SOLOPOS.COM - Aloysius Waryono (Istimewa) aloyswaryono@yahoo.co.id Guru SMKN 2 Klaten Alumnus Pascasarjana Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Senin (14/8/2017). Esai ini karya Al. Waryono, guru di SMKN 2 Klaten yang merupakan alumnus Pascasarjana Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung. Alamat e-mail penulis adalah al.waryono62@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Orang Barat (Eropa) berusaha menaklukkan alam dengan kepandaian sedangkan orang Timur (Indonesia) bersyukur atas anugerah negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem karta raharja, gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, lan adoh kuncarane.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Negeri bagaikan ”serpihan surga” yang terbentang luas dengan aneka suku, kepercayaan, budaya, bahasa, dan adat istiadat.  Semua itu adalah anugerah dan kekayaan yang tak ternilai yang terwujud dalam keindahan dan kemuliaan yang harmonis baik dengan sesama, alam semesta, maupun Sang Pencipta.

Aneka perbedaan, menurut Komaruddin Hidayat, ibarat aliran berbagai sungai yang akhirnya akan kembali menyatu dengan samudra yang luas, jernih, dan indah. Samudra kasih itu tidak lain adalah Tuhan sang pencipta alam semesta yang senantiasa menampung dan merindukan semua roh manusia untuk bergabung kembali dengan-Nya.

Dengan anugerah tanah air yang elok, subur, makmur, serta ajaran yang luhur, para leluhur atau nenek moyang negeri ini merasa hidup berkecukupan. Mereka lalu tenggelam dalam renungan dengan menyendiri, menyepi, semedi, berdoa, tirakat, atau bertapa mencari hakikat hidup yang sebenarnya.

Para leluhur meyakini lakon atau cerita hidup mereka ibarat wayang  yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa kehadiran sang dalang. Siklus kehidupan dari alam purwa (sebelum lahir), alam madya atau madyapada (dunia sekarang ini), alam wasana (setelah kematian raga) ada di tangan Sang Dalang Sejati yang tidak lain Gusti Allah.

Filosofi Jawa mulih mula mulanira dan sangkan paraning dumadi menggambarkan pengalaman bahwa semua makhluk di muka bumi ini akhirnya akan pulang kembali ke asal mula. Itulah konsekuensi logis dari keyakinan para leluhur yang mendasar pada keyakinan Tuhan yang memberi dan Tuhan pulalah yang akan memanggilnya kembali.

Selanjutnya adalah: Memahami dari mana dulu bereasal dan akan ke mana…

Memahami asal

Memahami dari mana dulu berasal dan akan ke manakah hidup ini nantinya menunjukkan pemahaman bahwa dunia ini bukanlah tempat yang abadi. Raga akan mati dan sirna, tetapi roh atau jiwa akan tetap ada dan tetap hidup dalam alam keabadian yang tidak mengenal awal dan akhir.

Hidup sangat singkat, ibarat mung mampir ngombe. Singgah sebentar untuk minum, akan tetapi sangat menentukan nasib dan arah perjalanan selanjutnya menuju alam keabadian. Setiap orang akhirnya akan ngundhuh wohing pakarti.

Artinya baik dan buruk masa depan yang sejati adalah akibat dari perbuatan sendiri ketika mengembara di dunia ini. Itulah sebabnya dahulu para leluhur negeri ini terkenal guyub, rukun, pemurah, pemaaf, dan lebih mengutamakan laku batin untuk mendapatkan ketenteraman rohani.

Falsafah kerendahan hati selalu mewarnai kehidupan dan mengakui bahwa diri tak lebih dari setitik debu dalam lingkup alam semesta yang luasnya tak terbatas. Dalam keterbatasan itu mereka percaya bahwa bandha amung titipan, nyawa amung gadhuhan, lan pangkat amung sampiran.

Ungkapan sangat religius bahwa harta, nyawa, dan pangkat hanyalah titipan berstatus sementara yang setiap saat akan diambil kembali oleh yang nitipi, yang nggadhuhi, dan yang nyampiri, yakni Gusti Allah. Apa arti kesuksesan, kedudukan, dan kemewahan yang diraih dengan menghalalkan berbagai cara (menyuap, menipu, mencuri, korupsi, atau menjual diri)?

Semua itu hanya akan berakhir dengan kematian. Aneka kemewahan dunia yang dicari, dikejar, dipuja, dan diagung-agungkan  akhirnya tidak akan dibawa saat kematian menjemput. Bekal perjalanan untuk bisa sampai kepada-Nya bukan melimpahnya harta benda dan tingginya jabatan atau kedudukan tetapi hanyalah amal kebaikan yang pernah ditanam di dunia.

Bagi Sang Pencipta kemewahan dunia seperti intan, emas, dan permata yang dipuja manusia ibarat hanyalah butiran-butiran  pasir di pinggir samudra  yang tidak ada gunanya.

Memayu Hayuning Bawana

Menurut Mohammad Sobary, supaya kehidupan manusia di dunia yang sangat singkat ini tidak sia-sia, punya makna atau arti, dan akhirnya bisa slamet dunia dan akhirat,  manusia harus mampu ”menerjemahkan keindahan dan kemuliaan langit ke dalam keindahan dan kemuliaan bumi”.

Manusia harus ikut memayu hayuning bawana lan ambrasta dur hangkara. Ikut mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak. Manusia harus ikut membuat wajah dunia ini supaya lebih indah, guyub, rukun, aman, damai, dan tenteram untuk dihuni bersama.

Keserakah dan ketamakan, apalagi korupsi, menurut Mohammad Mahfud Md. menyebabkan hidup tak pernah tenang. Untuk apa punya uang atau harta banyak dan kedudukan tinggi jika hidup tak tenang? Ketenangan dan kebahagiaan hidup bukan terletak pada kedudukan dan uang, tetapi pada rasa kemanusiaan, empati, dan kejujuran.

Para leluhur percaya, Tuhan sudah mengatur dan membagi rezeki sesuai kapasitas manusia. Ukuran rezeki bukan harus berupa harta benda, jabatan, dan kemewahan dunia melainkan bisa berupa kesehatan, kerukunan, kebersamaan, persatuan, dan jumlah saudara yang semakin banyak karena amal kebaikan.

Kini tersaji potret nyata yang penuh kontradiksi dalam relevansi antarzaman yang begitu terkait. Perkembangan zaman yang pesat dengan berbagai kemudaan dan kenikmatan membuat banyak orang menjadi lupa dan terlena.

Dahulu para leluhur selalu bersyukur dan merasa cukup hidupnya tetapi kini yang terjadi sebagian besar masyarakat/para pemimpin tidak pernah puas apalagi bersyukur dengan apa yang telah dimiliki. Keinginan tidak hanya sukses dan kaya tetapi juga ingin berkuasa selama-lamanya.



Selanjutnya adalah: Falsafah kerendahan hati para leluluhur…

Kerendahan hati

Falsafah kerendahan hati para leluhur telah rontok jika menyaksikan realitas hari ini. Ukuran hidup pada zaman ini bukan lagi kerendahan hati tetapi kepemilikan materi. Semakin banyak materi yang dipunyai seakan-akan semakin sukses dan mulia kehidupnya.

Sukses mendadak dan kaya tiba-tiba di luar kewajaran dianggap hal wajar dan biasa. Banyak wong Jawa padha ilang Jawane. Hilang kemampuan menerjemahkan ajaran luhur sebagai simbol dalam tata cara budaya Jawa.

Hilang kecerdasan sosial sebagai masyarakat Jawa yang guyup rukun. Sebaliknya, yang terjadi adalah masyarakat hanya bisa melihat dari sisi luar dan kurang mampu mengasah bahasa dan mata batin. Banyak yang lupa manusia diciptakan di dunia ini supaya menjadi manungsa utama, jalma pinilih, atau insan kamil.

Manusia yang hidupnya tansah setya tuhu ajrih asih mring Pangeran. Itulah puncak evolusi manusia yang dalam pemikiran para leluhur dikenal dengan manusia yang sempurna. Pribadi seperti itu dapat dimiliki oleh siapa saja yang berusaha menyatukan hidupnya dengan Sang Pencipta.

Kalau Tuhan Yang Maha Baik dan Benar menyatu dengan umat-Nya (manunggaling kawula Gusti), terlebih menyatu dengan para pemimpin, dapat dipastikan kerukunan, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan akan mewarnai negeri ini.

Tidak ada lagi di negeri ini saling membenci, menghina, menghujat, memfitnah, mendemo, dan menolak. Selalu ingat bahwa semua adalah saudara sebangsa dan setanah air. Ingat bahwa  kemerdekaan negeri ini dibangun atas dasar persatuan dan kerelaan untuk hidup saiyeg saeka praya, saling melebur dan menyatu dengan sesama.

Pasti tidak akan ada lagi rakyat yang bodoh, miskin, dan menderita. Tidak ada yang mati karena kelaparan. Tidak ada jalan yang berlubang-lubang bagaikan sungai kering yang  membuat jatuh dan menewaskan rakyat. Gambaran Gusti Allah Kang Maha Tresna selalu nampak dalam perilaku.

Tataran kehidupan seperti itu bagi para leluhur bukanlah sesuatu yang mustahil. Setiap orang bisa mencapainya asal percaya dan terus berusaha yang dilandasi rasa asih mring sesami (cinta kepada sesama) dan sepi ing pamrih rame ing gawe (giat bekerja tanpa mementingkan dirinya sendiri). Itulah hakikat kehidupan yang dapat digali dari ajaran para leluhur sebagai batu ujian semua insan dalam menentukan masa depan bangsa ini.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya