SOLOPOS.COM - BRM Bambang Irawan Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

BRM Bambang Irawan
Dosen di Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

Sejak sekitar akhir 2005, setiap media promosi yang mengiklankan kegiatan di Kota Solo, terutama event pariwisata, selalu mencantumkan logo bertuliskan ”Solo” yang di bawahnya tercantum tagline ”the spirit of java” yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai logo spirit of Java. Tanpa terasa, telah lebih tujuh tahun para pegiat bisnis pariwisata masyarakat Soloraya termasuk Kota Solo, menerima dan memasang logo spirit of Java ini dengan tanpa pernah menanyakan kegunaan dan manfaatnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Demikian pula, tentang apa dan bagaimana logo spirit of Java ini memengaruhi persepsi maupun perilaku wisatawan dan calon wisatawan juga belum pernah terungkap. Fenomena ini menjadi menarik untuk diperbincangkan mengingat merek destinasi wisata atau destination brand atau yang kaprah disebut city brand adalah sesuatu yang sangat penting bagi Solo sebagai destinasi wisata.

Sebagai sebuah city brand, logo spirit of  Java seharusnya memencarkan manfaat tidak hanya kepada wisatawan saja, akan tetapi juga kepada para pemasar bisnis pariwisata, bahkan juga memberikan manfaat kepada warga masyarakat. Dari sisi wisatawan, misalnya, logo spirit of Java mestinya dapat merefleksikan berbagai nilai tambah serta manfaat yang akan dinikmati ketika wisatawan berkunjung ke Solo.

Ekspedisi Mudik 2024

Namun, bila dicermati akan tampak bahwa logo spirit of Java cenderung kabur dalam menyampaikan pesan mengenai nilai tambah dan manfaat yang akan diterima wisatawan. Survei wisatawan 2012 yang dilakukan Badan Promosi Pariwisata Daerah Surakarta (BPPIS) dengan jelas mengungkapkan bahwa kesan yang didapat wisatawan ketika mengunjungi Solo adalah Solo itu hangat, tenang, dan murah. Lalu pertanyaan yang muncul, apakah memang kesan tersebut merupakan pesan yang dapat ditangkap dari logo spirit of Java?

Apakah kesan tersebut sesuai dengan persepsi wisatawan ketika melihat logo spirit of Java? Tampaknya kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dalam konteks ini logo spirit of Java boleh jadi mengandung pesan yang dikenang sekaligus menarik minat dan perhatian, tetapi belum merupakan pesan yang memberi informasi.

Keterbatasan logo spirit of Java dalam membentuk persepsi tentang nilai tambah dan manfaat bagi wisatawan di atas dapat dipahami mengingat logo tersebut bukan  community-based brand tetapi contest-based brand. Artinya, logo spirit of Java yang dipakai sekarang ini adalah logo yang lahir dari sayembara membuat logo yang diadakan Pemerintah Kota Solo berkerja sama dengan Badan Kerjasama Antardaerah (BKAD) dan GTZ Jerman pada 2005.

Lebih menarik lagi ada informasi bahwa logo spirit of Java ini sebenarnya bukan logo yang dinominasikan oleh tim kurator sayembara saat itu. Bila demikian adanya, berarti logo spirit of Java tidak memiliki basis proses dan dasar argumentasi yang memadai. Padahal, proses membuat brand atau mem-branding merupakan proses yang harus melalui berbagai tahap agar didapat merek destinasi yang kuat, menarik, sekaligus menjanjikan.

Di lain pihak, konsep community-based brand berarti bahwa sebuah city brand disusun atas dasar proses yang berbasis pada permufakatan masyarakat atau komunitas yang tinggal di sebuah kota atau wilayah tertentu. Sudah barang tentu proses ini melibatkan seluruh pegiat pariwisata termasuk destination marketing organization (DMO) maupun masyarakat luas.

Dan setelah hasilnya final, merek dan berbagai fiturnya dituangkan dalam dokumen legal formal yang memiliki kekuatan hukum mengikat untuk rentang periode waktu tertentu. Seperti juga diketahui, logo spirit of Java sekarang ini tampaknya belum memiliki landasan dokumen legal resmi seperti misalnya di-perda-kan atau semacamnya yang dapat mengikat setiap pemangku kepentingan kepariwisataan di Soloraya untuk mencantumkannya dalam setiap media promosi yang dibuat.

 

Akurat

Selain itu, proses menyusun merek yang berbasis komunitas ini juga selalu melalui tahapan analisis situasi, dan ini berarti riset. Namun, sayangnya, kepedulian pemerintah kabupaten/kota untuk mensponsori riset terkait dengan pembangunan kepariwisataan sangat rendah. Harapan untuk memiliki sebuah city brand yang bergengsi di masa datang menjadi sangat tipis.

Meskipun demikian, dari sisi pelaku bisnis pariwisata perlu ditanyakan apakah logo spirit of Java dapat membantu dalam mengomunikasikan produk-produk mereka kepada calon wisatawan? Apakah logo spirit of Java dapat membantu para pebisnis pariwisata menentukan harga premium, diskon dan semacamnya? Apabila para pebisnis pariwisata telah mendapatkan berbagai manfaat dari penggunaan logo spirit of Java tersebut, logo itu sudah menjadi .

Akan tetapi, bila pelaku usaha pariwisata belum merasa mendapatkan manfaat dari logo spirit of Java tersebut, menjadi relevan untuk dikaji lebih jauh. Contoh konkretnya, misalnya, seberapa mudah mengintegrasikan kekuatan logo spirit of Java ke dalam produk paket wisata? Ketika produk-produk paket wisata dengan inherent support logo spirit of Java makin laku, berarti logo tersebut telah memberikan manfaat.

Logo spirit of Java juga perlu dicermati sampai sejauh mana selama telah memencarkan manfaat bagi masyarakat Solo sendiri. Ketika masyarakat Solo makin menginternalisasi makna, nilai atau apa pun yang terkandung dalam logo dimaksud, akan tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakatnya. Kesadaran, pemahaman, serta penghormatan terhadap ruh kejawaan mestinya makin dapat ditunjukkan baik sebagai tuan rumah bagi wisatawan maupun sebagai penduduk lokal.

Spiritnya, Jawa bukan sebatas terpampangnya aksara Jawa di setiap papan nama kantor, bukan pula sebatas seragam kerja beskap landhung, akan tetapi juga pada perilaku berlalu lintas, membuang sampah dan lain sebagainya. Logo spirit of Java bagi masyarakat Solo, makin hormat dan bangga pula masyarakat pada kotanya.

Disamping persoalan manfaat, sebenarnya logo spirit of  Java juga mengandung persoalan citra atau image. Sebaiknya perlu diteliti kembali, apakah citra yang terpapar dari logo spirit of Java tersebut akurat? Dengan kalimat lain, apakah citra yang diproyeksikan mencerminkan realitas destinasi yang sesungguhnya? Pertanyaan yang jamak ini pantas mengemuka karena apabila citra yang ditangkap oleh wisatawan jauh berbeda dengan realitas yang ditemui, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi bisnis pariwisata.

Peristiwa batalnya sebuah event kepariwisataan tahun lalu menjadi contoh betapa masih menganganya kesenjangan antara citra dan realitas. Walaupun masyarakat umum tidak terlalu sensitif dan terpengaruh oleh peristiwa ini, namun bagi para pelaku bisnis pariwisata kejadian ini dianggap memberikan disinsentif bagi citra pariwisata. Oleh karena itu makin akurat citra pada logo spirit of Java, makin terpenuhi pula kepuasan wisatawan yang berkunjung.

Sebagai rangkaian dari upaya mempromosikan Kota Solo khususnya, dan Soloraya umumnya, seyogianya logo spirit of Java dikaji kembali agar dapat menemukan kembali momentumnya sehingga makin efektif dalam mengomunikasikan berbagai keunggulan Solo sebagai destinasi wisata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya