SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri Santri dan peneliti di Bilik Literasi. (FOTO/Istimewa)

M Fauzi Sukri
Santri dan peneliti
di Bilik Literasi. (FOTO/Istimewa)

Pada bab pertama buku Dasar-dasar Pendidikan, 1979, tokoh pendidikan Indonesia, Mohammad Sjafei, menulis: Kalau disangka, bahwa timbulnya Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayu Tanam adalah akibat meniru-niru perguruan-perguruan di Barat dan Amerika maka hal itu tak seluruhnya benar. Yang menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan Tuhan, yakni alam Indonesia juah dan dekat, kemudian ditambah dengan alam Barat, yang terletak di antara derajat 22 dan 62 lebar Utara dan Selatan (daerah sedang) dan akhirnya barulah di sana sini ditambah fakta-fakta yang ada di bagian dunia yang maju.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ini adalah pernyataan dan keyakinan  tokoh pendidik yang sadar akan makna posisi Indonesia sebagai bangsa, keseluruhan alam Indonesia dan perkembangan pendidikan di luar Indonesia seperti Eropa, Amerika, Jepang. Kesadaran posisi ini bukan sekadar kesadaran geografis yang memengaruhi etos dan pola pendidikan-pengajaran, tapi juga bagaimana, mau tidak mau, harus berpijak di bumi sendiri.

Tanpa kesadaran ini, lembaga pendidikan-pengajaran bisa terjerembab dan kehilangan arah pendidikan-pengajaran, gagap membuat orientasi pembelaan-pembenaran atas praksis pendidikan-pengajaran, sering hanya menjadi epigon-epigon lembaga pendidikan di atasnya (luar negeri) dengan jiwa-jiwa berbesar diri padahal hanya bonsai mungil nan kecil. Atau, bisa saja menganggap diri sudah berbuat sesuatu untuk bumi-tanah-airnya sendiri padahal ia mungkin sedang memperdaya diri sendiri tanpa mau menyadari.

Pernyataan ini sudah pasti disadari oleh lembaga pendidikan-pengajaran, terutama perguruan tinggi di Indonesia. Tak ada yang baru dari kata-kata itu, yang bisa kita baca dalam tulisan-tulisan tokoh-tokoh pendidikan awal Indonesia. Tapi, akan sangat mencolok kalau dilihat dari bawah atau dari masyarakat atas dampak lembaga pendidikan, selain pengajaran-pendidikan. Sumbangsih lembaga pendidikan-pengajaran, baik dalam bentuk teknologi, ilmu pengetahuan, atau kerja-kerja sosial bisa dibilang tidak memuaskan.

Secara keseluruhan dan dengan perhitungan sederhana, lembaga pendidikan sendiri bahkan masih terjebak dalam ketergantungan teknologi dan ilmu pengetahuan, kecuali kerja sosial barangkali. Lembaga pendidikan-pengajaran belum mampu, apalagi secara mandiri dan independen, menjadi pusat pengembangan teknologi atau ilmu pengetahuan yang terdepan.

Tapi, di tengah permasalahan tersebut, kita akhir-akhir ini sering mendengar berbagai perguruan tinggi di Indonesia  yang berambisi menjadi universitas yang diakui atau diketahui secara internasional. Kita memperbolehkan atau mungkin tidak mempermasalahkan ambisi ini karena ini biasa menjadi impian dunia keilmuan. Tapi, kita bisa mempertanyakan satu hal yang sangat sederhana: bisakah perguruan tinggi membumi dengan/pada masyarakat dan bumi manusianya.

Membumi itu baik secara ilmu pengetahuan dengan mengadakan berbagai penelitian tentang manusia Indonesia dan alamnya yang berkelas internasional, dalam pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan alam dan manusia Indonesia, atau kerja-kerja sosial kemasyarakatan. Atau, mungkin sebagaimana biasa, kita akan menunggu hasil dari luar dan kita tinggal menggunakan saja.

Lembaga pendidikan-pengajaran kita tampaknya belum punya atau belum bisa menghasilkan orang seperti Muhammad Yunus di Bangladesh, seorang profesor dari perguruan tinggi di Amerika Serikat, tapi berani dan ikhlas berkata pada orang miskin di sekitar kampus di Chittagong,”Baik, saya akan menjadi mahasiswa lagi. Saya akan menjadikan Anda sebagai guru saya dan saya akan mempelajari dirimu sebaik-baiknya.” Dari berguru kepada orang miskin dan pengemis itulah lahir Grameen Bank yang membuatnya meraih hadiah Nobel pada 2006.

Lembaga pendidikan-pengajaran perguruan tinggi sekarang tampak lebih memfokuskan diri pada internasionalisasi, bukan membumi yang dekat dengan masyarakat dan alam Indonesia. Akar perguruan tinggi adalah ilmu pengetahuan yang harus membumi. Mengejar peringkat internasional memang bagus, tapi tanpa memiliki pijakan kaki yang kuat dalam masyarakat bisa membuat posisi perguruan tinggi oleng, terasing dan teralienasi di tengah-tengah masyarakatnya sendiri.

Internasionalisasi bisa menjadi internalisasi alienasi civitas academica terhadap permasalahan yang ada di masyarakat seperti permasalahan ekses otonomi daerah yang menghasilkan oligarki dan dinasti politik, kemiskinan, ambruknya budaya literer masyarakat, etika kemasyarakatan, masalah lingkungan dan sebagainya.

Begitu juga gembar-gembor globalisasi, ASEAN Free Trda Area (AFTA) dan sebagainya dengan perumpamaan yang menggelikan bahwa kelak tukang siomai, bakmi dan sebagainya yang ada di depan kampus atau kampung kita bukan lagi orang Indonesia, tapi orang Singapura, Malaysia, Thailand dan sebagainya. Oleh karena itu, kita harus belajar bahasa Inggris, mengerti tentang perkembangan dunia internasional dan sebagainya.

 

Menggelikan

Ini bagi saya terdengar menggelikan, apalagi jika ditulis atau diceramahkan kepada mahasiswa dengan izin pemegang otoritas lembaga pendidikan perguruan tinggi.  Yakinlah bahwa orang-orang dari luar tidak akan menjadi tukang siomai di depan kampus, tapi mereka akan menjadi arsitek, perencana atau konsultan lembaga pendidikan, penataan perkotaan, perencanaan ekonomi pembangunan, perencana-pembangunan jalan raya, bandara dan sebagainya.

Mereka akan menduduki posisi-posisi strategis dalam kehidupan kita, bukan tukang siomai dan sejenisnya. Atau, seperti China sekarang, tanpa orang-orang China datang ke Indonesia atau negara-negara maju, mereka mengirimkan barang-barang ciptaan mereka ke seluruh punjuru dunia, sampai-sampai ada pemeo: hanya langit dan bumi yang bukan made in China (dan made in Indonesia?).

Permasalahan-permasalahan ini klise dan sudah dipahami lembaga pendidikan-pengajaran, meski entah kenapa terus saja aktual dan penting di lembaga penyadaran seperti perguruan tinggi. Dan, memang permasalahan pendidikan-pengajaran tidak pernah selesai dan bukan permasalahan sederhana termasuk di negara-nagara yang kualitas pendidikan-pengajarannya dianggap bermutu.

Akhirnya, kita sadar bahwa sekali lembaga pendidikan-pengajaran tidak bisa berada di atas secara keilmuan dengan memperkuat ilmu-ilmu dasar yang membumi, selama itu ia akan tergantung pada yang lebih tinggi [dunia Barat]. Otoritas keilmuan selamanya hierarkis. Dan, yang parah, lembaga pendidikan yang sudah dianggap tinggi tapi tidak terus-menerus mempertinggi derajat keilmuannya sekaligus membumi pada masyarakat dan buminya, selamanya  pasti menjadi bawahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya