SOLOPOS.COM - Desmon Silitonga (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (12/6/2015), ditulis Desmon Silitonga. Penulis adalah Analis senior di PT Millenium Capital Management.

Solopos.com, SOLO — Akhir-akhir ini nilai tukar rupiah terus tertekan. Gejolaknya pun relatif mengkhawatirkan, meski pemerintah telah mengeluarkan delapan paket kebijakan ekonom pada Maret lalu dan diikuti langkah stabilitasi dari Bank Indonesia (BI).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Langkah stabilisasi itu dengan intervensi di pasar valuta asing (valas) dan surat utang negara (SUN) serta merelaksasi berbagai aturan terkait transaksi valas dan lindung nilai (hedging).

Hal-hal itu ternyata belum mampu menghela rupiah ke level yang diharapkan, yaitu Rp12.500/US$. Sebaliknya, rupiah justru ”betah” berada di atas level Rp13.200/US$.

Ekspedisi Mudik 2024

Jika dihitung sejak Januari-Mei 2015 rupiah telah terdepresiasi sekitar 6%. Posisi ini lebih ”buruk” daripada periode yang sama tahun lalu sekitar 5,37%. Bukan itu saja, jika dibandingkan dengan nilai tukar sekawasan, performa rupiah relatif cukup buruk.

Di satu sisi, nilai tukar yang melemah tidak selalu berdampak negatif. Malah nilai tukar yang melemah bisa jadi momentum untuk meningkatkan nilai ekspor.

Masalahnya di tengah masih lambatnya pertumbuhan global, khususnya negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok, dan ditambah masih ”melempemnya” harga komoditas membuat pelemahan rupiah tidak signifikan mendongkrak ekspor.

Ini dapat dilihat dari nilai ekspor Indonesia periode Januari-April 2015 yang hanya mencapai US$52,14 miliar. Nilai ini melorot sekitar 11,04% daripada periode yang sama tahun lalu.

Nilai ekspor nonmigas juga melorot sekitar 6,43% menjadi US$44,98 miliar sehingga pasokan valas yang masuk juga terbatas. Meski kinerja impor juga melambat, masih tingginya ketergantungan industri pada impor untuk aktivitas produksi dan investasi membuat pasokan valas yang keluar juga relatif tinggi.

Itulah sebabnya beban industri meningkat ketika terjadi pelemahan nilai tukar sehingga tidak mengherankan jika beberapa industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk mengurangi beban biaya. [Baca: Sumber Pelemahan]

 

Sumber Pelemahan
Apa sebenarnya yang membuat rupiah cenderung melemah seperti saat ini? Jawabannya tidak lepas dari kombinasi faktor internal dan eksternal.

Dengan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan global dan masih dianutnya rezim devisa bebas membuat eskalasi perekonomian global selalu memberikan gejolak pada rupiah.

Itulah sebabnya ketika The Fed menjalankan tapering off dan rencana penaikan suku bunga acuan membuat rupiah jadi bergejok. Sayangnya, Bank Indonesia (BI) merespons kondisi ini dengan menaikkan BI-rate yang justru melambatkan pertumbuhan.

Apakah faktor eksternal ini harus selalu dijadikan ”biang kerok” ketika rupiah tertekan? Jika ingin jujur, secara internal juga bermasalah, malah pelemahan rupiah saat ini mungkin lebih disebabkan faktor internal.

Jika diidentifikasi ada beberapa faktor internal itu. Pertama, defisit transaksi berjalan (DTB) yang masih relatif tinggi. Pada 2014, DTB di level 2,95% terhadap PDB. Posisi ini lebih baik daripada pada 2013 yang di level 3,18% terhadap PDB, namun tetap masih tinggi.

Negara yang DTB-nya cenderung tinggi maka nilai tukarnya biasanya juga cenderung melemah. Salah satu komponen DTB yang membuat DTB selalu tinggi ialah defisit neraca minyak.

Tingginya ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) dan pasokan serta komsumsi yang tak seimbang membuat valas harus dibelanjakan dalam jumlah besar tiap tahun untuk  mengimpor BBM.

Saat ini pemerintah telah menyerahkan mekanisme harga BBM ke pasar, namun hal ini tidak akan signifikan menurunkan impor BBM jika tidak ada kemauan yang kuat untuk mendiversifikasi BBM ke gas dan energi terbarukan lainnya dan diikuti investasi besar-besaran di sektor transportasi publik.

Bagaimana pun dengan pulihnya pertumbuhan ekonomi maka permintaan atas BBM juga naik. Kenaikan harga tidak akan mengurangi komsumsi karena pilihan terbatas. Sebaliknya, ini dapat melentingkan inflasi ke level tertinggi dan dampaknya akan memperburuk perekonomian.

Di samping defisit migas, penerimaan primer yang defisit juga memperburuk kondisi DTB. Setiap tahun nilainya meningkat. Pada 2012 defisit penerimaan primer US$26,8 miliar dan pada 2014 naik menjadi US$27,82 miliar.

Dengan kata lain, jumlah investasi asing yang masuk jauh lebih kecil dibandingkan jumlah yang dibawa keluar (repatriasi). Kedua, ialah utang luar negeri (ULN), khususnya korporasi.

Total outstanding ULN swasta sampai kuartal I/2015 mencapai US$165,31 miliar atau tumbuh 12,7% dari periode yang sama tahun lalu. ULN yang besar ini tentu membutuhkan pasokan valas yang banyak untuk membayar bunga dan pokok utang ketika jatuh tempo (maturity).

Sayangnya, ULN korporasi hanya sebagian kecil yang menjalankan mekanisme lindung nilai. Hal ini tentu akan mengganggu stabilitas makro dan bisa memicu krisis ketika terjadi gejolak nilai tukar. [Baca: Utang Luar Negeri]



 

Utang Luar Negeri

Pecahnya krisis moneter 1997/1998 tidak terlepas dari andil buruknya pengelolaan ULN korporasi.  Oleh sebab itu, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dan BI mendorong korporasi melakukan lindung nilai merupakan hal yang positif, meski harus tetap dilakukan secara cermat dan hati-hati.

Bagaimana pun korporasi yang lebih memilih ULN sebagai sumber pendanaan eksternal tidak dapat dilepaskan dari terbatasnya kapasitas pendanaan dari pasar keuangan domestik.

Bukan itu saja, aksesnya juga relatif sulit akibat tingginya suku bunga pinjaman. Jika tidak ada upaya untuk memperbesar kapasitas pasar keuangan, khususnya mendorong suku bunga pinjaman agar lebih kompetitif, sulit rasanya untuk menurunkan ULN korporasi ini.

Agar pelemahan nilai tukar rupiah tidak terjadi secara persisten yang berdampak negatif pada perekonomian maka selain kebijakan yang diarahkan untuk memperbaiki DTB dan memperbesar akses pendanaan di pasar keuangan dan meminimalkan rintangannya, kebijakan juga harus diarahkan untuk memelihara persepsi investor agar tetap positif.

Ini dapat dilakukan dengan mempercepat realisasi pembangunan infrastruktur, memaksimalkan fiskal agar lebih produktif, mendorong reformasi birokrasi dan menghilangkan hambatan dari sisi regulasi, dan membudayakan tata kelola yang baik (good corporate governance) untuk meminimalkan praktik rent seeking. Ekonomi Indonesia masih tetap menarik di mata investor, namun karena tidak dikelola dengan baik berakibat susah naik kelas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya