SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

 

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

M. Fauzi Sukri fauzi_sukri@yahoo.co.id Peminat filsafat pendidikan, filsafat ekonomi politik, dan filsafat agama

M. Fauzi Sukri
fauzi_sukri@yahoo.co.id
Peminat filsafat pendidikan,
filsafat ekonomi politik,
dan filsafat agama

Ijazah adalah salah satu penemuan dan produk zaman modern yang penuh keajaiban. Dan hampir semua manusia dewasa tahu keajaiban kertas dokumen resmi satu ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Ijazah diyakini bisa dan mampu memberikan kesempatan kerja, mempermudah aliran harta dan kekuasaan, mempertinggi status sosial, atau mempermudah meraih ilmu, dan sebagainya.

Atau, bahkan, barangkali, ijazah lebih tinggi nilainya daripada selembar sertifikat tanah yang berhektare-hektare, surat warisan penuh harta melimpah, surat tabungan bank, lembaran saham, dan sebagainya.

Ada sesuatu yang sangat mulia yang dilekatkan pada ijazah sehingga kertas ini ampuh: ilmu. Dengan pengandaian bahwa kertas itu menunjukkan keberilmuan si pemilik, kertas itu mempunyai legitimasi dan otoritas untuk berbicara dan bertindak atas nama ilmu.

Pemilik ijazah dianggap sebagai manusia berilmu. Inilah yang terus-menerus hendak dipertahankan selamanya oleh lembaga pendidikan yang menjadi satu-satunya institusi yang berhak mengeluarkan ijazah.

Bahkan, sering kali, lembaga pendidikan akan lebih merasa terancam jika tidak bisa mengeluarkan ijazah daripada tidak bisa mencerdaskan dan memanusiakan manusia.

Dan, tanpa hak eksklusif ini, barangkali lembaga pendidikan akan terkurangi bahkan bisa tersingkirkan otoritasnya di hadapan masyarakat.

Maka, jika saya mengajukan sekadar dua contoh manusia yang tidak memiliki ijazah, tapi sangat penting dan signifikan dalam sejarah Indonesia, ini akan dianggap sebagai pengecualian yang bahkan mendapatkan pembenaran secara historis.

Yang pertama adalah cendekiawan yang sering dianggap sebagai akal budi Asia Tenggara: Soedjatmoko. Dia yang mendirikan Badan Perencanaan  Pembangunan Nasional (Bappenas).

Dia tidak lulus dari Sekolah Tinggi Kedokteran gara-gara memprotes kebijakan Jepang yang mengharuskan mahasiswa memakai topi pet dan mewajibkan mahasiswa tingkat III ke bawah berambut pendek hampir gundul ala militer.

Awalnya kegiatan Jepang tidak digubris oleh mahasiswa, tapi satu hari di bulan Oktober 1943 serdadu Jepang datang ke kampus dan menggunduli mahasiswa, termasuk Soedjatmoko, yang terus memprotes sampai akhirnya dijebloskan ke penjara.

Kejadian ini menggemparkan Jakarta dan tersebar ke mana-mana, bahkan Soekarno dan Hatta harus turun tangan. Setelah dipenjara, Soedjatmoko tidak diperbolehkan melanjutkan kuliah. Dia tidak lulus (Nursam, 2002).

Yang kedua adalah Sutan Sjahrir yang juga tidak lulus, tidak memiliki ijazah sarjana hukum, gara-gara sibuk dengan politik pemerdekaan rakyat Indonesia dan keadaan tidak memungkinkan dia kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya.

Tapi, seperti juga Soedjatmoko, zaman yang masih menoleransi manusia cerdas dan penuh pengabdian memberikan kesempatan kepada Sjahrir menjadi perdana menteri, sekaligus menjadi menteri luar negeri dan dalam negeri (Rudolf Mrazek, 1996).

Tentu saja kedua tokoh ini sedikit banyak diuntungkan latar sosial politik Indonesia yang dalam masa pembentukan lembaga negara pada zaman menjelang dan setelah kemerdekaan.

Asalkan ada orang yang cakap, paham, dan dianggap mampu, dia berhak atau pantas untuk memegang otoritas kekuasaan dan keilmuan. Yang sekadar punya ijazah, tapi miskin ilmu dan dedikasi, tak usah diperhitungkan.

Tapi, pada zaman sekarang, apalagi dari lembaga pendidikan sendiri, hal ini tampaknya tidak akan diberi celah sedikit pun. Tanpa ijazah, mustahil perguruan tinggi akan memberikan kesempatan bagi yang kompeten—tentu saja ini akan dianggap ancaman dan mengganggu stabilitas jabatan akademis.

Sistem dunia, termasuk dilegitimasi perguruan tinggi, tentu saja tidak dikehendaki berjalan tanpa ijazah. Maka, jika kita masih terus saja mendapati praktik manipulatif jual-beli ijazah, itu sebenarnya masih menunjukkan betapa ijazah masih sangat ampuh dan ajaib dalam kehidupan kita saat ini.

 

Pembodohan

Di sini, tentu saja kita tidak bisa mengikuti pola pikir pakar pendidikan Indonesia, Muchtar Buchori (1994), yang membuat klasifikasi orientasi belajar masyarakat.



Klasifikasi itu meliputi para penggila dan pendamba ijazah bahkan kalau perlu membeli ijazah asli tapi palsu, para penuntut sekolah/kuliah betapa pun tidak sesuai dengan bakat dan kehendaknya, dan para pembelajar yang memiliki etos belajar ilmu.

Di kehidupan kita lebih banyak orang yang bisa kita masukkan dalam kelompok yang kedua plus tentu saja karena akan mendapatkan ijazah, kemudian kelompok yang pertama, dan yang paling sedikit adalah kelompok yang ketiga: demi kemuliaan ilmu dan demi memuliakan diri secara jujur dan bermartabat.

Struktur orientasi ini lebih banyak ditentukan dari luar dunia pendidikan, bukan kehendak manusia. Bisa disimpulkan dunia saat ini sudah sangat tersistematiasi dan birokratis dalam naungan kapitalisme, termasuk tentu lembaga pendidikan.

Dalam bahasa yang kita pahami bersama, ilmu itu adalah dagangan (komoditas) yang hanya bisa diraih dengan membeli oleh yang mampu. Yang mampu akan diberikan hak ekslusif, berupa pengakuan berbentuk ijazah.

Ijazah ini bisa digunakan untuk begitu banyak keperluan dan kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Barangkali struktur yang paling menuntut untuk hal ini adalah tuntutan kerja.

Dalam dunia kerja, hampir dapat dipastikan perusahaan atau lembaga pemerintah dan sebagainya mengharuskan dan mewajibkan para pelamar kerja untuk menyertakan kertas ijazah, meskipun mereka akan melatih lagi para lulusan perguruan tinggi yang akan jadi karyawan atau pegawai itu.

Dalam perdagangan ilmu ini sering kali tidak adil, timpang, dan diskriminatif, apalagi pada tingkat perguruan tinggi. Tak semua warga negara Indonesia diberikan kesempatan sama meskipun memiliki hak yang sama, dan meskipun ini adalah kewajiban negara bagi warganya, untuk belajar di perguruan tinggi.

Dan secara tidak langsung, lembaga pendidikan yang mulia adalah penegak ketidakadilan ini. Berbagai alasan bisa diajukan di sini, seperti ketidakmungkinan dan keterbatasan pemerintah untuk mengeluarkan dana.

Dan yang lebih parah barangkali adalah efek psikologis dari semua ini. Orang yang tidak pernah masuk sekolah atau kampus akan dibodohkan secara sosial-psikologis.

Mereka akan dibuat kehilangan kemampuan untuk terus belajar, meskipun struktur penyalur ilmu sekarang sangat beragam dan sangat terbuka, seperti perpustakaan umum, saluran berbagai media massa, atau Internet yang menyediakan ilmu pengetahuan yang melimpah, dan sebagainya.

Pembodohan diri akan dibenarkan secara sosial: apalah gunanya belajar kalau tidak bisa punya ijazah untuk memperbaiki nasib. Ini sering jauh lebih licik daripada perilaku pembeli ijazah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya