SOLOPOS.COM - Joko Wahyono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (27/10/2015), ditulis Joko Wahyono. Penulis adalah Analis Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Mengadopsi pandangan Otto Von Bismarck (1815-1898), politik adalah seni memilih agar apa (siapa) yang dipilih bisa mengolah ketidakmungkinan menjadi kemungkinan.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Tak perlu heran ketika panggung politik tak pernah sepi dari peristiwa pemilihan. Ada pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota legislatif, pemilihan gubernur (pilgub), pemilihan bupati (pilbup), pemilihan wali kota (pilwalikota), hingga pemilihan kepala desa (pilkades).

Politik memilih ini bukan tanpa jebakan. Memilih dari sedikit pilihan membuat kita sulit memutuskan. Memilih dari banyak pilihan juga perkara yang memusingkan. Makin ditimbang, makin ruwet. Makin didalami, makin bias dan tidak jelas.

Itulah sedikit gambaran pemilihan kepala daerah (pilkada) Sragen yang akan diselenggarakan pada 9 Desember mendatang, bersamaan dengan daerah-daerah lain peserta pilkada serentak 2015

Ada empat pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Sragen dalam pilkada kali ini, yaitu Sugiyamto–Joko Saptono (Suko) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Nasional Demokrat (Nasdem); Agus Fatchur Rahman–Djoko Suprapto (Aman-To) yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Kemudian, Kusdinar Untung Yuni Sukowati–Dedy Endriyatno (Yudy) yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta Jaka Sumanta–Surojogo (Jago) yang diusung koalisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). [Baca: Menakar Kualitas]

 

Menakar Kualitas
Dengan empat pasangan calon bupati dan calon wakil bupati ini, pemilihan bupati Sragen bisa dikatakan paling kompetitif di kawasan Soloraya atau eks-Karesidenan Surakarta.

Konstelasi politik di Sragen belakangan makin gaduh. Saling serang isu, gosip, dan fitnah antarpasangan calon mulai merebak. Isu-isu bermuatan sentiment suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) diproduksi dan dimanipulasi untuk menjatuhkan lawan.

Serangan-serangan itu diindikasi mulai mengarah kepada kampanye hitam (black campaign).  Misalnya, Jaka Sumanta diisukan nonmuslim lantaran orang tuanya beragama Hindu. Yuni juga diterpa isu gender: perempuan tidak pantas memimpin Kabupaten Sragen.

Bukan tidak mungkin black campaign semacam ini akan semakin marak mendekati hari pemungutan suara. Pesatnya peningkatan penggunaan dan akses media sosial membuat arus informasi ”pesanan” yang sulit diklarifikasi bisa dengan cepat disebarkan untuk tujuan-tujuan politik: menggiring opini publik, meneror, menyerang, dan menjatuhkan lawan.

Masyarakat harus bersikap kritis-klarifikatif dalam mencerna setiap informasi apa pun terkait pasangan calon bupati dan wakil bupati Sragen. Di sinilah pentingnya menakar kualitas setiap pasangan calon bupati dan calon wakil bupati.

Meminjam kerangka berpikir John C. Maxwell (2008), kualitas pemimpin bisa dilihat dari kekuatan karakter, komitmen, dan komunikasi. Alain Badiou (2007) menyebutnya dengan kepercayaan (fidelity), pilihan (choice), dan mampu menggerakkan perubahan (change).

Immanuel Kant (2001) meletakkan kualifikasi pemimpin pada kemampuan memuliakan akal budi, yaitu kokoh dalam rasionalitas publik dengan segala imperatif moralnya yang berporos pada palung nurani demi keberlangsungan kebaikan bersama.

Soren Kierkegaad (1997) menekankan pada iman otentik dengan tetap merawat kebebasan agar setiap keputusan yang diambilnya dapat menjaga jarak dengan politik kepentingan.

Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang punya beban masa lalu akan tersandera kepentingan memenuhi hasrat politik sempit, tersekap oleh politik transaksi untuk melunasi utang ”balas budi” dan terkepung oleh wabah berpikir menelikung untuk menyalahgunakan kekuasaannya.

Calon bupati Sugiyamto pernah menerima penghargaan sebagai legislator terbaik, the best and the next legislator award 2014, berkat kemampuannya memimpin DPRD Sragen yang dinilai berkontribusi bagi kemajuan Kabupaten Sragen. Dalam konteks pilkada, maju sebagai calon bupati berbeda sama sekali dengan tugas fungsional ketika menjadi legislator, sebagai anggota DPRD Sragen.

Bupati adalah eksekutor di tingkat praksis dan setiap keputusan mensyaratkan tidak hanya disetujui oleh anggota DPRD, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat Sragen.

Agus Farchur Rahman, calon bupati incumbent, berpengalaman 10 tahun jadi wakil bupati, kemudian menjadi bupati, memiliki modal politik yang tidak dimiliki calon bupati lainnya.

Desas-desus dia berstatus tersangka dalam kasus pidana yang ditangani Polda Jateng tampaknya akan membuat masyarakat berpikir ulang untuk memilihnya kembali. [Baca: Rivalitas Politik]

 

Rivalitas Politik
Status tersangka tidak menghapus hak seseorang untuk dipilih, sebelum pengadilan memutuskan yang bersangkutan bersalah. Agus masih bisa melakukan pembelaan, tetapi premis politik bergerak jauh lebih cepat ketimbang premis hukum. Seorang tersangka bisa saja lepas dari jerat hukum, tapi secara politik ia sudah kehilangan muruah dan kepercayaan publik.

Sebagian kalangan menganggap pemilihan kepala daerah Sragen tahun ini menjadi kilas balik pertarungan Agus dan Yuni pada 2011 lalu. Aroma politik ”balas dendam” melingkupi rivalitas keduanya, tapi peta politik kali ini berbeda.



Yuni tidak lagi maju sebagai representasi PDIP, partai dengan basis masa terbesar dan pemenang Pemilihan Umum 2014 di Sragen, mengungguli Partai Golkar. Duet Yuni-Dedy maju dari koalisi Partai Gerindra dan PKS.

Meski demikian, bukan tidak mungkin Yuni akan menggarap massa loyalisnya di PDIP yang saat ini mendukung Sugiyamto.

Apalagi Yuni mendapat suntikan dukungan dari massa PKS yang terkenal sangat loyal. Massa Partai Demokrat, pendukung Sugiyamto, lebih cair dan mudah diintervensi pihak lain. Terpecahnya massa PDIP ini akan memberikan keuntungan politik bagi Agus.

Sebagai petahana, Agus populer, punya massa loyal, juga memiliki sumber daya alokatif maupun otoritatif untuk menjaga soliditas dukungan, baik dari partai politik koalisi maupun elemen birokrasi.

Masih ada kekuatan baru, yakni Jaka Sumanta. Meski kurang begitu familier di kancah politik Kabupaten Sragen, basis massa dari koalisi PKB, PPP, dan PAN sebagai representasi politik umat Islam memiliki kedekatan kultural dengan basis massa riil Partai Golkar di Sragen, yakni Muhammadiyah.

Apalagi, massa Partai Golkar saat ini tidak sesolid masa sebelumnya.  Jika kinerja mesin politik Jaka solid dalam memanfaatkan celah politik ini, bukan mustahil Jaka akan menjadi lawan serius bagi Agus. Kedua calon bupati ini akan sama-sama bersaing memperebutkan massa Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Kita berharap, setajam apa pun rivalitas politik di Sragen, pemilihan bupati Sragen harus dijalankan di atas relasi kemanusiaan penuh adab. Semoga baik yang kalah maupun yang menang tidak menjadi abu dan arang.

Nalar kemenangan harus dijangkarkan pada kesediaan untuk membangun dan memajukan kesempurnaan hidup warga Sragen. Yang kalah harus memaknai kekalahannya sebagai jalan politik menuju keutamaan menyambut datangnya fajar pencerahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya