SOLOPOS.COM - Monumen Pancasila Sakti (Foto: jakarta.go.id)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (29/9/2017). Esai ini karya A. Windarto, peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah winddarto@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Menarik bahwa buku berjudul Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Analisis Awal yang lebih dari 50 tahun lalu terbit perdana dalam bahasa Inggris sebagai Cornell Paper (Agustus 1965) dan dipublikasikan secara akademis pada 1971 serta diterbitkan ulang pada 1999, kini dicetak kembali setelah lebih dari 15 tahun silam diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ada apakah dengan buku yang kurang lebih setahun lalu salah seorang penulisnya diperingati kepergiannya kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa di negeri yang telah mencekalnya selama hampir 30 tahun lamanya? Dalam pengantar di buku ini, M. Imam Aziz yang makan banyak asam garam dengan segenap upaya rekonsiliasi setelah pembantaian massal 1965-1966 menunjukkan betapa masih bermanfaatnya kajian seperti itu hingga saat ini lantaran dapat menjadi semacam repertoar untuk tetap melawan monopoli kebenaran (hal. xviii).

Itu artinya buku ini selain tetap enak dibaca dan perlu juga menyisakan beragam pertanyaan yang belum atau mungkin tak ada jawabannya? Inilah yang oleh Ben Anderson boleh jadi dibayangkan sebagai cara ideal untuk memulai riset yang menarik sebagaimana dituliskan dalam buku (auto)biografinya yang terbit sebelum dan sesudah kepergiannya.

Dengan mencetak lagi buku ini harapannya, tentu saja, ada pengajuan sebuah (hipo)tesis yang siap untuk dikonfirmasi atau digugurkan. Dari sanalah kajian yang bercorak interdisipliner akan tumbuh dan berkembang secara alamiah dan optimistis.

Sebagai sebuah analisis awal, buku ini telah menyumbangkan sebentuk gagasan yang terbuka bagi penafsiran yang amat beragam, bahkan tak jarang rumit dan tampak puitis. Itulah mengapa buku yang dari kacamata ilmu politik kerap dibaca sebagai kajian konspiratif atas ”perang dingin” antara dua ideologi yang sedang berkontestasi saat itu, namun dari pendekatan yang sastrawi justru dapat menjadi kajian politik kebudayaan yang prestisius dan berguna.

Selanjutnya adalah: Masuk akal dalam buku itu ada kutipan dari sastra Jawa kuno…

Kutipan

Masuk akal dalam buku ini kutipan-kutipan dari Kakawin Negarakertagama yang termasuk bagian dari sastra Jawa kuno disisipkan secara konsisten dan cermat. Hal itu tentu bukan sekadar merupakan ”aksesori” ilmiah, tetapi justru mau menunjukkan betapa rumit dan tak terduganya peristiwa yang pada awalnya secara simpang siur dinamai sebagai Gerakan Tigapuluh September (Gestapu) atau Gerakan Satu Oktober (Gestok), namun pada akhirnya secara hitam putih disebut dengan istilah G 30 S/PKI.

Dengan pendekatan yang berani dan ambisius, buku ini berupaya mencelikkan mata dan membuka telinga para kolega di kalangan akademisi Barat bahwa Gerakan 30 September yang disebut sebagai kudeta 1 Oktober tidaklah bersumber dari luar Indonesia, tetapi justru dari dalam, khususnya dalam tubuh angkatan bersenjata.

Lebih khusus lagi, sumbernya adalah konflik internal di Angkatan Darat, antara para perwira menengah yang bertugas di daerah dengan sejumlah jenderal di Jakarta. Konflik yang dipicu masalah promosi jabatan yang terlalu lambat dan sulit diperoleh sejak 1950-1965 dan diperuncing dengan peristiwa 17 Oktober 1952 menciptakan rasa tidak senang, bahkan sikap bermusuhan di antara atasan dan bawahan dalam militer Indonesia.

Keadaan ini dimanfaatkan dengan tepat dan cepat oleh sejumlah partai politik, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan/atau Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mulai mengembuskan isu atau kecurigaan perihal kontak Central Intelligency Agency (CIA) dengan para perwira tinggi di Jakarta.

Itulah mengapa ketegangan di antara para perwira senior dan yunior dan ditambah dengan perang dingin antara Presiden Soekarno dan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) semakin menebalkan rasa atau keyakinan bahwa suatu saat, entah di mana dan kapan, akan ada kudeta oleh Dewan Jenderal dengan dukungan pihak asing.

Untuk mengetahui dan sekaligus membuka kedok dari intrik, kabar burung, kecurigaan, serta kecemasan yang dirasakan itu digagaslah suatu Dewan Revolusi yang mirip dengan Komite Nasional Indonesia (KNI) pada masa revolusi untuk mengganti kabinet dan pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu dengan impian ”kembali ke semangat Jogja” atau semangat Revolusi 1945.

Selanjutnya adalah: Mereka itulah yang sebagian besar berasal dari Divisi Jawa Tengah…

Divisi Jawa Tengah

Mereka itulah yang sebagian besar berasal dari Divisi Jawa Tengah, terutama kawasan Jogja-Banyumas-Kedu atau yang dikenal dengan sebutan Divisi VII Diponegoro. Mirip dengan Divisi VI Siliwangi di Jawa Barat dan Divisi VIII Brawijaya di Jawa Timur, sosok-sosok di Divisi Diponegoro memiliki pengaruh yang cukup dominan dalam tubuh angkatan bersenjata.

Mereka adalah Gatot Subroto, Bachrun, Soeharto, Pranoto, Sarbini, Suryosumpeno, bahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan tokoh-tokoh politik yang ideal dengan gaya pendiam, tegas, sederhana, tidak berbelit-belit, berani, mengabdi pada pasukan, serta ”mistis”.

Dari divisi inilah konspirasi yang dinamai “Gerakan 30 September” bermula meski berkembang secara samar dan kacau lantaran hanya menandakan penolakan, ambisi, puritanisme, dan radikalisme tak berdasar (hal. 15), termasuk dengan keterlibatan Angkatan Udara lewat Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah dan PKI lewat politbiro serta tokoh-tokoh lainnya seperti Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) semakin memperkuat bahwa persekongkolan malam 30 September atau dini hari 1 Oktober hanya “diambil berdasar inspirasi intuitif” dan/atau merupakan ”keputusan emosional dan tak dapat ditarik kembali” (hal. 21).

Syukurlah, setelah Ben Anderson meninggal buku ini justru dihadirkan kembali, semoga dengan semangat untuk merobohkan tembok-tembok kecurigaan, kecemasan, bahkan ketakutan, dan membuka jalan bagi pembaca potensial yang jauh lebih luas dalam menafsirkan atau memanfaatkan ”Cornell Paper”.

Bukan kebetulan bahwa kudeta 1 Oktober 1965 yang oleh sebagian besar akademisi masih dianggap sebagai cerita misteri atau detektif (whodoneit) berkat Cornell Paper seakan-akan ada cerita lain yang nikmat untuk dibaca dan perlu (whoseenit) (Kammen, 2017). Menjadi penting dan mendesak untuk membaca ulang buku ini bukan sekadar sebagai warisan yang dikeramatkan, melainkan seperti suatu reservoir yang menyimpan hal-hal tak terduga dan sudah saatnya untuk dipelajari dengan empati dan simpati yang mendalam sebelum turut disudahi oleh mesin pencari Google.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya