SOLOPOS.COM - Dorien Kartikawangi Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya Jakarta. (FOTO/Istimewa)

Dorien Kartikawangi
Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi
Unika Atma Jaya Jakarta. (FOTO/Istimewa)

Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional [hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia], Senin (11/2), di Manado, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kekuatan pers hendaknya digunakan untuk kemaslahatan rakyat yang berdaulat. Beberapa hari sebelumnya, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta menyelenggarakan dialog kebijakan bertema Tirani Media dalam Pemilu 2014. Bagaimana media di Indonesia saat ini? Masih adakah yang netral, menjaga independensi dan objektif?

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi pihak lain termasuk pemilik perusahaan. Menghadapi Pemilu 2014, media berperan penting memperkuat penggunaan nalar publik, the use of public reason.  Nalar publik berfungsi memeriksa semua bentuk relasi politik dengan memanfaatkan ruang kebebasan berupa aksesibilitas informasi publik dan kebebasan berpikir, berpendapat dan menyatakannya.

Relasi politik yang paling mendasar adalah hubungan politik antara tiga pilar trias politica (yudikatif, legislatif dan eksekutif). Trias politica ketika diperkenalkan John Calvin dan Baron de Montesquieu adalah produk pemikiran abad XVI. Dalam perkembangannya, media dianggap sebagai pilar keempat sebuah negara. Kalau politisi (legislatif) berpartisipasi di eksekutif dan yudikatif adalah political exercise yang sarat risiko, apakah pemilikan media massa oleh politisi sebaiknya perlu kita cegah?

Apakah independensi pers cukup dijaga karena sudah ada dalam kode etik pelaku pers? Kalau media dan pers dikuasai politisi, siapa lagi yang akan menjamin bahwa publik akan selalu tahu, dan siapa lagi yang akan jadi deterrent agar para pelaku pers tidak menyalahgunakan posisi mereka dengan aneka konflik kepentingan? Apakah tidak diperlukan pendekatan yang lebih struktural mengingat cara yang paling efektif bagi publik dalam menjamin agar trias politica tidak diselewengkan (oleh pemegang amanat trias politica itu sendiri) adalah melalui undang-undang?

Kemajuan teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi industri media, khususnya dengan maraknya perusahaan ”dot-com”. Banyak industri media yang melakukan diversifikasi dan merambah ke bisnis ini atau menjadi pelengkap dari bisnis utamanya. Kekuatan pelanggan merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan oleh industri media. Audiens menetapkan pilihan media yang dikonsumsinya, yaitu yang menyajikan informasi sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam kajian komunikasi hal ini dijelaskan oleh teori uses and gratification. Kekuatan pelanggan ini juga menuntut tanggung jawab media sebagai institusi publik. Sebagai wacana diskusi, persoalan lain yang kiranya layak untuk dibahas dalam ekonomi media adalah bagaimana etika berperan dan menjadi tuntunan dalam pengelolaan industri media. Hal lain yang perlu dikritik adalah industri media merupakan konglomerat: pemilik menjalankan usaha di berbagai bentuk media. Pemilik koran adalah juga pemilik radio, televisi dan juga media berbasis Internet.

Pemilik media pasti berusaha mencari bentuk baru sehingga media lama tetap bertahan dan memberikan keuntungan. Kajian ini dapat dilihat dengan perspektif ekonomi media secara mikro. Fenomena ini tentunya memperkuat fenomena baru tentang merger antar-raksasa industri media. Media dapat berperan sebagai alat pemersatu maupun pemecah masyarakat, mendukung maupun mencegah perubahan. Yang juga layak didiskusikan lebih dalam adalah ambiguitas atas peran media.

Praktik media juga berhubungan dengan social order dan solidarity, di mana kriteria normatif ini berhubungan dengan integritas dan harmoni masyarakat dilihat dari berbagai sudut pandang. Konsep order di sini digunakan secara lebih fleksibel untuk menerapkan sistem budaya seperti agama, seni dan adat istiadat sebagaimana bentuk-bentuk social order seperti komunitas, masyarakat dan struktur hubungan yang ada, serta dilihat juga dari perspektif  masyarakat yang memiliki otoritas  dan individu maupun kelompok minoritas. Teori fungsionalis memberi media tujuan tetap dalam mengamankan integrasi dan kesinambungan social order dengan mendukung kooperasi dan konsensus dari nilai sosial dan budaya. Teori kritis melihat media memiliki kekuatan yang merusak.

Berpijak pada paparan di atas sebagai ilustrasi media massa di Indonesia dan independensinya, baik kiranya ditilik dari tataran media normatif seperti yang telah dijelaskan oleh McQuail (2005). Media memiliki empat tanggung jawab yang harus diembannya, yaitu tanggung jawab terhadap hukum dan peraturan yang berlaku,  tanggung jawab terhadap pasar, tanggung jawab terhadap masyarakat dan  tanggung jawab profesional

Pada kenyataannya keempat tanggung jawab tersebut saling tumpang-tindih dan terkait satu sama lain. Tanggung jawab tersebut juga memiliki kesenjangan tertentu yang dalam pengoperasiannya menjadi tidak mudah. Berdasarkan tanggung jawab media tersebut dapat dikatakan bahwa media pada  dasarnya dapat independen dan juga dependen. Sebagaimana sebuah institusi sosial lainnya, media terikat pada sistem dan tatanan politik, ekonomi dan sosial di mana media tersebut berada.

Demikian pula media di Indonesia. Namun, ada kalanya media perlu memegang prinsip independen manakala media tersebut yakin berpihak kepada kebenaran  dan mengaktualisasikan keempat tanggung jawabnya.  Situasi di Indonesia saat ini, terkait dengan pemilu, dapat dimaknai bahwa pemilik media massa sebagian besar menjadi petinggi partai. Dengan demikian, layak dipertanyakan apakah media kemudian akan menjadi netral dan tidak berpihak?

Konglomerat media di Indonesia berdasarkan data terakhir dimiliki oleh lima pemain utama yang kemudian melakukan framing dan agenda setting pada berita atau informasi yang diteruskan kepada masyarakat. Situasi ini sebenarnya menunjukkan adanya pergeseran yang signifikan, yaitu tidak berfungsinya lagi state control dan bergeser pada capital control. Jadi masih adakah media di Indonesia yang netral dan independen? Jawabannya ada pada sidang pembaca.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya