SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Supriyadi, Anggota Dewan Isyrafi Yasalma, Yogyakarta

Korupsi di Indonesia kini laksana penyakit yang susah untuk disembuhkan. Tingginya angka korupsi tersebut membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa pesakitan. Kehidupan berbangsa dan bernegara kian memperlihatkan sekat-sekat antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, di Indonesia, korupsi menjadi sebuah fenomena yang paling dimaklumi kewajarannya karena terjadi di setiap lini dan sektor pemerintahan. Bahkan, korupsi telah menjadi semacam keniscayaan bagi masyarakat Indonesia dan menjadi rahasia umum.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hampir setiap hari, berita korupsi selalu menjadi headline media massa cetak. Program-program acara berita di televisi pun setiap hari menyajikan tayangan berbagai kasus korupsi. Ketika satu kasus korupsi belum diselesaikan secara tuntas oleh penegak hukum, muncul lagi kasus korupsi yang menyeret orang lain. Ketika kasus kedua belum selesai, disusul kasus korupsi yang bisa saja terkait dengan kasus pertama dan kedua tadi.

Realitas seperti itu menjadi bahan berita media massa baik cetak maupun elektronik. Melihat pemberitaan hal itu di media, publik pun hanya bisa geram dan sebatas mengelus dada, tanpa bisa berbuat lebih banyak lagi. Dengan demikian, rakyat selalu menjadi pihak yang sakit hati, tertindas, tertipu dan terbohongi oleh perilaku para koruptor itu.

Padahal, Indonesia merupakan negara dengan 100% penduduknya memeluk agama. Di setiap kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP), pasti tertera status beragama Islam, Kristen, Buddha atau yang lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa agama menjadi faktor penting dalam perikehidupan masyarakat Indonesia. Tidak jarang, sentimen dan saling klaim kebenaran agama menjadi sesuatu yang dibela mati-matian.

Di sisi lain, agama menjadi semacam keyakinan yang diidentifikasi sebagai diferensiasi, sehingga fanatisme terhadap agama tidak jarang melahirkan kericuhan ketika sebuah agama dihina. Dengan demikian, agama adalah urat nadi masyarakat Indonesia. Dari agama pula ajaran demi ajaran dituangkan melalui kitab suci masing-masing. Sementara itu, tidak satu pun agama yang mengajarkan korupsi. Akan tetapi, banyaknya orang yang membela agama dan menyatakan diri sebagai orang beragama tersebut tidak sepadan dengan orang yang mengamalkan ajaran-ajaran agama.

Di dalam Alquran, Injil, Weda dan kitab suci agama lainnya tidak ditemukan ajaran dan anjuran untuk korupsi. Kitab-kitab suci tersebut mengharamkan korupsi—mengambil hak orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan. Lantas, di mana letak kesalahannya, ketika 100% penduduk beragama ini membuat Indonesia menjadi negara korup?

Sebuah penelitian menyatakan di Swedia, 23% penduduknya tidak percaya akan adanya Tuhan alias ateis. Namun demikian, Swedia justru menjadi negara di peringkat ketiga dunia yang bersih dari korupsi. Hal itu merupakan kontradiksi dengan realitas yang ada di Indonesia, yang 100% penduduknya adalah umat beragama tetapi justru menduduki peringkat atas dengan status negara korup di dunia.

 

Menyemai Keberadaan Tuhan

Memang benar apa yang pernah dikatakan oleh Karl Marx bahwa agama itu candu. Hal itu terjadi di Indonesia saat ini dengan angka korupsi yang sangat tinggi. Agama dipahami hanya sebagai identitas yang membuat diferensiasi sosial antara penganut agama yang satu dengan yang lainnya. Tidak jarang pula bahwa agama hanya ditampakkan wajah seramnya melalui aksi terorisme, radikalisme dan fanatisme buta. Padahal, agama yang diajarkan oleh para nabi dan para pencerah budi adalah kesantunan, pencerahan moral-spiritual dan wujud kasih sayang terhadap umat manusia dan dunia.

Esensi agama adalah membawa perdamaian, menebas habis penindasan dan membawa obor penerangan spiritual umat manusia. Akan tetapi, agama telanjur menjadi candu yang tidak dihayati dalam kehidupan. Apalagi jika sudah terkait dengan politik yang penuh dengan intrik-intrik, bisa jadi partai politik yang  berasaskan agama tertentu justru para personelnya malah bertindak korup.

Hal itu menandakan bahwa agama tidak dimaknai sebagai simbol keberadaan Tuhan. Pada dasarnya, agama merupakan representasi keberadaan Tuhan, bukan berupa doktrin atau dogma semata yang mengikat. Keberadaan Tuhan menyelinap di balik agama. Dengan demikian, berkeyakinan terhadap suatu agama berarti mengakui dan meyakini keberadaan Tuhan. Dan, Tuhan selalu membimbing umat manusia ke jalan yang benar, bukan menyuruh untuk menindas dan merampas hak orang lain secara tidak benar sebagaimana korupsi.

Rasa-rasanya, benar apa yang dinyatakan oleh seorang filsuf kenamaan asal Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa Tuhan telah mati. Dalam konteks ini, ”Tuhan telah mati” tidak maknai secara harfiah, bahwa ”Tuhan kini secara fisik sudah mati”; atau sebaliknya. Inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teologi.

Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu memercayai tatanan kosmis apa pun karena manusia sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, menurut Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri, kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang objektif dan universal yang mengikat semua individu.

Celakanya lagi, kematian Tuhan tersebut diamini oleh fenomena tindakan korupsi yang marak di Indonesia. Dengan demikian, sungguh menjadi hal yang kontraproduktif antara kaum beragama tetapi mengakui bahwa Tuhan telah mati. Dengan demikian, agama harus dimaknai sebagai kotrol sosial dan individual secara universal. Agama harus dihidupkan dengan sikap religiositas yang mewarnai setiap perikehidupan masyarakat Indonesia. Di sisi lain, agama juga harus dijadikan sebagai senjata untuk melawan korupsi.

Sebagaimana yang pernah dikemukakan Zuly Qodir, agama harus mampu menjadi kritik. Agama harus menjadi musuh atas fenomena korupsi yang sangat marak di Indonesia. Jika agama mampu dihadirkan dan dihidupkan di tengah keglamora dunia, ada kemungkinan agama mendapatkan tempat yang sepadan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang terpuruk karena rendahnya moral dengan indikasi perilaku korupsi ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya