankan Indonesia  (SPI) yang diterbitkan BI tidak lagi memuat kredit konsumsi dalam data kredit dan NPL usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan MKM menurut jenis penggunaan.

Jadi, SPI hanya memuat data kredit modal kerja dan kredit investasi sebagai kredit produktif. Hal itu bertujuan agar bank nasional fokus pada kredit produktif, apalagi kini bank nasional wajib mengucurkan kredit minimal 20% ke segmen UMKM.

Berbekal aneka pertimbangan demikian, BI dan OJK hendaknya lebih jeli dalam membidik segmen mana yang perlu didorong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya