SOLOPOS.COM - Rahmi Nuraini rahmi_bigtree@yahoo.com Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang Pengajar di London School of Public Relations Jakarta

Rahmi Nuraini  rahmi_bigtree@yahoo.com  Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi  Universitas Diponegoro Semarang  Pengajar di London School  of Public Relations Jakarta

Rahmi Nuraini
rahmi_bigtree@yahoo.com
Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro Semarang
Pengajar di London School
of Public Relations Jakarta

Industri kesehatan, seperti halnya rumah sakit, pabrik obat, dan sebagainya, adalah industri paling rawan mengalami krisis reputasi akibat pemberitaan atau isu negatif. Krisis reputasi terjadi karena perbedaan persepsi antara industri dengan publik.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Perbedaan persepsi ini dapat memicu ketidakpercayaan publik dalam skala besar. Setiap hari industri kesehatan berkenaan dengan nyawa manusia sehingga terpaan isu tekait kesehatan bisa muncul dari berbagai sisi, mulai dari pelayanan, performa obat, fasilitas, sumber daya manusia (SDM), kondisi pasien, dan sebagainya.

Ibaratnya, ketika orang sakit menjadi sembuh karena dirawat di rumah sakit adalah hal yang biasa.  Namun, ketika orang sakit bertambah sakit atau orang sehat berubah menjadi sakit setelah masuk rumah sakit, reputasi industri rumah sakit tersebut akan menjadi taruhan karena pasti ada potensi masalah di sana.

Di sisi lain, keterbukaan informasi memungkinkan konsumen menyatakan kekecewaan atau kritik secara langsung tanpa batasan birokrasi. Suara konsumen yang bersentimen negatif bisa meluas melalui media sosial dan berdampak langsung pada reputasi industri.

Ketika hal tersebut terjadi, kredibilitas pekerja kesehatan mulai dari dokter, perawat, dan karyawan lainnya ikut terseret-seret. Menariknya, setelah isu mereda konsumen akan kembali lagi ke rumah sakit yang sama seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Inilah yang menyebabkan isu negatif yang berpotensi mengancam reputasi cenderung dibiarkan hingga hilang dengan sendirinya. Langkah mendiamkan isu dirasa lebih aman dibanding harus mengambil langkah perbaikan yang jika tidak tepat justru dapat memperburuk keadaan.

Kita masih ingat gugatan pihak rumah sakit kepada Prita Mulyasari yang menyatakan kekecewaan atas pelayanan rumah sakit itu justru membuat publik menjadi tidak simpatik pada rumah sakit tersebut. Derasnya dukungan kepada Prita bahkan mendorong konsumen lainnya membuka suara atas buruknya pelayanan yang pernah diterima ketika berobat di rumah sakit yang sama.

Isu lain yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini adalah aksi solidaritas dokter yang disambut negatif oleh masyarakat. Ketika dokter ingin memprotes kriminalisasi profesi yang diterima rekan mereka sesama dokter di Manado, masyarakat justru kecewa karena dokter tidak lagi mengutamakan kepentingan pasien.

Dalam beberapa pemberitaan disebutkan banyak pasien yang tidak tertangani karena dokter berdemonstrasi sebagai wujud aksi solidaritas. Dokter mungkin ”kecele” (tidak menyangka) bahwa aksi mereka tidak mendapat simpati masyarakat.

Jika diamati dari pemberitaan, Menteri Kesehatan (Menkes) bahkan harus mengubah pernyataan dari mendukung aksi solidaritas menjadi imbauan agar para dokter mengutamakan kepentingan pasien. Bisa jadi imbauan ini untuk mengikuti opini publik yang berkembang.

Hal yang sama juga terjadi dalam kampanye Pekan Kondom Nasional (PKN) 2013. Kampanye yang awalnya ingin menyebarkan pesan pentingnya mengurangi penyebaran penyakit HIV/AIDS dengan menggunakan kondom diterima secara berbeda oleh publik karena salah pengemasan.

Atribut dan gaya penyampaian kampanye membuat publik mempersepsi pesan berbeda 180 derajat dari yang dimaksudkan. Persepsi yang mengemuka justru pemerintah sedang menggalakkan kampanye seks bebas. Akhirnya, penghentian kampanye dipilih pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan publik.

 

Penanganan

Pemberitaan negatif yang terjadi secara tidak sengaja bisa berkembang menjadi krisis jika direspons secara keliru. Menurut Bryson, krisis berpotensi mengancam keberlangsungan dukungan stakeholders atau pemangku kepentingan dan berdampak negatif bagi performa organisasi.

Ketika sebuah brand mengalami krisis, pemilik/pengelola harus menemukan momentum titik balik untuk mengembalikan kepercayaan publik. Padahal tidak mudah mengubah paradigma negatif menjadi positif secara sengaja melalui serangkaian perencanaan.

Titik balik itu bisa berasal dari faktor eksternal brand yang mendukung perbaikan reputasi industri. Namun, faktor penentu terkuat berasal dari internal brand yang menjadi sumber krisis. Agar berjalan efektif, manajemen krisis bisa dilakukan melalui tiga langkah efektif.

Pertama, memberikan penilaian tingkatan pentingnya isu. Apakah hanya perlu sekadar pemantauan/pengawasan, perlu respons, atau perlu respons segera. Pemetaan perlu dilakukan secara komprehensif atau setidaknya tergantung dari tingkat permasalahan yang memicu pemberitaan negatif.

Beberapa praktisi manajemen krisis menempatkan penilaian kuantitatif sebagai dasar pertimbangan, berapa banyak pemberitaan negatif yang muncul, adakah tokoh (opinion leader) yang ikut memberikan penilaian negatif, dan sejauh mana pemberitaan memengaruhi opini publik.

Penilaian yang berbeda akan menghasilkan rekomendasi aksi yang berbeda. Kesalahan dalam memahami opini publik dapat berakibat fatal terhadap reputasi dalam situasi krisis. Kedua, menyiapkan narasumber yang kredibel untuk menjawab isu yang beredar di media massa, di media sosial, atau di ruang publik.

Tahap kedua ini bisa menjadi pilihan jika dirasa perlu respons berupa pernyataan baik dari intenal maupun eksternal. Dalam hal ini perlu juga dirumuskan siapa yang berwenang memberikan jawaban, apakah pimpinan tertinggi, atau cukup pelaksana hubungan masyarakat (humas) industri tersebut.

Ketiga, membekali narasumber dengan pesan kunci yang akan menjadi panduan ketika berbicara di hadapan publik. Pesan kunci harus dikembangkan agar narasumber tidak memberikan pernyataan (no comment) atau memberikan pernyataan yang tidak menjawab inti permasalahan.

Untuk merumuskan pesan yang sesuai, pengumpulan fakta dan kronologi kejadian ihwal sumber masalah menjadi dasar utama yang penting dalam pengembangan pesan yang akan disampaikan narasumber. Tantangan lain dari narasumber industri rumah sakit adalah kemampuan menyampaikan bahasa kedokteran atau kesehatan dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami publik.



Penggunaan bahasa ilmiah yang sulit dipahami akan membuat isu berkembang tanpa solusi. Ketiga tahapan ini akan berbeda aplikasinya di masing-masing industri, tetapi secara garis besar penyelesaian isu negatif bisa melalui tiga tahap ini.

Pengalaman menghadapi krisis akan membekali manajemen industri kesehatan selalu siap menghadapi terpaan pemberitaan negatif. Kunci utama yang perlu dipegang adalah selalu bersikap jujur dan mengatakan kebenaran kepada publik.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya