SOLOPOS.COM - Marlupi Julianingrum marlupijulian@gmail.com Perencana Pertama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Marlupi Julianingrum  marlupijulian@gmail.com  Perencana Pertama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Marlupi Julianingrum
marlupijulian@gmail.com
Perencana Pertama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Beberapa tahun terakhir  Indonesia diributkan persoalan impor pangan yang tak berkesudahan, yang mengakibatkan para petani menjerit, dan produsen pangan lokal berontak. Beras yang katanya menu wajib masyarakat Indonesia telah terintimidasi dengan produk beras impor.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketika Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo memopulerkan (kembali) wacana kedaulatan pangan, banyak pihak tergerak untuk bersama-sama mewujudkan impian tersebut. Lantas apa sebenarnya filosofi dalam konsep ”kedaulatan pangan”, dan bukan ”ketahanan pangan” seperti yang selama ini menjadi program pembangunan pangan di Indonesia?

Dari berbagai literatur dapat disimpulkan secara sederhana bahwa konsep ketahanan pangan adalah upaya mencukupi ketersediaan pangan sesuai perhitungan kebutuhan masyarakat, tidak mempertimbangkan dari mana suplai pangan tersebut berasal. Model konsep ini lebih mendasarkan pada pasar global yang mengutamakan nilai ekonomis.

Sedangkan filosofi kedaulatan pangan adalah penyediaan pangan dengan mengedepankan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat, berbasis pada kearifan lokal serta mempertimbangkan keberlanjutan dengan sasaran utama adalah pemenuhan konsumsi domestik.

Kegagalan kebijakan pemerintah dalam pengembangan pangan selama ini, antara lain penyeragaman konsumsi pangan masyarakat yaitu beras, berakibat pada tingginya ketergantungan pangan terhadap beras. Orientasi pembangunan pertanian pun terfokus pada peningkatan produksi beras semata, bukan pada kesejahteraan petani secara menyeluruh.

Bahkan ruang bagi petani mengembangkan inisiatif pangan lokal pun dibatasi. Ketika pembangunan semakin maju dan membutuhkan pengembangan lahan untuk fungsi-fungsi ekonomi lainnya, lahan pertanian semakin tergerus dengan cepat. Ditambah lagi dengan penerapan konsep monokultur dan intensifikasi pertanian yang terbukti tidak bertahan.

Semenjak terjadi krisis ekonomi pada 1997, kondisi pangan di Indonesia semakin terpuruk. Saat pemerintah menandatangani perjanjian utang dengan IMF yang mensyaratkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Indonesia, salah satunya adalah impor bahan pangan, dampaknya semakin nyata terutama semakin besarnya ketergantungan pada bahan pangan impor.

Di sisi lain, petani harus berjuang keras melawan derasnya arus bahan pangan impor tanpa ada mekanisme pengaman yang kuat dari pemerintah. Inilah titik balik kehancuran pangan di Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia berada di bawah tekanan global yang cukup besar, dengan aturan perdagangan internasional yang tidak adil.

Dalam konteks ini berlaku keharusan-keharusan yang wajib dipenuhi, antara lain membuka pasar dalam negeri untuk impor bahan pangan murah terutama beras, menghapus subsidi terutama subsidi pertanian, serta pembatasan perdagangan produk pertanian Indonesia di pasar global, terutama di negara-negara maju.

Tentu situasi ini berimbas di level daerah, di mana petani sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Menilik perkembangan produksi pertanian di Jawa Tengah saat ini, yang secara statistik mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat, utamanya beras, yang bahkan mampu berkontribusi terhadap produksi beras nasional, semestinya krisis pangan tidak terjadi di Jawa Tengah.

Namun, fakta berbicara sebaliknya. Tingkat kerawanan pangan di Jawa Tengah cukup mengkhawatirkan. Berpijak pada realitas tersebut dan disokong fakta nasional, menjadi tepat jika paradigma kebijakan pangan pemerintah daerah Jawa Tengah bergeser dari ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Lantas seperti apa penjabarannya agar implementatif ?

Usulan Implementasi

Kata kunci dalam pewujudan kedaulatan pangan adalah kembali ke kearifan lokal, hingga level terbawah (desa). Langkah awal yang dapat dilakukan adalah memastikan keunggulan atau comparative advantage yang dimiliki setiap wilayah desa, terutama produk-produk pangan nonberas.

Penting juga untuk meninjau kembali efektivitas program Desa Mandiri Pangan. Sejauh mana keberhasilan serta kelemahannya, agar tidak lagi menjadi program yang sekedar given dari pemerintah. Selanjutnya adalah memastikan keaktifan sistem kelembagaan pangan lokal masyarakat.

Pelibatan masyarakat secara aktif untuk mewujudkan prakarsa kedaulatan pangan juga menjadi langkah penting yang harus diinisiasi oleh pemerintah. Langkah selanjutnya terkait dengan tiga hal penting dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu sistem produksi, sirkulasi produksi, dan budaya pangan.

Sistem produksi berkaitan dengan penerapan sistem pertanian organik dan ramah lingkungan, dengan menggunakan pupuk nonkimiawi, pemberian benih yang sesuai dengan kapasitas lokal, penerapan metode dan pola tanam yang beragam dan tahan terhadap perubahan iklim, penyediaan irigasi yang disertai dengan pengelolaan berbasis masyarakat, serta pengembangan dan penelitian benih tanaman pangan yang sesuai dengan ekosistem pertanian lokal.

Terkait dengan sirkulasi produksi, pemerintah harus mampu memfasilitasi kemudahan akses pasar produk-produk pangan lokal yang sehat. Penyediaan jaringan informasi tepat guna hingga level desa guna memudahkan akses informasi pasar dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan pertanian lokal menjadi faktor pendukung utama.

Selain itu, penguatan jaringan pergudangan melalui sistem resi gudang, penguatan kelembagaan koperasi pertanian melalui pendampingan secara berkelanjutan, dan penyediaan infrastruktur sebagai sarana distribusi pangan, kesemuanya harus berbasis masyarakat.

Hal yang berkaitan dengan budaya pangan maka strategi utama yang dapat dilakukan adalah pengurangan ketergantungan terhadap beras melalui pengenalan dan pemanfaatan produk pangan nonberas. Kebijakan tersebut harus dilakukan secara terpadu, dan bersinergi dengan pembangunan perdesaan secara menyeluruh.

Pembangunan pertanian harus pula memperhatikan kehidupan sosial ekonomi petani, tidak hanya memberikan subsidi untuk produksi, namun pemerintah juga harus menyediakan kemudahan akses sosial seperti pendidikan dan kesehatan serta energi bagi petani dan keluarga petani sebagai bentuk insentif untuk mereka.

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang telah menetapkan peraturan daerah tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka mengupayakan perlindungan terhadap lahan-lahan pertanian produktif dari pengalihfungsian peruntukan juga wajib untuk dikawal dengan baik implementasinya.

Dengan pembangunan pertanian pangan yang komprehensif hingga level desa, mimpi akan kedaulatan pangan dapat terwujud. Peran kepala daerah sangat penting untuk memberikan arahan pada jajarannya, agar mengimplementasikan program-program pembangunan daerah secara terpadu, tidak lagi sektoral, tetapi lebih mengutamakan koordinasi lintas sektoral.

Kepala daerah juga dapat mendorong kebijakan pemerintah pusat agar lebih pro pangan lokal, agar tercipta petani yang berdaulat yang mampu memproduksi pangannya sendiri dan mewujud pada kedaulatan pangan secara lebih luas di masyarakat, tidak hanya di Jawa Tengah, tapi hingga nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya