SOLOPOS.COM - Rustopo toporus18@gmail.com Dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Rustopo toporus18@gmail.com Dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Rustopo
toporus18@gmail.com
Dosen di Institut Seni
Indonesia (ISI) Solo

”Jasmerah,” kata Bung Karno. Saat ini, mungkin sebagian besar orang sudah melupakan sejarah. Tidak terkecuali masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa yang pada 31 Januari kemarin merayakan tahun baru Imlek. Mereka banyak yang lupa, atau bahkan sudah tidak mengenali, bahwa nenek moyang mereka adalah pendukung dan bahkan pencipta kebudayaan Jawa.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Mereka lupa bahwa wayang dan batik yang menjadi ikon (kebudayaan) Jawa, khususnya di Kota Solo, sebagian adalah ciptaan mereka. Sebetulnya bukan hanya wayang dan batik saja, melainkan juga dalam bidang bahasa Jawa, sandiwara, lawak, karawitan, dan lain-lain. Akan tetapi, mengingat ketersediaan ruang yang terbatas, tidak diulas semuanya.

Kita semua mafhum bahwa di seluruh Jawa terdapat sentra-sentra produksi batik. Batik-batik halus keraton ternyata tidak diproduksi di dalam istana, melainkan disuplai oleh produsen batik dari luar keraton. Salah satu fakta sejarah yang perlu dikemukakan bahwa permaisuri Paku Buwono XI (ibunda Paku Buwono XII) adalah pelanggan batik Tjan Khay Sing di Solo.

Karya-karya batik masterpeace yang dikoleksi Iwan Tirta di antaranya adalah karya-karya orang Tionghoa. Misalnya, karya Kho Sing Kie (Banyumas), Liem Boen Im (Kudus), Oei Soe Tjoen dan Oei Tjing Nio (Pekalongan), The Tjing Sing (Yogyakarta), Nora Yap (Solo), dan Go Tik Swan (Solo). Bahkan karya-karya batik barunya Go Tik Swan ditetapkan Presiden Sukarno sebagai batik Indonesia pada 1958.

Selain batik, Go Tik Swan yang waktu itu mengepalai Museum Radya Pustaka, juga memprakarsai upaya menghidupkan kembali pembuatan keris yang telah mati sejak 1930-an. Ia bekerja sama dengan seorang pelaut Jerman bernama Drescher, dan mendapat sponsor dari The Ford Foundation, memulai proyeknya di Yogyakarta (1973).

Beberapa tahun kemudian (1980-an), lahir empu-empu keris muda di Solo yang menghasilkan keris-keris yang indah. Selain di Yogyakarta dan Solo, pembuatan keris juga berkembang di Madura berkat bimbingan empu keris dari Solo. Maka, dapat ditetapkan bahwa kebangkitan kembali pembuatan keris Jawa adalah berkat prakarsa seorang keturuan Tionghoa bernama Go Tik Swan (Hardjonagoro).

Ia sendiri seorang ahli dan kolektor keris yang setiap bulan sekali sesorah (mengajarkan ilmu) keris melalui acara Bawarasa Tosan Aji di Sasonomulyo (1971 – 1983). Dalam bidang bahasa Jawa, kita pasti sudah lupa bahwa peraih gelar doktor pertama dalam bahasa Jawa pada 20 Januari 1938 di Universitas Leiden adalah seorang Tionghoa asli Solo yang bernama Tjan Tjoe Siem.

Tjan Tjoe Siem kemudian mengabdikan diri sebagai guru besar di Universitas Indonesia sampai pensiun (1960-an). Menurut De Kat Angelino, pada 1930-an orang-orang Tionghoa yang tinggal di Vorstenlanden menggunakan bahasa Jawa halus untuk percakapan sehari-hari.

Dalam bidang wayang, khususnya wayang orang panggung (WOP), orang Tionghoa juga mengambil peran yang sangat penting. Wayang orang yang sudah ada sejak abad X akhirnya menjadi pertunjukan khusus di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran Solo.

Wayang orang Mangkunegaran tampak menonjol terutama pada masa Mangkunagoro V (1881-1896). Ketika Mangkunagoro VI naik takhta (1896-1916), wayang orang sudah tidak muncul lagi di istananya. Sebagian besar abdi dalem penari wayang orang diberhentikan. Mereka yang diberhentikan itu kemudian mbarang.

Keadaan ini menarik minat seorang pengusaha kata keturuan Tionghoa bernama Gan Kam. Gan Kam kemudian menggubah wayang orang Mangkunegaran itu menjadi pertunjukan hiburan untuk dikomersialkan. Para pemainnya direkrut dari para bekas abdi dalem penari wayang orang Mangkunegaran yang mbarang itu.

Wayang orang ciptaan Gan Kam ini berbeda dengan aslinya, terutama dalam setting pertunjukannya, yaitu menggunakan panggung prosenium yang diberi layar-layar bergambar. Oleh karena itu dinamakan wayang orang panggung (WOP). Wayang orang kreasi Gan Kam ini berkembang menjadi tren; menjadi pilihan utama hiburan masyarakat Kota Solo.

 

Legawa dan Prasaja

Gan Kam sukses menciptakan industri hiburan berupa WOP. Kesuksesan Gan Kam kemudian diikuti pengusaha-pengusaha Tionghoa lainnya, di antaranya Lie Sien Kwan, Lie Wat Djien, Lie Wat Gien, Yap Kam Lok, Lo Tong Sing, Tan Tian Ping, Lo Tik Wan, Tan Tjek Lee, dan lainnya.

Limabelas tahun setelah Gan Kam sukses dengan WOP, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat baru mendirikan Wayang Orang Sriwedari (1910), disusul Mangkunegaran yang mendirikan panggung wayang orang di Taman Balekambang (1921) dan Sonoharsono (1933). Jadi, WOP itu bukan buatan keraton, melainkan rekayasa Gan Kam.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, WOP masih tetap menjadi idola sampai era 1960-an. Penelitian Brandon pada 1960-an mencatat ada sekitar 60 rombongan WOP profesional yang terkenal, dan ada ratusan perkumpulan WOP amatir. Bedanya, yang profesional itu untuk mencari nafkah, sedangkan yang amatir itu untuk menyalurkan hobi.

Dalam sejarah WOP amatir, tercatat beberapa perkumpulan terkenal yang digerakkan dan didukung pemain-pemain keturunan Tionghoa. Misalnya, pada 1960-an, di Semarang ada perkumpulan Sunu Budaya (pimpinan Tjoa Kok Tie) dan Mekar Terate (pimpinan Tan Tiong Sien); di Solo ada Dharma Budaya (pimpinan Nyoo Ping Bie) dan PMS (pimpinan Tan Ping Kwan); di Surabaya ada Perbusa (pimpinan Oei Tiang Sing); di Malang ada Ang Hien Hoo (pimpinan Liem Ting Tjwan).

Pada 1962, mereka berlomba-lomba dengan perkumpulan-perkumpulan WOP amatir yang digerakkan dan didukung orang Jawa untuk dinobatkan sebagai penampil terbaik. Meskipun masih banyak yang lain, tetapi fakta sejarah yang sudah dipaparkan di atas kiranya sudah cukup untuk menyatakan betapa besar dan penting kontribusi yang diberikan orang-orang Tionghoa dalam melestarikan, mengembangkan, dan menggerakkan kebudayaan, terutama kesenian Jawa.

Bisa dibayangkan, seandainya Gan Kam tidak menciptakan WOP, dapat dipastikan tidak akan pernah ada pertunjukan wayang orang lagi sejak akhir abad ke-19, atau WO Sriwedari tidak pernah lahir. Juga seandainya Go Tik Swan tidak memprakarsai kembali pembuatan keris, mungkin tidak akan pernah lahir empu-empu muda pembuat keris di Jogja, Solo, dan Madura.

Akhirnya, kita hendaknya dapat melihat kenyataan sejarah, dan tidak terjebak pada pandangan yang stereotip terhadap orang-orang Tionghoa. Fakta sejarah yang telah diuraikan di atas diharapkan dapat dihargai para pembaca, dan semua yang berjiwa besar.

Soal mereka itu keturunan Tionghoa janganlah dijadikan halangan untuk menghargai. Kelahiran mereka semata-mata takdir Allah. Jangan karena mereka lahir sebagai keturunan Tionghoa maka karya-karya mereka dipakai tetapi orangnya dilupakan atau dibuang.

Bagi pembaca artikel ini yang kebetulan dilahirkan sebagai keturunan Tionghoa, selain boleh bangga, juga tetap legawa dan prasaja. Tidak perlu membusung-busungkan dada menjadi golongan atau etnis minoritas yang lebih baik dari yang lain. Semoga. Gong xi fat choi, selamat Tahun Baru Imlek 2565.



 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya