SOLOPOS.COM - Nurudin

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Jumat (27/10/2017). Esai ini karya Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang dan penulis buku Pengantar Komunikasi Massa. Alamat e-mail penulis adalah nurudin@umm.ac.id.

Solopos.com, SOLO–Belakangan ini saya sedikit risau dengan hiruk pikuk pembicaraan di masyarakat. Betapa masyarakat kita sangat riuh dengan hal yang sifatnya remeh dan tak subtansial berkaitan dengan isu di sekitar kita.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Lihat saja isu soal pribumi, sebelumnya ada ndesa yang jadi istilah populer, PKI, bani serbet, bumi datar, dan istilah-istilah lain yang cenderung sarkastis. Saya membuka buku karangan saya berjudul Pengantar Komunikasi Massa.

Saat membaca teori komunikasi massa, saya sempatkan membaca bagian yang membahas teori peluru (bullet theory) atau juga dikenal dengan teori jarum hipodermis (hypodermic needle theory). Setelah itu saya simpulkan keadaan masyarakat sekarang sama persis dengan yang terjadi pada 190-an sampai 1940-an saat perang dunia berkecamuk.

Teori di atas mengungkapkan bahwa kondisi masyarakat pada waktu itu sangat tidak terdidik. Media massa (cetak dan elektronik) mempunyai kekuatan penuh dalam menyebarkan pesan-pesan. Pesan media massa itu langsung menghujam ke dalam benak masyarakat disebabkan dua asumsi.

Pertama, masyarakat tidak terdidik. Kedua, masyarakat tidak berkomunikasi dengan sesamanya. Akibat dua hal di atas, pesan media massa dianggap sebagai berita hebat, lalu masyarakat menelan mentah-mentah.

Kondisi yang terjadi pada media massa dan masyarakat yang mudah menelan mentah-mentah informasi itu lalu digunakan untuk kepentingan penguasa. Adolf Hitler, pemimpin Partai Nazi Jerman, menggunakannya untuk kegiatan propaganda dalam usaha memenangi perang.

Selanjutnya adalah: Salah satu propaganda yang dikemukakan

Propaganda

Salah satu propaganda yang dikemukakan bahwa Jerman adalah keturunan Aria sebagai bangsa mulia. Bangsa-bangsa lain harus dienyahkan, terutama Yahudi. Gembar-gembor untuk memenangi perang itu terus dilakukan dengan memobilisasi kekuatan masyarakat melawan musuh Jerman.

Informasi yang disebarkan di media massa sebenarnya tidak sedahsyat kenyataannya. Amerika Serikat dan sekutunya berusaha keras melawan propaganda Jerman di bawah Hitler itu. Amerika Serikat melakukan counter propaganda dengan perlawanan di segala bidang.

Ini harus dilakukan karena propaganda Hitler sedemikian kuatnya memengaruhi benak masyarakat dan membuat takut masyarakat dunia. Dengan alasan kemanusiaan, para ilmuwan Amerika Serikat melawan propaganda itu.

Lahirlah sebuah teori yang mengatakan peran media massa itu tidaklah besar sebagaimana yang diasumsikan dalam teori peluru. Artinya, pesan-pesan media massa juga tidak langsung diterima masyarakat. Masyarakat bisa menerima pesan-pesan media massa melalui pemimpin opini (opinion leader).

Jadi, asumsi bahwa media massa punya kekuatan penuh itu dianggap mengada-ada. Ini versi Amerika Serikat tentunya. Sebagai sebuah ilmu yang muncul untuk melawan, tentu teori baru produk Amerika Serikat itu sangat manjur, lepas dari kekalahan Hilter pada perang dunia.

Bagaimana dengan kondisi masyarakat sekarang? Masyarakat sekarang hampir sama persis dengan zaman Hilter tersebut. Mereka cenderung menuruti apa yang terjadi dan disampaikan oleh media massa, terutama media sosial.

Selanjutnya adalah: Dulu media massa berperan penting memengaruhi…

Media Massa

Artinya, kalau zaman dahulu media massa yang berperan penting memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat, zaman sekarang adalah media sosial. Soal kata ”pribumi”, misalnya, yang baru-baru saja hangat menjadi perbincangana masyarakat.

Sebenarnya, kata ”pribumi” itu bisa jadi hal yang biasa diucapkan oleh seseorang, namun demikian hiruk-pikuk dampak dari kata itu sedemikian dahsyat. Menjadi dahsyat karena yang kemudian menyebarkan informasi itu didasari oleh perasaan suka dan tidak suka kepada pengucap kata tersebut.

Kata ”pribumi” semakin terpolarisasi pada dua kubu yang selama ini masih terus bersitegang. Tak terkecuali dengan istilah Partai Komunias Indonesia atau PKI. PKI menjadi komoditas politik yang memancing keriuhan di media sosial dan ini sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Yang pasti polarisasi dua kubu masyarakat terus berkepanjangan.

Sebagaimana era 1930-an sampai 1940-an, masyarakat kita jarang, untuk tak mengatakan tidak mau, mengkaji lebih dalam sebab musabab atau mencari fakta dari sumber aslinya. Mereka lebih cenderung menyukai informasi yang hanya bersumber dari kelompoknya, bahkan otak kita sering kali kalah dengan kecepatan jempol.

Artinya, sering kita tidak membaca keseluruhan informasi tetapi langsung menyebarkannya kepada orang lain, hanya gara-gara informasi itu sesuai dengan kecenderungan diri. Jadi, masyarakat menyebar berita tidak lagi berdasarkan apakah berita itu benar atau tidak tetapi lebih karena sesuai dengan sikap dan perilaku politiknya, bahkan ini juga dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi.



Kondisi seperti inilah yang kemudian rentan untuk digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang punya kepentingan politik. Sebenarnya masyarakat kita tidak tahu apa-apa. Mereka hanya digiring untuk membuat hiruk-pikuk. Yang beruntung tentu saja para pemain politik.

Selanjutnya adalah: Polarisasi dua kubu dalam politik…

Polarisasi

Polarisasi dua kubu dalam politik akan terus mengemuka sampai pemilihan presiden pada 2019. Apakah dengan demikian masyarakat sekarang dikatakan tidak terdidik? Nanti dulu. Masyarakat kita semakin terdidik jika dibandingkan puluhan tahun yang lalu, namun kondisi masyarakat kita masih sama; yakni masih senang mengonsumsi berita-berita yang sebenarnya tidak substansial.
Tidak bisa dimungkiri, kita masih hidup dalam masyarakat yang mementingkan sesuatu yang artifisial (terlihat). Coba Anda amati di media sosial, berapa banyak pengguna media sosial yang berendidikan tinggi?

Amati sekali lagi, bagaimana mereka menulis status, menyebarkan link yang hanya sesuai kecenderungan dirinya? Memang tidak salah. Masalahnya, apakah mereka yakin perilakunya tidak dijadikan contoh pengguna lain? Misalnya, seorang dosen menyebar berita bohong. Mahasiswanya  tentu saja berkemungkinan besar akan mengklaim berita itu benar dan ikut menyebarkannya. Sangat berbahaya bukan?

Bukankah dalam hal itu media sosial mempunyai kekuatan penuh (sebagaimana media massa era 1930-an) dan sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat? Sementara itu, masyarakat menelan mentah-mentah apa saja informasi yang berasal dari media sosial hanya karena sesuai kecenderungan diri, bukan pada kebenaran fakta?

Selamat datang masyarakat era 1930-an. Meminjam istilah kaum muda,”Wajah baru, stok lama”. Wajahnya berubah, tetapi perilakunya tidak berbeda dengan era sebelumnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya