SOLOPOS.COM - Rianna Wati, Dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS (FOTO/Istimewa)

Rianna Wati, Dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS (FOTO/Istimewa)

Dongeng klasik Malin Kundang telah begitu melekat dalam masyarakat Indonesia, bahwa seorang anak tak boleh durhaka kepada ibunya. Begitu pun dalam semua agama di muka bumi ini mengajarkan sosok ibu adalah penghormatan sepanjang hayat. Hormat yang tidak saja mendudukkannya pada posisi yang mulia karena telah mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anaknya, namun juga telah memberikan pendidikan dan teladan yang baik sehingga anak-anak menjadi pribadi yang baik pula.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Ibu lah tempat belajar pertama anak-anaknya sebelum mengenal dunia. Ibu lah yang memberikan naungan kasih sayang sehingga anak bertumbuh dalam lingkungan yang mencerdaskan. Ibu pula yang mendewasakan anak-anak dengan cara bijak dan penuh pemahaman. Namun, adakah semua ibu di muka bumi ini melakukannya untuk anak-anaknya? Ternyata tidak.

Kita bisa melihat beberapa kasus yang muncul di media belakangan ini. Seorang ibu menghabisi dua nyawa anaknya sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri. Disinyalir masalah ekonomi yang membelit sehingga dia tega melakukannya. Kasus seperti ini telah berulang kali kita dengar. Entah dengan membakar diri, minum racun serangga ataupun mencekiknya. Mengapa harus mengajak serta anaknya mati? Ini menunjukkan kependekan akal sang ibu, berpikir bahwa matilah yang menyelesaikan semua urusan.

Kemudian kasus tawuran yang seperti tak ada hentinya, yang setelah diteliti lebih jauh oleh psikolog, anak-anak tersebut kurang perhatian dalam keluarganya. Mereka mencari ”cara baru” agar ketidakpedulian terhadap mereka itu berubah arah menjadi peduli, memerhatikan dan menyayangi. Begitu pun para gadis belia yang mulai kelewat batas ketika pacaran, menuruti keinginan kekasihnya hingga melebihi batas wajar, dan kemudian menuntut tanggung jawab ketika perut mulai membesar. Padahal seragam sekolah masih mereka kenakan dan cita-cita besar menggantung di angan. Kemanakah nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan? Bisa jadi menguap karena keluarga tidak mencontohkannya, lingkungan membebaskannya dan sekolah hanya membebaninya dengan nilai bagus lulus ujian.

Konon, kemerosotan moral bangsa ini, karena para pemimpin sekarang, dulunya saat kecil sering mendapatkan dongeng “Kancil Mencuri Mentimun” di sepanjang malam menjelang tidurnya. Keculasan (atau kecerdikan?), kebohongan dan nilai-nilai negatif seolah terekam dan tanpa sadar terinternalisasi dalam kehidupan mereka di masa mendatang. Lalu siapakah yang lebih sering mendongeng di samping anak-anak setelah ayahnya seharian bekerja mencari nafkah?

Betapa jahatnya saya jika saya menimpakan semua kemerosotan moral anak bangsa ini hanya pada figur ibu. Padahal di sebagian bumi ini masih ada ibu-ibu yang dengan tulusnya mendidik anak-anaknya, namun dengan kejamnya lingkungan mengubah semuanya. Keluarga, sekolah, lingkungan, pergaulan dan kemajuan zaman seolah menjadi lingkaran setan yang turut membentuk kepribadian seorang anak. Bisa jadi memang benar, tapi tunggu dulu! Mari kita sedikit menyimak kisah para ibu hebat yang melahirkan anak-anak hebat pula.

Ibu Tokoh Hebat

Siapa yang mengira bahwa Thomas Alva Edison kecil adalah anak yang dicap bodoh dan tuli saat kecil. Bahkan gurunya meminta ibunya untuk mengeluarkannya dari sekolah. Nancy Mattews, sang ibu, tak putus asa mengajarkannya cara membaca, menulis dan matematika. Dia juga sering membacakan buku-buku bagi Edison, seperti buku karya Edward Gibbon, William Shakespeare dan Charles Dickens. Kwmudian jadilah Thomas Alva Edison salah satu penemu jenius di dunia ini.

Di kalangan umat Islam, siapa yang tak kenal dengan Imam Syafi’i, salah seorang mujtahid besar dan imam mahzab yang sangat populer. Dalam keadaan yatim dan miskin, beliau dididik ibunya sedemikian rupa sehingga mampu menghafal Alquran dalam usia 9 tahun. Sang ibu sangat memerhatikan makanan hingga hanya yang halal yang masuk ke perut anaknya, karena makanan itulah yang menjadi darah dan daging, tumbuh bersama akhlak dan perilakunya.

Selalu ada cerita menarik seputar ibu di balik suksesnya tokoh-tokoh besar. ”Sentuhan tangan dingin” sang ibulah yang menjadikan anak-anaknya hebat. Kasih sayang, kemauan membersamainya belajar, menjaga asupan nutrisi, hingga selalu menyisipkan doa-doa kebaikan untuk anak-anaknya dalam setiap munajatnya. Semua itu akan ada dalam sebuah keluarga yang sehat.

Pendidikan keluarga (terutama ibu sebagai guru kehidupan pertama) adalah basic, fondasi atau akar. Semakin kokoh fondasi dan akarnya, setinggi apa pun bangunan dan pohonnya tak masalah. Anak yang telah tertanam akhlak/moral yang baik dalam keluarganya, tak tergiur dengan apa pun di luar rumahnya karena mereka memahami bahwa yang mengawasi mereka bukan orangtua, tapi Allah SWT.

Ibu Harus Belajar

Karenanya, menjadi ibu itu harus cerdas. Belajar adalah solusinya. Bukan belajar formal seperti anak-anak kita, tapi lebih pada mengilmui segala sesuatu sehingga ibu mampu mendidik anaknya sesuai dengan kemajuan zaman. Ilmu itu bisa dari lingkungan kita tinggal; taman bacaan, pertemuan rutin PKK, pengajian kampung, bahkan organisasi-organisasi masyarakat, atau diskusi dan seminar tentang pendidikan atau keperempuanan. Di era teknologi informasi seperti ini pun para ibu sangat mungkin belajar dari rumahnya, dari depan komputer atau gadget-nya.

Mendidik anak bukan seperti membuat kue atau mengolah masakan yang semuanya terserah kita. Anak-anak juga manusia yang berjiwa dan mempunyai rasa, kehendak dan harga diri. Maka mengukir kepribadian mereka haruslah melibatkan hati, ilmu dan doa. Mereka butuh diarahkan, bukan dibentak atau dimarahi. Mereka perlu diluruskan, bukan disalahkan dan dicaci. Mereka butuh penghargaan, bukan sekadar tumpukan materi. Lihatlah, betapa ternyata ilmu mendidik anak kita masih sangat sedikit.

Maka “menggugat para ibu” saya ambil sebagai judul tulisan ini, lebih sebagai upaya untuk menyadarkan para ibu tentang tugas utamanya sebagai pendidik anak-anaknya. Menjadikan seorang anak berprestasi luar biasa dan berkontribusi positif untuk membangun bangsa ini bukanlah dengan cara sim salabim, tapi dimulai dari mereka mengenal dunia ini, menjejakkan kaki di bumi, mengeja huruf a b c d, memahami peristiwa, menyelesaikan permasalahan, hingga berdamai dengan kehidupan. Untuk bisa melakukan semua itu, sosok ibu bijaklah yang harus mendampinginya, meluruskannya dan mengarifi semua persoalan dengan cara pandang yang tidak menghakimi orang lain.

Siapkah kita para ibu? Tugas besar itu menanti kita agar generasi penerus bangsa ini adalah orang yang benar-benar mampu membawa banga Indonesia ke arah yang lebih baik.

Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra dan Seni rupa UNS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya