SOLOPOS.COM - Nurudin, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang Aktif di gerakan literasi media

Nurudin, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang Aktif di gerakan literasi media

Tidak bisa dimungkiri bahwa media massa berjasa dalam memberitakan dinamika politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Politik menjadi hiruk-pikuk bak pesta para politisi. Sementara masyarakat menontonnya dari luar ruangan. Namun demikian, tanpa disadari hiruk-pikuk yang dikonstruksi media massa tersebut justru tidak mencerdaskan masyarakat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Masyarakat (terutama penonton televisi) bisa jadi menjadi semakin bingung mengapa tayangan politik banyak mengulas politisi  X secara positif, sementara untuk politisi Y diberitakan serba negatif.  Sementara itu, televisi menjadi satu-satunya media audiovisual yang mempunyai audiences paling banyak. Masyarakat dikhawatirkan akan menerima begitu saja apa yang disaksikannya di media televisi.

Mereka yang mendukung partai A semakin suka menonton pada televisi X, sementara yang tidak suka akan menonton televisi Y. Di sinilah terjadi bias informasi yang tentu saja sangat berbahaya bagi pemahaman masyarakat.  Tak ada cara lain kecuali harus menggerakkan secara cerdas kampanye  media literacy (literasi media) atau kampanye melek media. Media televisi di Indonesia memang sarat dengan kepentingan.

Media masih menempatkan khalayak sebagai konsumen. Pengelola televisi berupaya memenuhi semua selera dan keinginan pemirsa (sebagai konsumen) meskipun tanpa mencerdaskan. Dengan demikian, apa yang dibutuhkan khalayak ialah yang akan disajikan tanpa menyadari bahwa tayangan yang diproduksi itu tidak mendidik. Jadi, dasar kerjanya bukan soal apakah tayangan berguna bagi khalayak, tetapi apakah tayangan tersebut  diminati atau tidak.

Lihat saja tayangan menjelang Pemilu 2014 kini. Meskipun sudah ada larangan tidak boleh ada iklan partai politik (parpol) tertentu sebelum  resmi berkampanye, televisi tetap melakukannya. Memang bentuknya bukan iklan resmi tetapi hanya kegiatan partai. Salah satunya dimungkinkan karena  televisi itu memang berhubungan erat dengan sebuah partai politik, bahkan pemilik media adalah fungsionaris partai polituk.

Jadilah televisi representasi kepentingan politik pemilik media itu. Apa yang disajikan tentu saja berhubungan erat dengan target-target politik pemilik. Barangkali masyarakat awam tidak menyadari bahwa itu tayangan yang sangat membodohi dan jauh dari unsur mendidik. Krisna Sen dan David T Hill (2001) pernah menyatakan bahwa media massa Indonesia bukan menjalankan peran merefleksikan realitas tetapi merepresentasikan realitas. Media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk merumuskan realitas politik, kultural dan sosial Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang dialami rakyat banyak (Iriantara, 2009) karena tidak merefleksikan realitas.

Dengan demikian, media sekadar mengungkapkan serta memberitakan apa yang terlihat, tetapi jarang memberikan penjelasan mengapa itu terjadi atau ada apa di balik itu. Padahal, ada banyak agenda-agenda tersebunyi yang dibawa media. Ini yang tidak dijelaskan dan tidak diketahui khalayak.

 

Melek Media

Melihat betapa kuatnya televisi memengaruhi dan tidak berdayanya khalayak, gerakan literasi media menjadi keniscayaan. Secara definitif berdasar penjelasan Pasar 52 ayat (2) UU Penyiaran, literasi media adalah  kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat. Inti dari literasi media adalah pemberdayaan masyarakat untuk kritis atas tayangan media, terutama televisi.

Tujuan literasi media terutama mengembangkan sikap kritis masyarakat akan tayangan televisi. Sikap kritis ini bisa dilakukan dengan selalu curiga bahwa televisi punya agenda tersembunyi. Literasi media perlu dilakukan karena media bukan alat yang bebas nilai. Media penuh dengan kepentingan-kepentingan yang tidak saja terbuka tetapi juga terselubung.

Masyarakat yang menjadi konsumen karena mengonsumsi informasi (bukan mengonsumsi berdasar pengetahuan) akan menerima apa saja yang disajikan media. Kenyataan ini jelas akan berdampak tidak baik bagi perkembangan individu dan masyarakat secara umum. Dengan kata lain, masyarakat mengonsumsi tidak dengan sikap kritis.

Satu aspek penting literasi media adalah cara pandang khalayak terhadap media massa. Dalam kenyataan sehari-hari, masyarakat sering kali lebih percaya apa yang disajikan televisi dari kenyataan sebenarnya. Dalam kajian komunikasi massa ini disebut dengan teori penanaman (cultivation theory). Masyarakat tanpa sikap kritis menerima seolah-olah apa yang disajikan televisi terjadi senyatanya atau seperti itu di sekitarnya.

Misalnya, khalayak akan percaya kepada seorang katua partai politik yang mengusung gerakan perubahan karena khalayak menyaksikan di televisi. Khalayak sering menonton televisi tersebut dan jarang melihat televisi lain. Informasi yang masuk hanya dari satu sisi saja. Padahal semua itu sudah diformat sedemikian rupa agar masyarakat percaya terhadap yang disajikan televisi. Akhirnya, masyarakat percaya dengan sesuatu yang tampak saja.

Citra yang dimunculkan politisi di televisi akan dianggap sebagai  kenyataan. Padahal apa yang disajikan televisi hanyalah semu semata. Bagaimana seorang politisi bersikap tenang, tidak grusa-grusu (tergesa-gesa) sementara kenyataannya dia ”kejam”, tidak banyak yang tahu. Gerakan literasi media diharapkan bisa menyadarkan khalayak dan menjawab itu semua.

Apa yang harus dilakukan? Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya gerakan literasi media kepada televisi. Bagaimana mungkin televisi melakukan kampanye literasi media kalau televisi itu sendiri yang disorot? Memang tidak gampang melakukan gerakan literasi media. Sebenarnya, yang paling penting adalah dimulai dari bangku sekolah. Harus ada muatan kurikulum yang memberikan gerakan penyadaran akan bahaya tayangan televisi.

Masalahnya, tidak ada muatan kurikulumnya. Anak didik disibukkan dengan mata pelajaran yang tidak memberikan kelonggaran waktu selain belajar. Cara yang lain adalah terus melakukan gerakan literasi media di masyarakat. Gerakan seperti memboikot televisi atau mengurangi jam menonton televisi menjadi bagian gerakan ini. Cara ini sangat sulit dilakukan pada masyarakat awam. Sementara untuk kalangan terdidik lebih mudah karena berbagai saluran komunikasi bisa mereka akses. Hanya saja, kalangan terdidik juga tidak serta-merta sadar akan dampak negatif televisi.

Politik tetaplah politik yang di dalamnya penuh dengan kepentingan. Politik akan lebih berbahaya jika sudah berkoalisi dengan televisi. Televisi membutuhkan ingar-bingar politik untuk meramaikan tayangan, sementara politik membutuhkan saluran komunikasi untuk menciptakan citra dan kesan tertentu kepada masyarakat. Tak peduli apakah yang dilakukannya itu sebenarnya berguna bagi masyarakat atau tidak. (nurudin22@gmail.com)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya