SOLOPOS.COM - Sumarsih (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (23/7/2015), ditulis Sumarsih. Penulis adalah anggota staf peneliti di Alwi Research and Consulting (Arcon) Solo.

Solopos.com, SOLO — Alangkah lucunya negeri ini. Di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk dan tingginya angka kemiskinan, negara masih memberikan ruang bagi terjadinya pernikahan anak. Momentum Hari Anak Nasional 23 Juli bisa menjadi pemicu untuk merenungkan kembali nasib anak-anak di negeri ini. Realitas negara masih memberikan ruang bagi pernikahan anak adalah salah satu hal yang harus kita renungkan pada hari ini.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Hal ini tampak jelas tergambar dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materiil (judicial review) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Permohonan uji materiil yang diajukan sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi 18 meminta agar batas usia perkawinan untuk perempuan dinaikkan menjadi minimal 18 tahun.

Ekspedisi Mudik 2024

Berdasarkan putusan MK berarti pasal tersebut akan tetap berlaku sekalipun di dalamnya terkandung legalitas terhadap pernikahan anak, khususnya pernikahan anak perempuan.

Seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan, mengacu pada Pasal 1 butir 1 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) masih tergolong sebagai anak, belum tergolong sebagai orang dewasa.

Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Arief Hidayat, MK beralasan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan masih relevan. Tak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia perkawinan perempuan akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisasi permasalahan sosial lainnya.

Dalam putusan tersebut, MK juga menolak penambahan usia pernikahan perempuan dari 16 tahun ke usia 18 tahun karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal.

Meskipun demikian, tidak semua hakim MK mempunyai pendapat demikian. Hakim Maria Farida Indrati yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan hakim-hakim MK lainnya.

Menurut Maria, usia 16 tahun dalam UU Perkawinan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24B ayat (2), Pasal 8C ayat (1) UUD 1945. [Baca: Kerugian (Anak) Perempuan]

 

Kerugian (Anak) Perempuan
Kerugian terbesar akibat putusan MK itu tentu saja berada di pihak (anak) perempuan. Dari segi kesehatan, perempuan yang menikah pada usia belia umumnya rawan tertimpa pelbagai risiko kesehatan.

Risiko kesehatan itu, misalnya, terjadi kerusakan pada organ reproduksi, gangguan kehamilan, dan risiko kematian yang lebih besar pada saat melahirkan.

Sementara dari segi sosial, dampak yang timbul akibat terjadinya pernikahan anak juga tak kalah memprihatinkan. Dampak sosial tidak saja dirasakan orang tuanya. Si anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan itu pun biasanya turut terkena imbasnya.

Jamak diketahui pasangan belia kerap abai dalam merawat dan memberikan kasih sayang terhadap anaknya. Tak jarang yang menganggap kehadiran anak sebagai penghalang bagi karier mereka.

Jika sudah demikian, dapat dipastikan hak-hak yang seharusnya diterima anak dari orang tua mereka tidak akan dapat terpenuhi dan yang paling mengkhawatirkan, (anak) perempuan yang menikah pada usia dini biasanya akan kehilangan hak memperoleh pendidikan.

Dalam konteks menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2016, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut pendidikan menjadi modal utama yang harus dimiliki setiap orang agar mampu berkompetisi secara kompetitif dalam pasar bebas wilayah ASEAN tersebut.

Putusan MK tersebut selain merugikan kaum perempuan sesungguhnya juga berpotensi melemahkan kemampuan negara ini untuk berkompetisi dalam ranah MEA.

Meskipun MK telah menolak permohonan judicial review Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, perjuangan untuk menghapus terjadinya perkawinan anak mutlak harus tetap dilakukan. [Baca: Jalan Lain]

 

Jalan Lain
Mengingat putusan MK terhadap suatu perkara adalah final dan mengikat (Pasal 24C ayat 1 UUD 1945) maka jalan lain tetap harus ditempuh untuk mencegah atau bahkan menghapus terjadinya pernikahan anak.

Pertama, mendorong pemerintah membuka akses pendidikan setinggitingginya bagi setiap warga negara. Dari segi anggaran, pemerintah seharusnya tidak kesulitan mewujudkan hal tersebut mengingat konstitusi telah mengamanatkan 20% dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk pembiayaan sektor pendidikan.

Kedua, mendorong pemerintah membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Merujuk analisis hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010, ditemukan fakta kebanyakan perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun tinggal dalam kondisi rumah tangga yang miskin.

Itu berarti kemiskinan jelas menjadi salah satu pangkal persoalan yang menyebabkan terjadinya pernikahan pada anak perempuan. Hadirnya kesempatan bekerja seluas-luasnya bagi perempuan besar kemungkinan akan dapat menghindarkan perempuan dari terjadinya pernikahan di usia belia.



Ketiga, mendorong legislative review, yakni proses legislasi revisi undang-undang melalui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Publik perlu menyuarakan aspirasi secara masif kepada para wakil rakyat di Senayan tentang perlunya merevisi UU Perkawinan setelah lebih dari 41 tahun UU tersebut diundangkan.

Dalam konteks kekinian, UU tersebut jelas sudah tidak relevan dan penting segera direvisi. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak (anak) perempuan maupun hak-hak anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Akhirnya, perlindungan terhadap (anak) perempuan tidak boleh dinomorduakan. Baik anak perempuan maupun laki-laki pada hakikatnya mempunyai potensi yang sama untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik (baca: sejahtera). Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya