SOLOPOS.COM - Imam Subkhan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (17/3/2016), ditulis Imam Subkhan. Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Saya merasa miris ketika membaca judul berita di beberapa koran tentang mayoritas dosen di Indonesia belum tersertifikasi. Jujur, sebagai pembaca setia harian ini, saya jarang membaca detail isi berita di halaman pertama, apalagi informasi yang sifatnya hardnews.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Biasanya saya hanya membaca judulnya dan sudah bisa menebak apa isinya. Ketika melihat judul berita di atas, saya sangat tergelitik untuk memelototi kata per kata dan kalimat per kalimat. Cukup mencengangkan, ada penjelasan sekitar 54% dari total 280.000 orang dosen di negeri kita belum tersertifikasi.

Asumsi saya kompetensi sebagian besar dosen di Indonesia belum terjamin. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala dan masih meragukan kebenaran data ini. Ketika menelusuri tulisan baris demi baris, ternyata sumber data ini Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Saya harus memercayai keakuratan data tersebut. Salah satu orang penting di kementerian ini memaknai dosen yang belum tersertifikasi terkesan tidak serius untuk menjadi dosen dan belum layak atau profesional menjalani profesi ini.

Sebagai mahasiswa pascasarjana, pikiran saya menjadi nakal dengan mencoba mengaitkan data ini dengan dosen-dosen di kampus saya. Jangan-jangan banyak dosen saya yang belum tersertifikasi.

Itulah refleks yang terbersit di benak saya, tetapi saya buru-buru menghapusnya karena kampus saya adalah perguruan tinggi negeri (PTN) yang saat ini tengah bergeliat untuk menjadi kampus kelas dunia (world class university).

Data tersebut menjabarkan dosen yang belum tersertifikasi tidak hanya dari kampus swasta, melainkan juga PTN. Jumlah terbesar memang ada di perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai angka 70%-90%. Saya juga membayangkan seandainya pemerintah juga menyelenggarakan uji kompetensi untuk para dosen.

Bisa jadi hasilnya semakin parah ketimbang guru. Sayangnya, pemerintah baru menjalankan program uji kompetensi guru (UKG) yang digelar secara rutin setiap tahun. Kita tahu, hasilnya pun jauh dari yang kita harapkan. Itu pun baru dua kompetensi yang diujikan, yakni kompetensi profesional dan pedagogik.

Melihat fenomena ini, kerisauan saya bukan karena sekarang saya sedang dibimbing dosen-dosen yang entah sudah bersertifikat pendidik atau belum, sungguh bukan itu. Saya justru melihatnya lebih jauh dan kompleks, yakni masalah mutu pendidikan bangsa ini.

Selama ini, yang diributkan selalu mutu dan kompetensi guru ketika menyoal tentang rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Selalu ujungnya guru yang harus bertanggung jawab atas problem pendidikan bangsa ini.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggagas simposium nasional guru dan rembuk nasional pendidikan yang baru saja berakhir, yang sesungguhnya menyiratkan kegelisahan, bahwa gurulah yang mengemban tugas terbesar dan menjadi ujung tombak peningkatan standar mutu pendidikan.

Pelibatan publik dan pilar lain untuk kemajuan pendidikan juga tengah digalakkan. Pertanyaan yang kemudian muncul di benak saya: guru itu siapa, asalnya dari mana, dan siapa yang membuat mereka menjadi guru? Bukankah profesi guru yang disandang karena mereka telah lulus, minimal secara kualifikasi akademik?

Artinya, mereka adalah lulusan perguruan tinggi, baik berlevel sarjana, magister, maupun doktor. Selama di kampus, tentu saja mereka mendapatkan tempaan dan gemblengan berupa ilmu dan pengalaman untuk menjadi sosok guru yang mumpuni. Siapa yang mengajari mereka?

Tak lain dan tak bukan adalah dosen. Kalau ingin melihat potret guru kita saat ini seperti apa, bagaimana kualitasnya, tentu sangat logis dan fair jika kita kembalikan kepada para dosen yang mendidik para guru kita.

Sesungguhnya jika para dosen yang bekerja di perguruan tinggi benar-benar serius mendidik para calon guru, tentu pemerintah tidak perlu menghambur-hamburkan anggaran untuk program pendidikan dan pelatihan guru-guru di sekolah. [Baca selanjutnya: Mutu Kuliah]Mutu Kuliah

Seandainya diperlukan ya sebatas pelatihan untuk pengembangan keterampilan kekinian dan inovasi-inovasi dalam dunia pendidikan, bukan pada kompetensi dasar profesi guru. Empat kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial telah tamat dan tuntas di perguruan tinggi.

Kenyataannya berbicara lain. Sebagian besar lulusan lembaga keguruan dan ilmu pendidikan belum siap mengajar begitu mereka lulus dari perguruan tinggi. Mereka masih tampak gamang, canggung, dan grogi saat berhadapan dengan murid.

Tak layak berharap mereka bisa menerapkan metode mengajar yang atraktif dan inovatif, berbicara di depan kelas saja masih terbata-bata dan tidak sistematis. Tak sedikit yang bercucuran keringat dingin dan hanya menjadi bahan tertawaan murid-murid.

Ada yang menyanggah: mereka kan butuh penyesuaian diri di lingkungan baru, jadi maklum kalau belum siap. Pendapat itu bisa ada benarnya, tetapi bukan pada persoalan kompetensi dasar mengajar atau mengelola anak dan pembelajaran, melainkan pada ranah bagaimana memahami karakteristik anak didik dan permasalahan di sekolah.

Alangkah piciknya ketika menyoal mutu pendidikan selalu dialamatkan kepada guru, termasuk terjadinya krisis moral dan karakter pada pelajar kita. Jelas sekali disebutkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Sistem dan tujuan itu adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Artinya guru dan dosen memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam memajukan pendidikan. Jika pada guru dipersoalkan mengenai mutu pembelajaran di kelas atau di sekolah, dosen juga harus disorot tentang mutu perkuliahan yang diperankan.

Selama ini kita menuntut guru untuk mengemas pembelajaran secara aktif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Selain memfasilitasi pembelajaran secara optimal, guru juga berperan menjadi inspirator, motivator, sekaligus konselor pendidikan, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga wali murid.



Bisakah guru menjalankan semua tugas dengan baik jika pada waktu kuliah saja mereka tidak mengalami model perkuliahan yang menarik dan menantang? Apakah mereka selalu menjumpai figur dosen yang atraktif dan inovatif dalam mengelola perkuliahan?

Mungkin para dosen bisa beralasan yang mereka hadapi adalah mahasiswa, bukan anak-anak. Jadi yang diterapkan adalah model pembelajaran andragogi, yaitu metode pembelajaran untuk orang dewasa.

Pembelajaran andragogi hanyalah sebatas pendekatan. Artinya dosen menempatkan didi sebagai fasilitator, mahasiswalah yang aktif terlibat dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Model ini bukan berarti menghilangkan metode pembelajaran yang efektif untuk diterapkan di kelas-kelas kuliah.

Tentu sah-sah saja ketika dosen telah menyiapkan rencana perkuliahan dan perangkat pembelajaran yang mendukung, seperti penggunaan media. Selama ini perkuliahan cenderung menjejali mahasiswa dengan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya kognitif, tetapi nihil pembentukan sikap dan mengasah keterampilan.

Tidak mengherankan kalau perkuliahan isinya cuma ceramah, pemberiaan tugas, presentasi, dan diskusi. Kegiatan tatap muka selanjutnya dosen hanya pasif menunggu dan sedikit berkomentar. Masih lumayan kalaua dosen membawa laptop atau buku referensi karena sering juga dijumpai mereka masuk ruangan kuliah dengan tangan hampa.

Banyak dosen yang masuk kelas masih bertanya pada mahasiswanya: hari ini yang kita bahas apa ya? Terus kelompok siapa yang akan maju presentasi? Belum lagi masalah perkuliahan yang kosong. Ini bukan cerita baru di dunia kampus.

Entah dosennya yang malas mengajar atau lebih memprioritaskan proyek di luar yang lebih menjanjikan dari segi materiil, peningkatan karier, maupun pencitraan diri. Pada akhirnya mengajar di perkuliahan menjadi pekerjaan sampingan dosen.

Kalau kondisinya seperti ini, tentu kita tidak bisa berharap banyak untuk memiliki guru-guru yang hebat dari kampus. Sadarilah bahwa dosen juga guru yang memiliki posisi dan peran yang sama dalam mencetak generasi penerus bangsa.

Bukankah gelar akademik tertinggi di kampus adalah guru besar, bukan dosen besar? Wahai para dosen, jadilah guru yang hebat untuk para mahasiswa sebagai calon guru!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya