SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko heripri_puspari@yahoo.co.id Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Heri Priyatmoko heripri_puspari@yahoo.co.id Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Heri Priyatmoko
heripri_puspari@yahoo.co.id
Alumnus Pascasarjana
Ilmu Sejarah
Universitas Gadjah Mada

Artikel Alif Basuki berjudul Jebakan Korupsi dalam UU Desa (Solopos, 30/12/2013) mengandung ulasan seputar Undang-Undang (UU) Desa yang baru saja disahkan oleh toewan-toewan yang menduduki jabatan politik di Gedung DPR di Senayan, Jakarta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berdasarkan UU Desa itu rata-rata setiap desa bakal menerima kucuran dana lebih dari Rp800 juta/tahun. Aktivis Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) ini menyoroti berlakunya UU Desa akan membuahkan persoalan krusial.

Persoalan krusial itu berdasarkan kekhawatiran para pamong desa tak punya kapasitas dan kemampuan untuk menghadapi audit Badan Pemerika Keuangan (BPK) terkait penggunaan uang bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang langsung didistribusikan ke desa.

Jeratan hukum dan bui merupakan imbas yang bisa menimpa mereka apabila tak becus mengelola dan mempertanggungjawabkan uang dari APBN itu.

Rambu-rambu peringatan yang dikemukakan Alif memang wajib direnungkan, namun bukan berarti kemudian menjadi alasan menggagalkan penyaluran anggaran dan mengecilkan keberadaan komunitas masyarakat desa.

Dengan UU tersebut asa terpacak bahwa pembangunan di Indonesia lebih menyasar ke pelosok desa. Jurang atau kesenjangan pembangunan kota dan desa bisa tertutupi.

Kelompok wong ndesa juga dapat menikmati kue pembangunan dan alokasi dana dari pemerintah pusat sama seperti alokasi dana untuk masyarakat perkotaan.

Dalam konteks kepentingan negara, masyarakat desa selama ini ”mati” dua kali. Pertama, ia menjadi anak tiri dalam pembangunan nasional Indonesia. Menyejahterakan dan memajukan masyarakat desa masih isapan jempol.

Akibatnya mereka lari ke kota untuk mencari sesuap nasi lantaran hidup di desa tak menjamin kehidupan yang lebih baik. Kedua, komunitas desa nyaris tak pernah dicatat sebagai lakon sejarah, misalnya pada periode perang kemerdekaan.

Seolah-olah kelompok kelas bawah di ruang sosial pedesaan minim partisipasi. Mereka lepas dari ikatan historis bangsanya. Dalam jagat pustaka, wong ndesa kerap kali dilukiskan sebagai manusia lugu, melarat, dan miskin kreativitas.

Mereka diposisikan hanya sebagai bumbu penyedap buku sejarah dan biografi tokoh. Institusi pemerintah yang bertindak sebagai pengendali sejarah puluhan tahun mengajak (baca: mengindoktrinasi) kita menempatkan romantisme perjuangan dengan senjata dan darah.

Padahal, negeri ini mampu mempertahankan kemerdekaan bukan sekadar karena perang secara fisik yang dikerjakan gerilyawan, melainkan juga berkat jasa rakyat di pedesaan.

Rakyat pendesaan rela mengobarkan harta dan nyawa mereka demi melindungi gerilyawan dari bahaya kelaparan maupun incaran musuh. Sewaktu pecah agresi militer II Belanda pada Desember 1948, kondisi negeri ini jadi kacau.

Kemudian disusun sistem pertahanan rakyat total, yaitu wehrkreise (lingkaran pertahanan). Maksudnya, membagi daerah-daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran yang dapat mengadakan pertahanan sendiri-sendiri.

Sistem wehrkreise berpangkalan pada kantong-kantong gerilya di area pedesaan. Di sinilah partisipasi warga desa begitu mencolok. Lewat Badan Oeroesan Makanan (BOM), pemerintah menginstruksikan bahwa perbekalan makanan gerilyawan menjadi tanggungan masyarakat.

Kemudian didirikan dapur umum. Bagi pejuang, kehadiran dapur umum bagaikan air di tengah teriknya panas mentari di padang pasir. Dapur umum merupakan pusat logistik di masa revolusi yang menjamin kebutuhan makanan para pejuang.

Kesehatan para pejuang akan tetap terpelihara dan dapat bertempur sampai titik darah penghabisan. Jika bukan dapur umum yang diupayakan, penduduk bersedia membukakan pintu rumah mereka dan menjamu seadanya kelompok gerilyawan yang beristirahat di desa mereka.

Pejuang yang kehabisan bekal dan rasa letih menggelayuti tubuh biasanya menuju rumah salah seorang penduduk di dukuh terdekat. Kenyataan ini terjadi di daerah hutan di kawasan Boyolali.

Nasi campur gaplek ialah menu yang tak jarang disajikan si pemilik rumah. Si empunya rumah terhitung kelas bawah, namun dengan keterbatasannya tetap berusaha membantu saat melihat gerilyawan dililit rasa lapar.

Wong ndesa selain melayani para pejuang juga menerima tamu Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprojo. Pengalamannya bergerilya ditulis dalam bahasa Jawa berbentuk tembang Kinanthi dengan judul Nayaka Lelana.

Saya petikkan syairnya: Salamjudheg kang winuwus, nyata kasrakat miskin, saya-saya a duk samana, nyarengi mangsa peceklik, pendhudhuk ingkang dentedha, namung gegodhongan mligi// Pra lelana dhaharipun, beras ingkang dencampuri, kedhele sareng binethak, kinemah angraul nylilit, awit saking tan kulina, kawitan padharan sakit// Minangka lawuhipun, nora towong saben ari, wastanira bebanyolan, kelan jangan bamburuncing, prandene sumyah mirasa, enak seger tan mboseni.

Terjemahan bebasnya: Adapun tentang Desa Salamjudeg, ternyata amat menderita kemiskinan, lebih-lebih pada waktu itu, kebetulan masa paceklik, yang dimakan penduduk, hanya daun-daunan semata// Makanan para gerilyawan, beras yang dicampuri, kedelai ditanak bersama-sama, dikunyah sukar bersisa di antara gigi, karena mereka tak biasa, maka pada mulanya menderita sakit perut// Untuk lauk-pauknya, tidak lain setiap hari, yang disebut dalam kelakar, memasak sayur bambu runcing, meskipun demikian terasa enak manfaat, segar tak membosankan.

 



Subjek Pembangunan

Desa Salamjudeg, di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur bukanlah tanah subur loh jinawi seperti wilayah Klaten dan Sukoharjo di Jawa Tengah. Diperhatikan dari topografi dan sumber daya alam, warga yang menempati desa mayoritas orang tak berpunya.

Meski demikian, mereka tetap berusaha untuk ngingoni atau memberi makan kepada tamu, walau seadanya. Mereka juga menawarkan rumah mereka untuk tempat persembunyian atau sarang gerilya, tanpa menimbang bahaya yang mereka hadapi.

Potret hubungan ini menciptakan suatu tali persahabatan yang kuat. Sulit dimungkiri, ikatan pertalian sosial tersebut mendukung jaringan gerilya wehrkreise di dalam maupun di luar kota.

Penting dikemukakan pula bahwa kearifan Jawa yang melekat pada wong ndesa memperlancar roda perjuangan bangsa Indonesia. Bertemunya semangat nasionalisme dengan piwulang-piwulang Jawa yang menekankan sikap tolong menolong, gotong royong, dan ngayomi, menjadi alat ampuh dalam ikhtiar merebut kemerdekaan Indonesia.

Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam bukunya yang menjadi klasik berjudul Desa (1984) menuliskan semangat gotong royong memberi kekuatan kepada rakyat di desa yang lemah dan menyokong kaum gerilyawan kala melawan Belanda, kendati peralatan perang mereka sederhana.

Pengalaman sejarah cukup membuktikan nilai partisipasi dan solidaritas penduduk desa di zaman itu saling menguatkan dan sulit diukur, bahkan mengalahkan rasa takut yang menyelimuti hati.

Tindakan mereka bukan tanpa risiko. Di sini, kita mestinya sadar bahwa selain toh pati (mempertaruhkan nyawa), siap menanggung akibat apabila ketahuan musuh, peran mereka tidaklah seupil dalam menentang kolonialisme.

Dari kilas balik sejarah di atas, apakah kita masih bisa memandang remeh masyarakat desa dalam upaya mewujudkan cita-cita Indonesia? Bangsa ini banyak berutang budi pada wong ndesa.

Berbekal UU Desa dan pengawalan secara ketat serta memberi pelatihan kepada aparatur desa, semoga benar-benar ”menghidupkan” komunitas orang desa yang terkunci dalam lemari sejarah dan realitas pembangunan nasional yang kurang adil.

Kita berharap masyarakat desa akan lebih mandiri melaksanakan pembangunan fisik maupun pengelolaan sumber daya mereka. Termasuk dalam hal ini adalah menyejahterakan dan memajukan wong ndesa sebagai subjek pembangunan desa di semua bidang. Terlalu lama mereka (dibuat) tak berdaya.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya