SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (24/11/2017). Esai ini karya Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi. Alamat e-mail penulis adalah bandungmawardi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Pada akhir abad XIX orang-orang Jawa mulai memiliki cita-cita baru. Sekian orang ingin menjadi guru seperti tuan kulit putih asal Belanda: mengajar di sekolah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Guru tampak berpenampilan rapi, bertutur kata sopan, dan memiliki gaji memadai untuk hidup. Ranggawarsita mencatat jenis pekerjaan itu dalam Serat Jayengbaya.

Ia menggubah karya sastra mengandung obsesi, sindiran, dan terasa lucu: luwih enak dadi guru, ugere wis klimah/ sungo marah marang murid/ marem sakeh siswaningwang/ nyana ngelmu ketes-ketes/ satemene saking padha/ bodhone kang miluta/ marmane mempeng atiku…

Orang ingin menjadi guru cuma berbekal bisa membuat kalimat. Di sekolah guru itu mengajar berlagak paling pintar dan luhur. Lagak itu disokong oleh ketololan para murid.

Jayengbaya malah merasa bersalah dan takut jika menjadi guru sombong dan sembrono. Cita-cita jadi guru pun dibatalkan agar tak menjerumsukan orang dalam muslihat ilmu dan kebodohan.

Ranggawarsita menggubah Serat Jayengbaya antara 1822-1830 saat Jawa mulai kedatangan para pendakwah, sarjana, dan guru asal Belanda. Sekolah-sekolah modern diadakan di Jawa tapi membedakan posisi: bocah-bocah Jawa menjadi murid dan orang-orang Belanda atau Eropa menjadi guru.

Keluarga bangsawan dan elite menginginkan bocah-bocah bersekolah untuk pintar, mengubah nasib, dan berharapan mendapat pekerjaan di birokrasi kolonial. Bocah-bocah itu diharuskan patuh pada segala petunjuk para guru dari negeri jauh.

Guru-guru itu berada di sekolahan dengan bangunan khas modern. Para murid Jawa perlahan kagum pada guru. Mereka berhak memiliki cita-cita menjadi guru meski secara hierarkis tetap bakal ada di urutan bawah. Dulu, posisi terpenting selalu dimiliki guru-guru asal Belanda.

Situasi itu ditanggapi Ranggawarsita dengan gubahan sastra, mencatat ada keinginan orang Jawa menjadi guru: mengajar murid-murid dengan ilmu-ilmu baru berasal dari negeri-negeri jauh. Catatan itu mendahului kebijakan pemerintah kolonial mendirikan sekolah pendidikan guru di Solo pada 1852.

Selanjutnya adalah: Sekolah-sekolah untuk kaum bumiputra

Bumiputra

Pada pertengahan abad XIX sekolah-sekolah untuk kaum bumiputra diadakan di Jawa. Pemerintah lekas mempersiapkan ketersediaan guru di kalangan Jawa dengan pendirian sekolah pendidikan guru.

Pada 1892 jumlah murid bumiputra di sekolahan-sekolahan Jawa tercatat 52.700 orang. Pemerintah wajib menambah jumlah guru dari kaum bumiputra untuk mendampingi atau membantu guru-guru Belanda. Sekolah itu dinamakan Kweekschool.

Para murid Jawa bersaing untuk masuk ke Kweekschool, berharapan lulus dapat menjadi guru (Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984). Bersekolah dan menjadi guru memungkinkan ada kemudahan menjadi elite atau priayi.

Guru menjadi pekerjaan idaman dan menentukan derajat sosial dalam zaman perubahan di Jawa sejak awal abad XX. Pekerjaan idaman itu sempat mendapat sindiran Ranggawarsita. Sindiran tak mujarab. Sejak dulu sampai sekarang, orang-orang tetap saja berebutan menjadi guru dengan segala cara dan jalur.

Kota Solo tercatat sebagai pemula dalam pendidikan guru secara modern berkurikulum khas Eropa. Pengenalan guru sebagai profesi baru dibedakan dari guru-guru spiritual atau seni di Jawa. Guru bercap baru ditentukan dari busana, jadwal kerja, gaji, bahasa, dan hubungan dengan pemerintah kolonial.

Pemilihan Solo sebagai lokasi awal pendidikan guru di tanah jajahan memicu perdebatan berkaitan nalar tradisional, bahasa, pertumbuhan kota, dan identitas kejawaan. Murid-murid di Kweekschool tak cuma berasal dari Jawa tapi berasal dari pelbagai kota.

Di ruang geliat Jawa dan modernitas Eropa, murid-murid berpikiran menjadi guru dengan mempelajari ilmu-ilmu baru atau asing. Mochtar Buchori dalam buku Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai IKIP, 1852-1998 (2007) menemukan informasi sejarah bahwa ketentuan murid bisa diterima di Kweekschool adalah tamatan sekolah pemerintah, sudah berusia 12 tahun, dan berasal dari keluarga baik-baik.

Semula Kweekschool itu sekolah pembibitan atau sekolah persemaian selama empat tahun untuk menghasilkan guru-guru yang mengajar murid-murid bumiputra di tingkat dasar. Jenjang lanjutan mulai diadakan pemerintah dengan nama Hogere Kweekschool, jenjang menjadi guru lebih tinggi.

Selanjutnya adalah: Perubahan kebijakan terjadi pada 1915

Perubahan Kebijakan

Perubahan kebijakan terjadi pada 1915 untuk Kweekschool. Pada tahap awal, murid-murid di Kweekschool mendapatkan bahasa Belanda sebagai mata pelajaran. Sejak 1915 mereka diharuskan menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah, bukan cuma mata pelajaran.

Institusi pendidikan guru semakin bertambah dengan pendirian Normaalschool dengan lama pendidikan empat tahun. Murid-murid asal Jawa tetap bersemangat melanjutkan pendidikan agar menjadi guru: terhormat dan berpendidikan.

Mereka harus tamat dari Sekolah Pribumi Kelas II untuk bisa masuk ke Normaalschool. Mereka diwajibkan mempelajari 14 mata pelajaran: bahasa daerah, bahasa Melayu, ilmu mendidik, ilmu hitung, ilmu bangun, ilmu tanaman, ilmu hewan, ilmu alam, ilmu bumi, sejarah, menggambar, menulis, menyanyi, pendidikan jasmani dan permainan di luar sekolah.

Bekal itu memungkinkan mereka menjadi guru profesional sesuai zaman ”kemadjoean”. Jawa diharapkan berubah dengan peran para guru untuk mengajarkan pelbagai ilmu, memberi arahan kepada murid-murid bumiputra menapaki kemodernan berlatar abad XX.

Robert van Niel dalam buku Munculnya Elite Modern (1984) mencatat sekian orang dari jenis dan jenjang pendidikan modern itu melahirkan kaum elite menggerakkan ide dan imajinasi Indonesia dalam gerakan nasionalisme di politik dan pendidikan.

Keberhasilan model Kweekschool di Solo dilanjutkan dengan pendirian Kweekschool di Bukittinggi (1856); Tanah Batu, Tapanuli (1894); Banjarmasin (1875); Makassar (1876); Bandung (1866), Tondano (1873); Padang Sidempuan (1879); dan Probolinggo (1875). Sekolah-sekolah bagi kaum bumiputra semakin bertambah dan jumlah guru bumiputra pun bertambah.

Jumlah itu sulit memengaruhi perubahan kebijakan politik-pendidikan kolonial dengan melibat guru-guru bumiputra. Posisi mereka tetap berada di bawah guru-guru Belanda atau Eropa. Guru bumiputra pun malah diawasi ketat agar tak tergoda turut dalam pergerakan politik kebangsaan.

Di mata pemerintah kolonial, guru-guru dengan ilmu-ilmu baru cuma bertugas mengajar dan terlarang berpolitik. Guru-guru tak selalu patuh pada penguasa. Di sarekat dan perkumpulan modern, guru-guru mulai terlibat dan menjadi pemandu perubahan dengan risiko mendapat hukuman. Guru di luar sekolahan telah memunculkan curiga dan cemas.

Selanjutnya adalah: Guru sebagai pembawa obor



Obor

Di desa dan kota, guru-guru berhak tampil sebagai pembawa obor mencipta terang di tanah jajahan. Mereka menginginkan menambah ilmu dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di kota besar atau di Belanda.

Guru menempuhi titian ”kemadjoean” dengan peta pendidikan dan politik kebangsaan. Guru-guru tak selalu tamatan sekolah-sekolah bentukan kolonial. Keberadaan sekolah-sekolah partikelir mulai memunculkan guru-guru bercorak pikiran baru tanpa perintah-perintah mutlak dari penguasa kolonial.

Mereka malah sanggup berada di seberang kebijakan politik dan pendidikan buatan pemerintah kolonial. Pendirian sekolahan-sekolahan partikelir lazim diadakan oleh organisasi atau sarekat sejak awal abad XX.

Pendidikan di sekolahan dipilih untuk mengenalkan dan membesarkan nasionalisme dan pemuliaan Indonesia. Pada masa lalu tercatat sekolahan-sekolahan itu diselenggarakan oleh Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Indische Partij, Pendidikan Nasional Indonesia, dan lain-lain.

Pendidikan guru menjadi penentu keberlangsungan sekolah-sekolah di bawah naungan pemerintah atau partikelir. Sutrisno Kustjojo dalam buku berjudul Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Tengah (1981) mencatat keberadaan sekolah pendidikan guru di bawah kuasa pemerintah kolonial sejak 1952 sampai masa 1940-an.

Sekolah-sekolah pendidikan guru itu adalah Normaalschool, Normaalleergangen voor Inlandsche Hulp Onderwijzers, Leergangen Tot Opleiding van Volksonderwijzers, Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers, dan Hogere Kweekschool.

Di Jawa, jumlah guru bertambah dengan beragam misi, mulai pendidikan sampai kekuasaan. Di luar sekolah-sekolah pendidikan guru bentukan pemerintah, guru-guru berhaluan nasionalisme dan melawan penguasa semakin sadar tentang peran mereka di kalangan kaum terjajah.



Guru-guru berseru tentang kemajuan dan kemerdekaan saat pemerintah kolonial sering mengeluarkan peraturan mencipta dilema kepada guru: patuh menjalankan profesi atau menekuni jalur politik pergerakan kebangsaan.

Para guru tercatat di lembaran sejarah Indonesia. Mereka menunaikan tugas mendidik dan menambahi misi agar menjadi manusia mulia. Dulu, mereka harus mengikuti petunjuk dan ketentuan untuk menjadi guru.

Kini, guru-guru semakin dibakukan harus tamatan dari institusi resmi sesuai kebijakan pemerintah demi meraih profesi terhormat dan pemenuhan tujuan pendidikan nasional. Mereka sedang melanjutkan sejarah (pendidikan) guru meski belum tentu punya ingatan dan tautan biografis pada masa lalu.

 

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya