SOLOPOS.COM - Kusno Setiyo Utomo kusnno@gmail.com Peneliti BPPS DIS dan penulis buku Surakarta Bukan Jawa Tengah

Kusno Setiyo Utomo kusnno@gmail.com Peneliti BPPS DIS dan penulis buku Surakarta Bukan Jawa Tengah

Kusno Setiyo Utomo
kusnno@gmail.com
Peneliti BPPS DIS
dan penulis buku
Surakarta Bukan Jawa Tengah

Beberapa hari lalu, Solopos menerbitkan esai bertajuk Solo Istimewa Tanpa Status karya Handromasto Prasetyo. Gagasan yang diusung Handromasto diawali dengan pemaknaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Maret 2014 tentang uji materi UU No. 10/1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah terkait upaya pengembalian Daerah Istimewa Surakarta (DIS).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ada sesuatu yang terasa mengganjal ketika Handromasto mengutip bunyi putusan MK. Ada kesalahan penafsiran memahami putusan MK. Yang harus dimengerti, MK sampai saat ini tidak pernah atau setidak-tidaknya belum pernah menolak uji materi tersebut.

Putusan MK tersebut pada pokoknya menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan G.R.Ay. Koes Isbandiyah, salah satu putri Paku Buwono XII, dan Ketua Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa), K.P. Eddy S. Wirabhumi.

Untuk lebih jelasnya, perlu disampaikan perbedaan pengertian  tidak diterima dan ditolak. Dalam sebuah perkara tidak dapat diterima mengandung makna perkara tersebut dapat diajukan kembali sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu. Khususnya menyangkut kedudukan hukum pemohon.

Sedangkan perkara yang ditolak konsekuensinya tidak dapat diajukan kembali. Dalam perkara uji materi UU No. 10/1950, MK belum masuk pada pokok perkara atas permohonan yang diajukan pemohon. Sebagaima diketahui, permohonan yang diajukan kedua pemohon bukan dalam rangka membatalkan seluruh materi UU No. 10/1950.

Materi yang diuji hanya menyangkut bagian memutuskan angka 1 dan Pasal 1 ayat (1) UU No. 10/1950 sepanjang kata-kata ”dan Surakarta” bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B, dan Pasal 28D ayat (1). Terhadap permohonan itu, MK belum masuk pada pokok perkara.

Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan perjuangan mengembalikan status DIS telah selesai atau tidak sesuai dengan undang-undang. MK hanya memasalahkan legal standing atau kedudukan pemohon dan sama sekali tidak menyentuh substansi gugatan. Dengan demikian, ke depan uji materi terhadap masalah tersebut masih berpeluang diajukan kembali.

Memahami status daerah bersifat istimewa sebagaimana Surakarta atau Solo kadang tidak gampang. Masih banyak orang berpikir bahwa keistimewaan suatu daerah karena memiliki perbedaan atau harus punya kelebihan tertentu dibandingkan daerah lain sebagaimana disebutkan Handromasto sehingga tidak memerlukan pengakuan formal.

Padahal bila kita bersedia menelusuri sejarah ketatanegaraan, dasar atau penetapan status daerah bersifat istimewa bukan seperti itu. Prof. Mr. Soepomo mendapatkan kesempatan mengajukan pendapatnya di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.

”Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati. Kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah bukan negara. Jangan sampai salah paham dalam menghormati adanya daerah zelbesturende landschappen, hanyalah daerah saja, tapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa.”

Solo pada masa Belanda merupakan zelbesturende landschappen atau daerah yang memiliki pemerintahan asli. Sedangkan pada masa Jepang, istilah itu berubah menjadi kooti atau daerah istimewa. Selanjutnya, pengakuan terhadap daerah-daerah bersifat istimewa itu dituangkan dalam Pasal 18 UUD 1945 (asli) Bab VI tentang Pemerintahan Daerah berikut penjelasannya.

Demikian pula dalam Pasal 18B amandemen UUD 1945 masih mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat istimewa atau khusus. Penetapan Solo sebagai daerah bersifat istimewa dilakukan pada sidang PPKI, 19 Agustus 1945, tentang pembagian daerah.

Untuk sementara waktu wilayah Republik Indonesia dibagi atas delapan provinsi yakni Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Ditambah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Solo sejak awal kemerdekaan bukan bagian daerah Jawa Tengah.

Solo dan Jogja ditetapkan sebagai daerah istimewa sebagaimana tertulis dalam Piagam Kedudukan Presiden Soekarno 19 Agustus 1945 yang diberikan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan Mangkunagoro VIII,  dan Pasal 1 ayat (1) UU No. 1/1945. Piagam Kedudukan itu merupakan respons atas maklumat Paku Buwono XII dan Mangkunagoro VIII pada 1 September 1945.

Isinya menyatakan dukungan terhadap Republik Indonesia, dan Solo merupakan daerah bersifat istimewa yang hubungannya dengan pemerintah pusat bersifat langsung. Saat mengeluarkan Piagam Kedudukan itu, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan absolut sesuai Pasal 4 aturan peralihan UUD 1945, yakni sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA, maka segala kekusaan lembaga-lembaga itu dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

Kedudukan itu sangat berbeda dengan posisi Mr. Asaat saat meneken pemberlakuan UU No. 10/1950 yang saat itu merupakan pejabat Presiden Republik Indonesia sebagai negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Tidak Pernah Dihapuskan

Status Solo sebagai daerah bersifat istimewa secara hukum kembali dikuatkan dengan lahirnya Penetapan Pemerintah No. 16/SD 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Sesuai diktum kedua Penetapan Pemerintah itu, bentuk dan susunan pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran akan ditetapkan dalam bentuk undang-undang dan untuk sementara waktu pemerintahannya bersifat karesidenan.

Tokoh PPKI yang juga perintis kemerdekaan Indonesia, K.R.M.H. Woerjaningrat, dalam bukunya berjudul Sekadar Uraian tentang Swapraja Surakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan 1956 menyatakan lahirnya Penetapan Pemerintah itu merupakan usulannya dalam rangka mengatasi kekeruhan yang terjadi di Solo pada pertengahan 1946 akibat ulah kelompok oposisi yang merongsong Pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Jogja.

Pengambilalihan itu bersifat sementara dan tidak ada angan-angan menghapuskan Daerah Istimewa Surakarta apalagi menggabungkan dengan Provinsi Jawa Tengah yang sejak awal Solo bukanlah bagian dari Provinsi Jawa Tengah.

Kelompok oposisi tersebut antara lain Barisan Banteng maupun Barisan Tani Indonesia sebagaimana telah ditulis oleh Handromasto. Kelompok oposisi itu dengan aksi kekerasan berusaha melakukan kudeta dan merebut kekuasaan dengan melakukan penculikan-penculikan.

Salah satu korbannya adalah Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang pernah diculik dan ditawan di Pesanggrahan Paras, Boyolali, saat melakukan kunjungan kerja ke Solo. Mereka juga melakuka gerakan memutuskan perhubungan dengan Kantor Kepatihan Surakarta dan kabupaten-kabupaten di Soloraya.

Paku Buwono XII dalam suratnya kepada Dewan Menteri pada 15 Januari 1952 menyatakan tekanan dan ancaman gerakan tersebut tak hanya berhasil menjalankan penyerobotan terhadap para kepala jawatan Kantor Kepatihan, tapi juga menggagalkan usaha Gubernur Surjo dan akhirnya menjalankan penyerobotan terhadap Residen Iskaq Tjokro Hadisurjo dan Wakil Residen Sudiro.



Pergolakan di Solo itu dibikin jadi batu loncatan merobohkan pemerintah pusat yang dibuktikan dengan adanya penyerobotan Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Javasche Bank Solo, coup d’etat di Jogja yang hendak dimulai dengan penyerobotan terhadap diri P.J.M Presiden dan P.J.M Wakil Presiden yang orang-orangnya banyak dari Solo.

Juga, gerakan FDR PKI Muso dimulai dari Srambatan, Solo. Sebagian besar Divisi IV yang dikepalai Mayor Jenderal Sutarto turut serta. Upaya menghapuskan Solo sebagai daerah bersifat istimewa pernah dilakukan Kementerian Dalam Negeri dengan membuar draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penegasan Kedudukan Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta dan Penyelesaiannya Berhubung dengan Bubarnya Daerah Tersebut.

Namun, peraturan pemerintah yang dibuat pada 1951 itu tak pernah diteken oleh Presiden Soekarno. Artinya, pengakuan Solo bersifat istimewa berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 16/SD 1946 sampai sekarang masih berlaku dan belum pernah dicabut. Demikian pula janji pemerintah membuatkan undang-undang bagi Daerah Istimewa Surakarta belum direalisasikan.

Mendasarkan pada itu semua, maka penetapan Solo sebagai daerah bersifat istimewa merupakan amanat konstitusi yang sah menurut hukum. Upaya pengembalian itu sama sekali bukan dalam dimensi umuk tak mau kalah khas Solo sebagaimana ditudingkan Hendromasto. Tudingan itu cenderung spekulatif dan tidak memiliki pijakan yuridis.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya