SOLOPOS.COM - Herryanto Honggo, Anggota Panwascam Jebres, Solo tahun 2009 (FOTO/Istimewa)

Herryanto Honggo, Anggota Panwascam Jebres, Solo tahun 2009 (FOTO/Istimewa)

Indonesia bak negara pilkada [pemilihan umum kepala daerah], betapa tidak, sejak tahun 2004 DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah yang di antaranya mengatur Pilkada. Sejak itu pula diberlakukan pemilihan presiden, DPR RI, DPRD, gubernur sampai walikota/bupati dipilih secara langsung. Secara otomatis wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdiri 33 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota harus menyelenggarakan pilkada bergantian.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jika dirata-rata dalam dua hari sekali di negeri ini menggelar pesta rakyat. Terkait hal itu, kondisi keuangan negara yang dikeluarkan cukup signifikan [setiap KPUD membutuhkan dana rata-rata sekitar Rp25 miliar]. Dengan rincian, menurut Yuna Farhan, Sekjen Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Seknas Fitra) untuk pilkada tingkat gubernur saja setidaknya anggarannya bisa mencapai Rp100 miliar.

Untuk pilkada tingkat di bawahnya, yakni walikota/bupati anggarannya tidak selisih terlalu jauh, belum lagi pemilihan presiden. Dengan demikian anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilihan gubernur atau walikota/bupati, menghabiskan dana tidak kurang dari Rp17 triliun, tetapi jika pilkada dilakukan secara serentak hanya menghabiskan dana sekitar Rp10 triliun.

Dari sinilah muncul wacana untuk efisiensi pengeluaran keuangan Negara. DPR dan Kemendagri mencoba menggodog wacana pelaksanaan pilkada serentak. Sayangnya, wacana penggodogan ini muncul pro-kontra yang berkepanjangan. Gagasan pilkada serentak ini dulu memang pernah digagas Jusuf Kalla [ketika masih menjadi wapres] yang berpandangan setiap ada pilkada membikin ”lelah” atau merepotkan jiwa-raga rakyat. Sebab pemilih dalam harus berulangkali datang ke TPS [tempat pemungutan suara] untuk menyalurkan hak suara mereka [aspirasi] dengan waktu yang berdekatan. Ya, setelah mengikuti pemilu legislatif, pilpres, pilgub dan pemilihan walikota/bupati. Pilkada serentak ini sudah pernah diselenggarakan di Provinsi Aceh. Saat dilakukan serentak dengan pilkada 17 bupati, ternyata hasil anggaran yang dikeluarkan bisa ditekan sampai 60 persen.

 

Anggota Panwaslu Guru

Berpijak dari gagasan tersebut, rupanya penyeleksian anggota panwaslu [panitia pengawas pemilu] yang terdiri atas beberapa bagian, mulai dari tingkat provinsi, tingkat kota, tingkat kecamatan [panwascam] sampai tingkat kelurahan [PPL/pengawas pelaksana lapangan] yang masa kerjanya berbatas waktu tertentu masih butuh dikoreksi dan atau ditinjau ulang. Hal ini berdasarkan tugas pokok panwaslu yang notabene mengawasi kinerja KPU atas dasar temuan di lapangan dari laporan jajaran di bawahnya, yakni panwascam dan PPL secara independen.

Untuk itu, anggota panwaslu semestinya juga dipilih/diprioritaskan bagi masyarakat (bukan PNS) yang benar-benar murni bukan anggota/simpatisan partai, sehingga indenpendensinya tidak diragukan. Tetapi yang terjadi selama ini campur tangan anggota panwaslu PNS struktural atau fungsional tetap diizinkan untuk direkrut menjadi anggota panwaslu, panwascam maupun PPL.

Dengan demikian independensi anggota panwaslu dari PNS ini jelas diragukan. Mengapa? Pertama, PNS yang notabene pegawai pemerintah dan masih memiliki hak pilih ini ketika pada pilkada berlangsung seringkali terjadi perpecahan antarpegawai di lingkungan pemkot (pemerintah kota) atau pemkab (pemerintah kabupaten) dan jajarannya. Karena sebagian dari mereka ada yang mendukung salah satu calon walikota/bupati atau gubernur tempat mereka bekerja dan sebagian lainnya balela alias membela rivalnya.

Apalagi jika ada salah satu calon berstatus incumbent, pro-kontranya akan tampak begitu tajam dan sangat kentara. Kondisi itu sangat manusiawi dalam kehidupan pegawai di kantor swasta atau instasi pemerintah. Hanya, jika ada salah satu atau beberapa di antara PNS itu ada yang menjadi anggota Panwaslu, tentu independensinya perlu dipertanyakan, baik secara terselubung maupun secara terbuka mereka akan saling memihak. Akibatnya, keharmonisan yang semula terbangun tidak akan lagi terjaga pada saat masa sebelum maupun pascapilkada itu berlangsung.

Lebih mengawatirkan kalau pro-kontra ini terus dipelihara, maka ancam-mengancam yang berakibat pada kenaikan maupun penghambatan jabatan struktural dan mutasi di lingkungan PNS akan sangat rentan. Hal ini sangat membahayakan karena mereka (PNS) yang dalam satu naungan di lingkungan Pemkot/Pemkab, kendati menurut aturannya PNS itu harus netral.

Kedua, PNS yang berprofesi guru/pengajar apalagi kepala sekolah terekrut sebagai anggota panwaslu. Masalah tersebut jelas menggangu profesionalismenya sebagai pendidik. Sementara pekerjaan guru atau pengajar atau pendidik sekarang ini semakin padat dengan adanya sertifikasi. Masing-masing guru harus memiliki tanggung jawab mengajar 24 jam dengan konpensasi penghasilan yang berlipat. Kalau mereka masih menyambi menjadi anggota panwaslu dan jajarannya, ini keterlaluan tamak. Lalu, apa artinya uji kompetensi guru? Sebab sebagai PNS sudah memiliki gaji dan berbagai tunjangan kesejahteraan pasti dan tetap.

Dengan demikian secara finansial penghasilan guru PNS lebih dari cukup, setidaknya memadahi untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Kalau begini caranya, barangkali bisa diartikan kalau uang negara yang dikeluarkan menjadi sia-sia karena salah sasaran. Apa salahnya kalau pemerintah bagi-bagi kesejahteraannya dalam kesempatan pesta rakyat atau mengurangi pengangguran, apalagi sifatnya insedental.

Bukan anggaran itu diberikan lagi kepada PNS yang sudah menjadi “idola” masyarakat, karena berpenghasilan tetap dan lebih sejahtera dibanding dengan banyaknya rakyat yang masih sulit mendapatkan pekerjaan alias pengangguran. Sehingga melalui pilkada itu dana yang dikeluarkan negara benar-benar tersalurkan murni untuk rakyat.

Ketiga, pilkada yang notabene sebagai pesta rakyat menjadi tidak tepat lagi, karena seharusnya rakyatlah yang punya kerja dengan mendapatkan “sedikit imbalan” dari pesta yang digelarnya. Kecuali pihak pemerintah/PNS sebagai tenaga, bendahara atau pengelola keuangan negara yang bertanggungjawab/di bawah pengawasan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menyelamatkan anggaran negara. Tentu untuk memilih anggota panwaslu pilkada serta jajaran di bawahnya juga harus melalui seleksi dengan jujur. Harapannya, permasalahan bangsa ini bukan lagi berhenti sebagai gagasan semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya