SOLOPOS.COM - Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (FOTO/Istimewa)

Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (FOTO/Istimewa)

Mohon maaf Saudara–Saudara, presiden kita sedang sibuk. Jadi jika Saudara saat ini dalam keadaan mengalami kesulitan karena bencana alam seperti banjir dan tanah longsor atau gempa bumi dan gunung meletus, daerah Saudara sedang dilanda konflik, misalnya konflik  sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) atau konflik dengan aparat keamanan, keluarga Saudara makan nasi aking atau bahkan tidak makan sama sekali, anak Saudara tidak bisa sekolah atau sakit tetapi tidak bisa dirawat di rumah sakit, saya harap Saudara maklum.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Presiden kita masih sibuk. Saya harap Saudara mengerti dan bangga memiliki presiden yang sibuk. Bukankah ia dititahkan dengan segudang pekerjaan yang pasti menyita waktu, tenaga dan pikiran. Namun, saya memahami kekecewaan Saudara setelah tahu bahwa presiden kita baru sibuk dengan urusan partainya.

Saya minta Saudara mengerti sebab partai yang sedang menyita kesibukan dan konsentrasi presiden itu partainya presiden sendiri. Wajar toh, jika diibaratkan seorang petani yang menanam padi, tiba–tiba padinya diserang hama wereng maka ia akan pontang–panting menyelamatkan tanaman sebab ini menyangkut hajat hidup keluarganya.

Ekspedisi Mudik 2024

Berbicara mengenai pemimpin negeri ini, yang tampak adalah anomali. Ditambah dengan pekerjaan yang tidak tulus, tidak sebenarnya alias pencitraan maka keadaan tidak menjadi bertambah baik tetapi semakin runyam. Anomali tampak saat beberapa waktu yang lalu presiden kita meminta agar para menteri agar fokus dengan pekerjaan pemerintahan. Sebuah ajakan dan imbauan yang bagus karena ini menyangkut nasib jutaan rakyat.

Namun, yang menyedihkan adalah presiden kita sendiri yang memberi contoh buruk sebab sibuk dengan urusan elektabilitas partai yang sedang jeblok karena kadernya banyak yang tersangkut perbuatan durjana berupa korupsi, sibuk menghadapi gonjang-ganjing partai. Ini namanya jarkoni, atau bisa ujar ora bisa nglakoni alias omong doang kata orang Betawi, alias NATO: no action talk only.

Melakukan kunjungan kerja ke luar negeri yang dibiayai oleh negara, bersumber dari pajak keringat rakyat, namun nun jauh di negeri orang yang dibahas melulu urusan partai. Urusan negara kalah dengan urusan partai. Ketika pemimpin tertinggi selevel presiden sibuk, dengan sendirinya maka saya yakin aparat di bawah juga akan melakukan hal yang sama. Meminjam istilah Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok: kalau kepalanya baik pasti badannya juga baik. Analoginya: jika presidennya sibuk mengurusi partai maka anak buahnya juga akan sibuk mengurus partai.

Pembelaan datang dari istana. Harap maklum sebab banyak die hard alias pasukan berani mati yang hidup di ring I istana. Harap maklum, tipologi orang istana itu andaikan presiden mengatakan bahwa langit itu berwarna kuning, mereka akan mati–matian membela dan membenarkan bahwa langit berwarna kuning. Bunyinya, meski presiden sibuk dengan urusan partai namun tidak meninggalkan tugas–tugas kenegaraan.

Meminjam istilah Ahok lagi, pernyataan itu bisa dibalik: meskipun para menteri sibuk dengan urusan partai namun tidak meninggalkan tugas–tugas pemerintahan. Negeri ini semakin runyam. Urusan rakyat kalah dengan urusan partai politik. Urusan nasib bangsa kalah dengan urusan elektabilitas partai. Inilah repotnya jika sebuah negara tidak mengatur dengan tegas pemisahan antara jabatan publik dengan jabatan partai.

 

Terpecah

Presiden yang sibuk mengurus partai membuat konsentrasi terpecah. Dalam kondisi di Indonesia, pastilah lebih mengutamakan kepentingan partai daripada urusan negara. Saya berani mengatakan bohong besar jika presiden dikatakan tetap fokus mengurusi negara. Mengurus negara sebesar Indonesia dan memiliki permasalahan yang sangat kompleks sebagaimana terjadi di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan cara nyambi dan sambil lalu. Diperlukan seorang pemimpin yang fokus dalam mengurus negara.

Jika urusan partai lebih penting, negara telah salah sasaran memberikan aneka fasilitas kepada pejabatnya. Jika seorang presiden tampil di depan sorotan kamera televisi, disaksikan oleh jutaan rakyat dengan berbagai latar belakang, namun yang dibahas bukan mengenai nasib rakyat, tetapi nasib partai, maka, meminjam istilah seorang jurnalis di Solo, ganti saja e-KTP dengan KTA alias kartu tanda anggota sebuah partai.

Rakyat sudah bukan warga  negara lagi namun sebagai elemen partai. Ini kalimat satire, masygul, yang mestinya mampu membuat para pemimpin ini tersinggung dan melakukan tobat nasional. E-KTP sebagai identitas tidak diperlukan lagi sebab wacana di pemerintahan hanya berisi dengan wacana kepartaian, parsial. Menteri tidak bekerja, gubernur tidak bekerja sebab presidennya juga tidak bekerja untuk rakyat.

Saya ingat dengan psikologi perkembangan yang dulu saya pelajari di sekolah guru. Ada fase imitasi atau meniru pada diri anak yang ternyata terbawa oleh watak pejabat kita. Dari walikota/bupati hingga menteri meniru pola kerja presidennya yang terkesan serabutan. Satu jam yang lalu berbicara masalah negara, satu jam kemudian berbicara mengenai masa depan partai. Energinya habis untuk mengurus partai. Mengapa hal ini terjadi? Rasa memiliki terhadap negeri ini yang tidak ada dalam diri mereka.

Rakyat negeri ini dihadapkan kepada pilihan pelik. Di satu sisi merasa memiliki pemimpin namun di sisi lain tidak merasakan kehadiran seorang pemimpin. Pemimpin ada di saat rakyat tidak membutuhkan, namun pada saat rakyat membutuhkan kehadirannya justru pemimpin tidak ada. Kehadiran pemimpin sebagaimana saya tulis hanya menjadikan rakyat objek untuk dijual, dieksploitasi. Ia datang dengan membawa Rp5, namun pulang mengambil hak rakyat Rp100. Lebih banyak yang diambil dari pada yang diberikan.

Presiden kita ini memang aneh. Ia menyuruh orang lain melakukan kebajikan namun ia memberi contoh buruk. Ketika ia mengatakan kepada para menteri untuk menomorsatukan tugas pemerintahan, ia sendiri lupa dengan yang dikatakan. Kultur melayani yang merupakan hakikat birokrasi pemerintahan menjadi sarana untuk saling menyabotase. Saya maklum jika presiden kita sibuk dengan partainya. Ia yang mendirikan partai. Ia tidak mau partai yang ia dirikan mati  atau sekarat. Partai itu akan ia wariskan kepada anak cucunya. Mewariskan sesuatu kepada anak cucu pastilah bukan dalam bentuk barang yang compang-camping. Keyakinan saya membuncah bahwa tujuan ia mendirikan partai bukan demi kebaikan warga bangsa, namun demi anak cucu sendiri.

 

Kantor Partai

Saat ini kantor kementerian sudah berubah menjadi kantor pusat sebuah partai politik. Kantor gubenur, bupati/walikota sudah menjelma menjadi kantor cabang partai politik. Kantor–kantor publik sekarang diisi oleh mereka yang berafiliasi dengan partai politik. Gerbong–gerbong birokrasi dipenuhi oleh para kader yang didandani, dimodifikasi, lalu mendapat sebutan mentereng sebagai staf khusus.

Repotnya pimpinan institusi pemerintah yang berasal dari partai politik menjadikan para staf khusus itu sebagai mesin pengeruk uang rakyat. Staf khusus itu memiliki kekuasaan yang luar biasa, memiliki akses melihat pundi–pundi uang yang semestinya digunakan bagi rakyat.

Saya berharap Saudara tidak usah sibuk. Misalnya, berdoa agar partai presiden kita ini bisa cepat sehat sehingga presiden kita kembali fokus mengurusi warga negaranya. Jangan sampai kita gede rasa (ge-er). Yang namanya partai politik itu hanya melihat kita sebatas angka, persentase dan target suara. Kita tidak pernah dianggap sebagai manusia utuh. Kita, bagi mereka, adalah bilangan. Saya mengedukasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya