SOLOPOS.COM - Helsi Dinafitri (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (19/6/2015), ditulis Helsi Dinafitri. Penulis adalah praktisi bisnis suplai air dan bekerja di PT Aetra Air Jakarta.

Solopos.com, SOLO — Pemerintah kini bersiap membuat Undang-Undang tentang Sumber Daya Air (UU SDA) untuk mengganti UU No. 7/2004 tentang SDA yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada  Februari 2015.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di luar diskusi  penguasaan negara versus swasta dalam pengelolaan suplai air, kita hendaknya paham bahwa selama 70 tahun merdeka, Indonesia belum punya master plan suplai air untuk negara yang begitu kaya sumber-sumber air.

Pembatalan UU SDA serta pembatalan salah satu perjanjian kerja sama perusahaan daerah air minum (PDAM) dengan mitra swastanya merupakan produk dari kegamangan kita akibat ketiadaan master plan tersebut.

Ekspedisi Mudik 2024

Akibat tidak adanya master plan, pemenuhan suplai air di Indonesia benar-benar berjalan tanpa arah dan di tengah jalan berbelok-belok hingga menguras energi.

Visi pembangunan suplai air Indonesia, strategic initiative-nya, strategic operasional, hingga prinsip-prinsip dasar yang diperlukan untuk keberhasilan pemenuhan suplai air Indonesia belum pernah dibuat dalam bentuk master plan suplai air Indonesia.

Kita juga tidak punya master plan suplai air untuk masing-masing wilayah di Indonesia. Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta pun tidak memilikinya. Mereka hanya punya business plan.

Menengok keberhasilan Singapura dalam memenuhi kebutuhan suplai air penduduknya, terlihat kekuatan fungsi Water Master Plan  Singapura yang dibikin pada 1972.

Master plan tersebut dibikin setelah negeri itu mengalami musim kering panjang pada 1963 dan 1964 sampai-sampai negara ini menjatah air bagi warga negaranya.

Dari sana, manajemen suplai air Singapura terus berevolusi dengan full commitment hingga mencapai kinerja terbaik di dunia. Salah satu evolusinya adalah kehadiran Newater yang memenuhi kebutuhan 30%  air negeri itu hanya dengan mendaur ulang air bekas pakai.

Ketika master plan dibuat, Singapura telah berkomitmen untuk menggunakan air bekas pakai. Singapura melakukan pemenuhan kebutuhan air rakyat atas nama negara, selaras dengan prinsip pembangunan ekonominya yang bertumpu pada kekuatan negara.

Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam  yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kita telah berbelok menerapkan UU No. 7/2004 selama satu dekade yang jiwanya berakar pada neoliberalisme, sedangkan PDAM kita dikembangkan dengan semangat Keynesian yaitu negara menguasai air. Tentu saja dua semangat ini, Keynesian versus neoliberalisme, menyebabkan konflik yang berujung pada pembatalan UU No. 7/2004. [Baca: Renegosiasi Rutin]

 

Renegosiasi Rutin
Dalam pola neoliberak, seluruh investasi swasta dibebankan pada rakyat untuk pengembaliannya. Akibatnya timbul konflik PDAM dengan swasta, sebagaimana kita lihat dalam kasus PAM Jaya dengan mitra swastanya.

PAM Jaya berteriak-teriak tak mampu membayar jasa swasta, sedangkan swasta berteriak-teriak tak mampu merealisasikan beban pelayanan sebagaimana yang diharapkan akibat tarif air yang ditahan-tahan.

Tarif air yang ditetapkan dalam perjanjian itu dibuat dalam konsep full cost recovery alias sepenuhnya investasi dikembalikan oleh masyarakat/pelanggan.

Akibatnya tarif air melambung tinggi sebagai dampak meledaknya nilai dolar Amerika Serikat pada 1998 ditambah lagi  sebagai dampak inflasi. Protes pun muncul, dampaknya kenaikan tarif mulai tertahan-tahan. Swasta pun menahan investasi yang menyebabkan pelayanan kurang.

Akibat kondisi berlarut tanpa ada jalan keluar, investor asing pun hengkang yang dimulai oleh Thames Water Plc. pada 2007 dengan menjual seluruh sahamnya. Kemudian Lyonnaise Des Eaux berniat menjual sahamnya pada 2014, tetapi tak kesampaian.

Jelaslah ini menunjukkan kelemahan dalam sistem pengembangan suplai air Indonesia, swasta dan PDAM sama-sama gagal memberikan kemakmuran sebesar-besarnya kepada rakyat.

Gonjang-ganjing bisnis pun masih berlanjut pada 2015, yaitu pembatalan seluruh perjanjian kerja sama (PKS) antara PAM Jaya dengan mitra-mitra swastanya.

Langkah ini termasuk terhadap PT Aetra Air Jakarta, meski perusahaan ini telah mengambil inisitatif memangkas tingkat keuntungan dari 22% menjadi hanya 15,82% sejak 2012, serta berbagai keuntungan lain ditawarkan kepada PAM Jaya dan telah disepakati.

Semuanya buyar. Kini kasusnya masuk ke tahap banding. Kelemahan dalam pelayanan suplai air akan terlihat jelas bila kita melihat banyak sekali tenaga dan energi pikir tersita untuk melangsungkan renegosiasi perjanjian kerja sama.

Misalnya, salah satu mitra swasta PAM Jaya, PT Aetra Air Jakarta (sebelumnya bernama Thames PAM Jaya), bersama-sama PAM Jaya harus masuk ke dalam renegosiasi setiap dua tahun.



Hingga saat ini terdapat perubahan kontrak dan adendum hingga tujuh kali alias rata-rata setiap dua tahun sekali, yaitu sepanjang 1998 hingga 2012 (14 tahun).

Rangkaian renegosiasi itu setidaknya menunjukkan pemerintah juga tidak siap dalam banyak hal yang berakibat merugikan pelayanan suplai air, apalagi dalam pelaksanaan perjanjian berlangsung tanpa pembelaan apa-apa dari pihak pemerintah terhadap pihak swasta.

Pemerintah seakan-akan tak melakukan kesalahan apa-apa dalam tugas mengawal kerja sama ini. Swasta dibiarkan fight sendirian di tengah tekanan opini publik yang tidak puas akibat tarif tinggi dan pelayanan yang dianggap tidak beranjak membaik.

Pembatalan-pembatalan regulasi maupun perjanjian kerja sama ini menunjukkan lemahnya kerangka acuan negara dalam mengimplementasikan UUD 1945 Pasal 33, terutama ketika negara beralih dari konsep Keynesian menuju konsep neoliberalisme.

Tidakkah ini merupakan bentuk kelemahan pemerintah secara nyata? Selain itu, ada satu hal yang menarik ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok meresmikan fasilitas pengolahan limbah (decanter) salah satu mitra swasta senilai Rp22 miliar pada Mei 2015.

Gubernur mengatakan DKI Jakarta memiliki anggaran yang ”begitu besar” yang harus digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Gubernur mengatakan DKI Jakarta bisa membangun 50 pengolahan limbah serupa.

Ahok tentu tidak main-main. Masalahnya, tidak mungkin dalam skema perjanjian kerja sama PAM Jaya dan swasta yang full cost recovery dana pemerintah masuk dengan mudah.

Di sini terlihat bahwa pada satu sisi pemerintah mengatakan ketiadaan dana sehingga membutuhkan kehadiran swasta. Sebaliknya, pernyataan Gubernur DKI Jakarta itu seakan-akan mengatakan negara punya begitu banyak uang untuk digelontorkan.

Jadi, ada apa sebenarnya dengan semua ini? Seandainya kita memiliki master plan suplai air Indonesia, paling tidak kita memiliki prinsip-prinsip dasar hingga ke strategi operational yang jelas bagi kita semua dalam upaya memenuhi kebutuhan air masyarakat.

Negara memang berdasarkan pada UUD 1945 Pasal 33 dalam pengembangan perekonomiannya, namun ketika pada 1990-an kita dihadapkan pada keterbatasan dana, lalu arus globalisasi dengan neoliberalisme masuk ke negeri ini, kita tiba-tiba menjadi sangat awam terhadap visi ekonomi dalam konstitusi negara kita sendiri.

Sungguh, pelanggan air tidak pernah memasalahkan apakah air dikuasai oleh negara atau swasta. Keinginan pokok mereka adalah adanya akses air yang reliable (kualitasnya, kuantitasnya, kontinuitasnya) dan terjangkau harganya. Pelibatan badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) bukanlah jaminan roh negara itu hadir sebagaimana dijumpai di masa lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya