SOLOPOS.COM - Prasetyadi Mawardi prasetyadimawardi@yahoo.com Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Cabang Solo

Prasetyadi Mawardi  prasetyadimawardi@yahoo.com     Ketua Perhimpunan Dokter  Spesialis Kulit  dan Kelamin Indonesia  (Perdoski) Cabang Solo

Prasetyadi Mawardi
prasetyadimawardi@yahoo.com
Ketua Perhimpunan Dokter
Spesialis Kulit
dan Kelamin Indonesia
(Perdoski) Cabang Solo

Demonstrasi simpatik ratusan dokter di Manado, Sulawesi Utara, Senin (18/11), dilakukan sebagai wujud solidaritas dan keprihatinan para dokter terhadap vonis Mahkamah Agung (MA) yang menghukum dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan Dewa Ayu Sasiary dengan hukuman 10 bulan penjara.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dokter ini dihukum 10 bulan penjara terkait kejadian tiga tahun lalu. Dia digugat dengan dugaan melakukan malapraktik saat membantu persalinan seorang ibu hamil dengan operasi caesar. Jiwa ibu hamil tersebut tidak tertolong, sedangkan bayinya selamat.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Manado dan Gorontalo berunjuk rasa, menyatakan keprihatinan atas vonis MA tersebut. Kesan kriminalisasi terhadap dokter tidak bisa dielakkan. Dokter dihukum penjara hampir tidak pernah dibayangkan oleh para dokter.

Saya percaya tidak ada seorang dokter pun memiliki niat mencelakakan pasien yang memerlukan pertolongannya. Sebagai rasa solidaritas terhadap Dewa Ayu Sasiary tersebut, sebagian besar dokter di Kota Solo juga mengungkapkan rasa keprihatinan dengan memakai pita hitam di lengan baju.

Gugatan hukum atas pelayanan dokter mengingatkan kita pada kasus serupa pada awal 1981. Ketika itu, seorang dokter di Pati, Jawa Tengah,  Setianingrum, digugat keluarga pasien atas pelayanan yang dia berikan. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pasien dan keluarga menjadi lebih cerdas dan kritis dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

Menurut Pasal 46 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.

Sedangkan Pasal 47 menyatakan upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.

Dengan demikian pelayanan kesehatan baik perseorangan maupun kelompok  masyarakat memerlukan peran aktif kedua belah pihak, didukung tanggung jawab pemerintah dan swasta dalam menyediakan sarana pelayanan kesehatan.

 

Hubungan Dua Pihak

Globalisasi yang melanda seluruh dunia ditandai perkembangan zaman yang makin meningkatkan kecerdasan masyarakat, perubahan sosial budaya, serta makin meningkatnya perubahan nilai-nilai maupun norma-norma dalam masyarakat.

Hal ini ditandai pula dengan makin menipisnya batas ruang antarsuatu kelompok. Kemajuan teknologi informasi menuntut banyak hal. Misalnya kasus pemenjaraan dokter di Manado tersebut yang menjadi breaking news dan dengan cepat diketahui seluruh lapisan masyarakat.

Reaksi spontan dalam bentuk solidaritas muncul di seluruh Indonesia, menuntut dihentikannya kriminalisasi terhadap dokter tersebut. Apa hikmah yang bisa diambil dari kasus tersebut? Masyarakat modern menuntut pelayanan yang paripurna.

Pasien menuntut kejelasan secara lengkap tentang pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal tersebut memang merupakan hak pasien yang dijamin UU. Jaminan atas hak tersebut termaktub dalam Pasal 52 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.

Saya tidak membahas ada tidaknya malapraktik dalam kasus dokter di Manado itu. Ini sesuatu yang tidak kita peroleh batasan yang jelas, baik dalam UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran maupun dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Jelas berbeda antara malapraktik (medical malpractice) dengan kelalaian medik (medical negligence).

Demikian pula ada perbedaan yang mendasar antara malapraktik dengan kejadian yang tidak kita harapkan (adverse event), yang kadang kala digeneralisasi/digebyah uyah oleh masyarakat kita. Setiap kali hasil pelayanan kesehatan yang dirasakan tidak memadai, dituding sebagai tindakan malapraktik.

Bagaimana hubungan dokter dan pasien di era abad ke-21? Makin meningkatnya gugatan dan tuntutan terhadap pelayanan kesehatan, baik yang ditujukan pada sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta, maupun perseorangan atau pribadi, seharusnya mengingatkan kita untuk melakukan introspeksi: adakah yang kurang tepat dalam hubungan dokter dan pasien?

Dokter merupakan salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dokter memiliki peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Dalam penjelasan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dijelaskan dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas.

Kekhasan ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum, yaitu diperkenankannya dokter melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Maraknya tuntutan masyarakat sering kali diidentifikasi sebagai kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter.

Sudah saatnya kita menggugat balik hubungan dokter-pasien yang berlaku selama ini. Hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan yang unik, tidak sekadar transaksi terapeutik yang notabene merupakan pendekatan material semata. Ada nilai-nilai luhur yang tersirat dalam hubungan dokter dan pasien.

Kadang kala nilai-nilai luhur tersebut menjadi luntur karena pertimbangan materialistis. Dalam era globalisasi terdapat pergeseran nilai-nilai maupun norma yang berlaku di masyarakat kita. Semakin sering kita jumpai perubahan dan pendekatan yang serba materialistis, konsumtif, maupun  makin hedonistis.

Pergeseran nilai tersebut merupakan dampak negatif dari globalisasi yang melanda seluruh dunia. Tidak ada batas waktu dan ruang sejalan dengan perkembangan teknologi informasi.

Teknologi informasi yang berkembang pesat secara perlahan-lahan dapat memengaruhi pola pikir, langkah, dan sikap masyarakat kita, yang kemudian menumbuhkan pergeseran nilai, norma, dan tolok ukur. Akibatnya terdapat interferensi terhadap budaya kita.

Hal ini memengaruhi pola hubungan dokter-pasien. Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang unik. Pendekatan hubungan dokter-pasien merupakan pendekatan yang holistik, yang berarti paripurna, tidak semata lahiriah maupun batiniah, tetapi juga pendekatan sosial didasari nilai-nilai luhur yang berlaku secara universal.

Di sini juga ada empati yang memang sejak awal ditanamkan di proses pendidikan dokter. Di dalam melaksanakan pelayanan, dokter dituntut menggunakan keilmuan yang tertinggi. Keilmuan yang tertinggi menuntut dokter menggunakan segala aspek keilmuan baik secara fisik, psikologis, sosial, dan pengetahuan nilai-nilai luhur yang berlaku secara universal pula.

Dokter pun dituntut tidak melakukan diskriminasi dalam hubungan dokter-pasien. Diskriminasi inilah yang dalam beberapa dekade belakangan dirasakan masyarakat kita dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal. Hal demikian pula yang menjadi keprihatinan banyak pihak. Terdapat dehumanisasi pelayanan kesehatan (Tjiong, Gramedia, 1991).

Hal ini dapat dilihat dari betapa tidak meratanya pelayanan kesehatan antara suatu daerah dengan daerah lain, kota besar dan kota kecil, masyarakat mampu dan masyarakat miskin, pelayanan yang tidak memadai, respons time yang lama dalam berbagai lini pelayanan.

Respons lama ini terjadi di ruang instalasi gawat darurat, instalasi rawat jalan, pelayanan penunjang, dan diagnostik. Selain itu, muncul pula sikap acuh tak acuh pelaksana pelayanan kesehatan terhadap kebutuhan emosional pasien atau keluarga pasien.

Dapat kita amati proses dehumanisasi pelayanan kesehatan yang menjadi keprihatinan semua pihak. Diagnosis dan terapi cenderung bergeser dari derajat keilmuan tertinggi dalam praktik atau klinik menuju lembaga dan institusi berskala besar.

Penyelenggara kesehatan semakin kehilangan otonomi, kehilangan sisi individualistis, dan kehilangan tanggung jawab personal. Intervensi pihak ketiga semakin besar, seperti seperti lembaga-lembaga asuransi, lembaga-lembaga pemerintah maupun kelompok, dan perhimpunan dokter seminat.

Akibatnya hubungan dokter-pasien juga mengalami pergeseran nilai. Pasien diartikan sebagai objek semata, sebagai perangkat materiil semata, dengan mengesampingkan kebutuhan batiniah, psikologis, maupun sosial yang melekat di dalamnya.

Penggunaan teknologi kedokteran yang serba sophisticated lebih diprioritaskan daripada pendekatan keilmuan tertinggi yang dimiliki. Padahal alat dan teknologi tersebut bukan merupakan satu-satunya perangkat yang menentukan (gold standard) dalam pendekatan pelayanan.



Hal inilah yang menjadikan para pemangku pelayanan kesehatan terjebak dalam rutinitas semata. Hubungan dokter-pasien yang unik menjadi transaksi terapeutik semata, yang lebih mengedepanan persoalan materi daripada derajat keilmuan tertinggi.

Pasal 39 UU No. 20/2004 tentang Praktik Kedokteran mengungkap adanya kesepakatan dokter-pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Sayangnya, dalam UU tersebut tidak dijabarkan secara rinci kesepakatan dokter-pasien dalam upaya mendapat dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan tersebut.

 

Gunung Es

Kasus dokter di Manado tersebut sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Ada hikmah besar yang dapat diperoleh para penyelenggara pelayanan kesehatan sehingga dapat menghindarkan diri agar tidak terjebak dalam rutinitas semata.

Pelayanan yang holistik dan paripurna harus mengedepankan nilai-nilai luhur. Sejak awal, profesi dokter merupakan profesi yang mulia, profesi yang masih merupakan dambaan setiap orang. Dengan demikian kasus tersebut dapat menjadi pengalaman berharga setiap insan kesehatan dalam menjalankan tugas.

Dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan disebutkan setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.

Menurut Pasal 2 UU yang sama, pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminatif, dan norma-norma agama.

Dari tahun ke tahun keluhan dan gugatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan semakin meningkat. Hal ini tidak lepas dari perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan setiap orang mendapatkan informasi tentang berbagai problem dalam pelayanan kesehatan.



Pelayanan kesehatan pada umumnya memiliki pendekatan utama (main approach) sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien (quality improvement and patient safety). Hal ini merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan yang tidak bisa diganggu gugat.

Pasal 54 ayat (1) UU No. 39/2009 tentang Kesehatan menyebutkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, merata, dan nondiskriminatif. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin keselamatan pasien telah dilakukan standardisasi seluruh pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

Standardisasi ini mengacu pada kaidah-kaidah internasional, dalam hal ini Joint Commision International Accreditation (JCIA), tanpa menghilangkan norma-norma atau kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku di negeri ini.  Acuan yang ada mau tidak mau akan mengubah mindset atau budaya dalam lingkungan penyelenggara pelayanan kesehatan atau civitas hospitalia.

Hal ini memang memerlukan waktu. Mengubah kultur dan disiplin tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tenaga kesehatan dituntut mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku, standar prosedur operasional (SPO), standar pelayanan minimal, maupun kompetensi yang memadai dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Fakultas Kedokteran dan Kolegium Ilmu Kedokteran yang notabene pihak yang berperan dalam mencetak tenaga-tenaga medis sebagai dokter, dokter gigi, dokter spesialis, maupun dokter gigi spesialis mau tidak mau harus melakukan perubahan mengikuti standar pelayanan yang optimal seperti yang dituntut UU No. 39/2009 tentang Kesehatan maupun UU No. 20/2004 tentang Praktik Kedokteran.

Demikian pula tenaga kesehatan maupun tenaga ahli lain yang berkecimpung dalam pelayanan kesehatan. Kewajiban pemerintah adalah meminimalisasi kesenjangan pelayanan kesehatan di kota-kota besar dengan kota kecil maupun daerah terpencil lainnya.

Di sisi lain, pemerintah perlu memberikan penghargaaan yang memadai terhadap tenaga kesehatan. Calon-calon dokter yang akan menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan harus diperhatikan kesejahteraannya. Sangat ironis apabila dokter-dokter muda digaji Rp1,2 juta saat mengabdikan diri menyelenggarakan pelayanan kesehatan untuk masyarakat dengan waktu intensif di daerah-daerah.

Imbalan yang tidak memadai, bahkan di bawah upah minimum, sangat tidak menghargai upaya dokter-dokter muda dalam mendarmabaktikan ilmu mereka di tengah-tengah masyarakat yang modern, penuh sifat konsumerisme, dan hedonistik, yang merupakan akibat globalisasi.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan perhimpunan profesi seminat harus siap menghadapi berbagai tantangan, hambatan, dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan. Jangan lupa sebentar lagi negara kita akan mengikuti AFTA 2015+China.



Era perdagangan bebas, termasuk jasa pelayanan kesehatan,  sudah di depan mata. Siapkah kita menghadapinya? Apakah kita akan menjadi jago kandang atau malah menjadi pecundang? Negara kita dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia merupakan pangsa pasar yang menggiurkan bagi kapitalisme industri kesehatan.

Sudah kita rasakan betapa banyak rumah sakit internasional melakukan investasi di Indonesia. Semoga kasus dokter di Manado tersebut menyadarkan kita betapa pentingnya kita melakukan perubahan penyelenggaraan transaksi terapeutik dalam hubungan dokter-pasien.

Komunikasi yang memadai menjadi solusi dalam membina hubungan dokter-pasien yang lebih baik. Jika kita telah melakukan komunikasi yang memadai, pasien dan keluarga serta masyarakat akan diuntungkan dengan pelayanan yang diberikan.

Termasuk apabila ada kejadian yang tidak diharapkan (adverse event). Apalagi tahun depan kita akan memasuki era baru dalam pelayanan kesehatan, dengan dimulainya aktivitas dan otoritas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mulai 1 Januari 2014. Semoga!

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya