SOLOPOS.COM - Dona Budi Kharisma (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (14/3/2016), ditulis Dona Budi Kharisma. Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan ahli hukum kebijakan publik, hukum kesehatan, dan hukum perusahaan.

Solopos.com, SOLO — Ada isu menarik di bidang kesehatan yang dapat dikatakan sebagai indikasi masih perlu peningkatan pembangunan kesehatan di Kota Solo. Isu itu adalah masalah transparansi layanan kesehatan kepada publik yang dapat berujung pada disparitas dalam pelayanan kesehatan bagi warga tidak mampu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saat ini Pemerintah Kota (Pemkot) Solo mempersiapkan pusat informasi layanan kesehatan berbasis website yang memaparkan ketersediaan kamar inap, VK, ICU/ICCU, ambulans, ventilator, dokter jaga, dokter spesialis dan stok darah PMI (Solopos, 3 Maret 2016).

Informasi yang terintegrasi akan memudahkan pasien mendapat layanan kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo Siti Wahyuningsih menjelaskan informasi layanan kesehatan belum berjalan maksimal karena terganjal transparansi rumah sakit.

Kepala DKK Solo mengancam akan menegur dan mencabut izin rumah sakit yang tidak terbuka memberikan informasi layanan kesehatan. Hal ini disikapi dengan baik oleh sejumlah rumah sakit dengan berjanji transparan dalam memberikan informasi kepada publik terkait layanan kesehatan (Solopos, 4 Maret 2015).

Tuntutan terhadap transparansi dalam layanan kesehatan disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis di bidang kesehatan. Pertama, berdasar roadmap menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditargetkan pada 2019 semua penduduk Indonesia telah tercakup dalam JKN.

Pemberlakuan JKN ini jelas menuntut peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan.

Untuk mengendalikan beban anggaran negara, JKN memerlukan dukungan upaya kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif agar masyarakat tetap sehat dan tidak mudah jatuh sakit. Penambahan peserta JKN yang cepat jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan kesehatan sehingga terjadi antrean panjang yang bila tidak segera diatasi akan menurunkan kualitas pelayanan.

Kedua, implementasi ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor kesehatan. Perlu upaya meningkatkan daya saing (competitiveness) dari fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan dalam negeri.

Pembenahan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan, baik dari segi sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarananya, maupun dari segi manajemennya perlu digalakkan. Kompetisi profesi dalam MEA, selain insinyur, akuntan, dan lain-lain, juga mencakup tenaga medis/dokter, dokter gigi, dan perawat.

Tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang akan mencakup pula jenis-jenis tenaga kesehatan lainnya. Daya saing tenaga kesehatan dalam negeri harus ditingkatkan. Menyikapi hal itu, Pemkot Solo memiliki beberapa inovasi pembangunan kesehatan daerah,  antara lain sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), unit layanan aduan Surakarta (ULAS), dan SMS pusat layanan aduan kesehatan (pandan).

Mengapa berbagai program itu belum bisa berjalan maksimal? Sebenarnya apa yang menjadi pangkal permasalahan? Dalam konteks nasional, penyelenggaraan pembangunan kesehatan diatur dalam Peraturan Presiden No. 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN).

Dalam Pasal 1 butir (1) perpres tersebut ada penjelasan SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

SKN merupakan dokumen kebijakan pengelolaan kesehatan sebagai acuan dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, penyedia jasa layanan kesehatan, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha, dan lembaga swasta.

SKN mengamanatkan pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah dengan memerhatikan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang kesehatan. SKN yang  menjadi acuan dan cara pengelolaan kesehatan yang dilakukan di daerah bernama Sistem Kesehatan Daerah (SKD).

SKD berfungsi sebagai panduan untuk mengoperasionalkan SKN di daerah. SKD juga berfungsi sebagai regulasi bagi daerah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan di bidang kesehatan. Pengelolaan kesehatan di daerah tidak cukup hanya dengan menggunakan SKN karena masing-masing daerah memiliki kondisi dan kebutuhan spesifik masing-masing.

Dengan kata lain, pemerintah daerah perlu memiliki SKD yang dapat mengakomodasi kondisi dan kebutuhan spesifik daerah dan cukup operasional untuk memandu penyelenggaraan urusan kesehatan di daerah.

Dalam konteks Kota Solo, sampai dengan saat ini Pemkot Solo belum memiliki SKD. Beberapa inovasi pembangunan di bidang kesehatan yang dilakukan Pemkot Solo masih bersifat parsial dan belum terintegrasi dalam wadah SKD.

Akan lebih baik apabila sebelum Pemkot Solo mengeluarkan beberapa program kebijakan terkait dengan kesehatan sudah ada acuan, model, dan bentuk pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen di Kota Solo, yaitu Pemkot Solo, penyedia jasa layanan kesehatan, masyarakat, dan sektor swasta.

Selain itu, dalam SKD juga memuat pembagian tugas dan kewenangan antara DKK dan rumah sakit dalam menyelenggarakan urusan kesehatan. SKD akan membuat penyelenggaraan urusan kesehatan lebih terarah,  tersistem, dan komprehensif.

SKD juga menjadi regulasi bagi semua penyelenggara urusan kesehatan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. SKD terdiri dari beberapa su sistem yang saling terkait dan bersinergi satu sama lain, meliputi: (a) upaya kesehatan; (b) penelitian dan pengembangan kesehatan; (c) pembiayaan kesehatan;  (d) sumber daya manusia kesehatan; (e) persediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; (f) manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan; dan (g) pemberdayaan masyarakat. [Baca selanjutnya: Kunci Keberhasilan]Kunci Keberhasilan  

Beberapa inovasi program kesehatan yang dimiliki Pemkot Solo, seperti SPGDT, ULAS, dan SMS pandan adalah bagian dari subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan.  Masih ada subsistem–subsistem lain yang belum diatur dan terwadahi dalam penyelenggaraan urusan kesehatan di Kota Solo.

Kunci keberhasilan proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah adalah menerapkan pendekatan sistem berpikir dan bertindak yang logis, sistematis, komprehensif, dan holistik (Wiku Adisasmito, 2010: 7). Dengan kata lain, penyelenggaraan SKD memerlukan keterkaitan antarunsur-unsur subsistem SKD.

Kurang bijak apabila tidak optimalnya informasi layanan kesehatan hanya didasarkan pada masalah transparansi rumah sakit tanpa melihat pendekatan holistik kesisteman. Apakah subsistem–subsistem yang lain sudah berjalan dengan baik, misalnya subsistem upaya kesehatan;  subsistem sumber daya manusia kesehatan; regulasi kesehatan; pemberdayaan masyarakat,  dan subsistem yang lain?



Idealnya pengelolaan kesehatan di daerah harus didasari pengaturan hukum kesehatan yang komprehensif dan sistematis yang mencakup pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta, dan pemberdayaan masyarakat.

Oleh karena itu, Pemkot Solo perlu membuat SKD yang dikemas dalam bentuk peraturan daerah (perda) sebagai acuan utama dan metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan kota yang memadukan berbagai komponen pemerintah kota, rumah sakit, masyarakat, dan swasta yang secara sinergis, berhasil guna, dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya