SOLOPOS.COM - Muhammad Fahmi, Dosen dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri Surakarta

 

Muhammad Fahmi, Dosen dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Skandal ”politik sapi” yang mencuat akhir-akhir ini berimbas pada merosotnya citra partai berbasis agama (Islam) di mata publik. Skandal ini diprediksi akan mengakibatkan ”partai Islam” dan ”kaum santri” mengalami apa yang disebut Habermas (1988) ”krisis legitimasi” (legitimation crisis), yaitu imbauan-imbauan moral mereka tidak didengar lagi oleh masyarakat karena mereka sendiri yang justru dianggap sering melakukan tindakan-tindakan yang menabrak moral dan hukum.

Bahkan, dalam keseharian kita saat ini, tidak sedikit kita temui anggota masyarakat yang mulai mencemooh dan mencibir partai ini dengan memelesetkan atau menukar akronim nama partai  dengan sesuatu yang negatif–yang tidak layak untuk dicantumkan di sini.

Masyarakat melihat keberadaan partai Islam bukannya menjadi ”titik pembeda”  antara yang ”hak dan batil”. Partai Islam sekarang ini justru dituding sebagai ”sarang” korupsi dan perilaku menyimpang (deviance action).

Sementara itu, partai politik sekuler pun juga tidak lebih baik citranya di mata rakyat dibanding partai Islam. Hanya saja, karena partai politik yang tersandung skandal sapi berbasis agama, atau dulu pernah menjadi partai dakwah, publik menjadi sangat oversensitif. Setiap skandal yang terkait dengan elite partai Islam menjadi sesuatu  yang ”tak bisa diterima” publik karena dianggap bertentangan secara diametral dengan citra agama.

Agama yang dikonotasikan sebagai ”wilayah sakral” yang suci dan transendental, justru dalam realitas yang ditampilkan partai Islam menunjukkan sebaliknya: tersedot dalam gravitasi dunia profan dan politik sekuler yang banal, nisbi, penuh intrik, sikut-menyikut, kasak-kusuk, marak gosip dan fitnah serta sesak oleh skandal yang menabrak rambu-rambu moral dan perundang-udangan.

Partai Islam menjadi contrario in terminis, dianggap mengangkangi klaim-klaim moralitas yang dulu pernah didakwahkan. Publik tak lagi melihat ”titik pembeda” antara good and evil, antara partai agama dan partai nonagama, partai Islam dan partai sekuler.

Mereka setali tiga uang. Partai Islam dan sekuler terperangkap dalam budaya ”politik kebun binatang” yang hidup hanya untuk mengejar pemenuhan syahwat–meminjam Psychosexual Development Theory-nya Freud (1850-1939)–oral, anal dan genital. Makan, buang air besar (BAB) dan seks.

Dalam konteks ini, syahwat oral disimbolkan dengan perilaku politisi yang begitu rakus menimbun harta sebanyak-banyaknya walau harus menabrak rambu moral dan hukum. Ini memicu korupsi akut yang dilakukan secara pribadi maupun ”berjemaah”. Syahwat anal mengacu pada perilaku hiperkonsumtivisme, membuang-buang uang  dengan mengoleksi sejumlah mobil dan rumah mewah  yang tak habis dipakai sendiri karena jumlahnya yang fantastis. Syahwat genital berupa penyaluran hasrat seksual, bahkan hiperseksual, dengan mengoleksi sejumlah istri (resmi maupun siri) dan simpanan.

Dunia politik kita saat ini menjadi semacam WC, jamban, yang ketika orang berada di luar WC ia begitu sensitif terhadap kebusukan WC. Tapi, ketika masuk, orang pun kehilangan sensitivitas. Ia tidak  lagi kritis terhadap kebusukan WC, malah menikmatinya sambil merokok, main gadget atau online.

Demikian yang terjadi dengan partai Islam, kehilangan daya kritis karena dikooptasi lingkungan politik (WC) saat ini yang begitu kotor,  busuk, berbau dan penuh najis. Hal ini memunculkan kembali wacana tentang relasi agama dan kekuasaan politik. Bagaimana relasi agama dan kekuasaan politik yang ideal untuk saat ini?

 

Depolitisasi

Adalah almarhum Nurcholis Madjid (1939-2005), cendekiawan muslim terkemuka, yang mula-mula mengemukan jargon ”Islam Yes, partai islam No”.  Bagi Cak Nur, nama populer Nurcholis Madjid, agama adalah the way of life, sebagai kompas moral bagi manusia untuk hidup lurus, ideal dan perenial (berorientasi kebaikan dan keakhiratan/keabadian).

Sementara dunia politik adalah arena perebutan kekuasaan (field of power) yang bersifat jangka pendek dan pragmatis. Pada yang pertama, agama,  berlaku  istilah  ”Tuhan yang abadi”, sedangkan yang kedua, politik, ”kepentingan yang abadi”. Agama dan politik (praktis) adalah dua entitas yang tidak pernah cocok, diametral dan saling bertabrakan  karena berbeda tujuan.

Tujuan agama adalah kebaikan (goodness) dan kemaslahatan umat (public order), sementara tujuan politik praktis adalah kepentingan  (interest) dan kekuasaan (power) pribadi dan golongan.  Skandal politik sapi dan skandal-skandal lain yang melibatkan aktivis partai Islam telah menunjukkan pada kita bahwa ekperimentasi pendirian partai politik Islam yang marak pada awal era reformasi telah gagal menunjukkan bahwa agama dan politik bisa ”dikawinkan”, dapat disintesakan.

Yang terjadi justru sebaliknya, kepentingan politik mengooptasi agama, sehingga yang terjadi adalah politisasi agama.  Politik ”membunuh” agama. Saya kira ijtihad Cak Nur dengan mendepolitisasi agama masih relevan untuk saat ini.  Ini tidak hanya untuk kepentingan citra agama, tapi juga justru untuk menjaga agar ajaran  agama tidak dibajak oleh para avonturir politik ”berjubah agama”, yang menafsirkan agama  sesuai dengan syahwat dan kepentingan politik mereka.

Dalam hukum pendulum dikenal istilah titik keseimbangan.  Dalam konteks ini, bagaimana menjaga bandul agar berada pada titik keseimbangan antara agama dan politik?  Bagaimana menciptakan relasi agama dan politik yang ideal? Agama dan politik sama-sama kita butuhkan.

Raison d’etre agama adalah menjaga moral. Nabi Muhammad SAW bersabda: buitstu liutam mimma makarimal akhlak (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak). Sedangkan politik secara ideal bertujuan terselenggaranya pengelolaan negara secara baik. Yang pertama menjadi tugas ulama, sedangkan yang lain tugas umara (politisi). Skandal sapi menjadi illat dalam istimbatul ahkam (alasan hukum) untuk melakukan ijtihad depolitisasi agama sehingga agama kembali ke khitah: sebagai lokomotif moral bangsa. Semoga…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya