SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (23/6/2017). Esai ini karya Heri Priyatmoko, dosen Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah heripri_puspari@yahoo.co.id.

Solopos.com, SOLO–Lebaran tinggal menghitung jam. Semua sibuk menyambut. Tak terkecuali barisan juru warta. Sejak memasuki Ramadan hingga Hari Raya Idulfitri, awak pers berjibaku menyuguhkan informasi kepada pembaca.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Para jurnalis rajin memantau harga pasar pada Bulan Puasa, melongok aktivitas ibadah di masjid, mengamati arus lalu lintas, memelototi terminal dan stasiun serta bandara, hingga mengupas persiapan para pemudik.

Puncaknya adalah jajaran redaksi pers mengucapkan ”selamat Hari Raya Idulfitri” kepada segenap pembaca. Itu menjadi tradisi. Muncul pertanyaan, sejak kapan ”tradisi” tersebut dikerjakan oleh tim redaksi media massa atau pers?

Berdasar penelusuran saya salah satu media massa yang melakukan itu adalah Harian Asia Raya. Redaksi pers ini beralamat di Yamoto Basi Kita Doori 5 Jakarta. Guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada, Bambang Purwanto (2013), memaparkan media ini merupakan sebagian dari simbol kekuasaan kolonial dan imperialisme Jepang di Nusantara seiring meledaknya Perang Dunia II.

Koran tersebut justru terbit dengan edisi ”Nomor Terachir” pada Jumat Paing, 7 September 2605 (1945), alias sehari sebelum Lebaran. Dalam edisi Asia Raya Minta Diri yang hanya terdiri hanya satu halaman itu tersembul alasan subjektif dan mendesak sehingga muncul keputusan menyudahi penerbitan Asia Raya.

Pemimpin Redaksi R. Sukarjo Wiryopranoto lewat kolom Kata Penutup membeberkan, Asia Raya yang mencerminkan suara rakyat Indonesia sekaligus corong pemerintah pendudukan Jepang menghadapi kesukaran memanggul tugas.

Mula-mula misi penerbitan Asia Raya bertali temali dengan impian bala tentara Dai Nippon dan bangsa Indonesia yang bergandengan tangan di medan perang Asia Timur Raya. Sebagai “saudara tua” dan “saudara muda”, mereka bersumpah sehidup semati di medan perang.

Tiba-tiba Jepang angkat tangan kepada tentara Sekutu lalu diikuti proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ini mengakibatkan relasi Indonesia dan Jepang berantakan. Buahnya adalah tak ada lagi yang harus disuarakan Asia Raya.

Selanjutnya adalah: Pada detik-detik koran tumbang….

Koran

Pada detik-detik koran tumbang, kaum jurnalis tak dihinggapi perasaan gulana. Mereka justru tegar. Para jurnalis Asia Raya tak larut dalam kepedihan. Mereka malah memanfaatkan suasana menjelang Lebaran untuk berpamitan sembari meminta maaf kepada para pembaca yang budiman.

Secara tidak langsung, sikap mulia redaksi ini makin mengatrol bobot suci perayaan Idulfitri dalam edisi perpisahan koran berharga langganan 7,50 gulden per tiga bulan itu.

Jajaran redaksi tampil kian arif manakala mengumumkan kepada pelanggan agar menarik kembali sisa uang langganan atau menyuruh pegawai administrasi Asia Raya menyalurkannya ke lembaga amal.

Artinya, niat mengemplang uang tak mampir di hati mereka, kendati kondisi kas perusahaan kering kerontang. Yang membikin kita terharu adalah redaksi masih menyempatkan diri menuliskan doa ”kebahagiaan pembaca serta kemajuan bangsa Indonesia dalam suasana perdamaian”.

Di pentas sejarah pers Indonesia, media massa atau pers pribumi yang pertama kali mengucapkan ”Selamat Hari Raya Idulfitri” dengan memakai bahasa Melayu adalah Doenia Bergerak. Koran yang dipimpin Mas Marco Kartodikromo ini mengucapkan ”selamat Hari Raya Idulfitri, 1 Syawal 1332 H.”

Pada Agustus 1914 bertepatan Syawal, Marco bersama pengurus Indlandsche Journalisten Bond (IJB) atau Perhimpunan Jurnalis Hindia, yang antara lain mencakup Sosro Koornia, Martodharsono, Siti Soendari, Darno Koesoemo, H.M. Bakrie, dan agen-agen Doenia Bergerak punya kepedulian besar terhadap pelanggan dan wong cilik.

Doenia Bergerak merupakan organ IJB yang melegenda di panggung sejarah Indonesia. Di surat kabar mingguan yang terbit tiap Sabtu itu, Marco menjabat sebagai redaktur, urusan administrasi dipegang oleh H.M. Bakrie, percetakan diserahkan kepada N.V. voorh H Bunning, Jogja.

Derap perjuangan memerangi kolonialisme dan ketidakadilan sosial ternyata tak menutup mata mereka untuk peduli terhadap perayaan hari yang suci itu, kendati usia koran belum genap setahun, tatanan redaksi belum mapan, dan manajemen perusahaan masih compang-camping.

Media massa yang lahir ceprot di tlatah Solo ini dihidupi dengan uang kas IJB yang diperoleh dari usaha para pengurus IJB. Uang yang terkumpul hanya cukup membiayai penerbitan selama tiga bulan. Pada edisi 28 Maret 1914, Marco menulis terbitnya Doenia Bergerak tergantung dari bumiputra, bukan sokongan pemerintah kolonial Belanda, pengusaha perkebunan, atau penguasa keraton.

Justru melalui Doenia Bergerak itulah para jurnalis menentang kekuasaan kolonial dan antek-antek Belanda. Semenjak edisi percontohan yang terbit pada 31 Januari 1914, Marco tampil penuh keberanian.

Selanjutnya adalah: Amat berat beban jadi wartawan…

Wartawan

Bagi Marco, amat berat beban jadi wartawan. Menilik kondisi zaman pada 1918, pemerintah kolonial Belanda dengan perangkat regulasi memberangus pers supaya para jurnalis tidak berani menulis sesuai realitas.



Kasus para buruh dikamplengi dan dieksploitasi oleh para toewan kebun yang berselingkuh dengan kekuasaan kolonial demi meraup keuntungan sebanyak mungkin tak boleh ditulis apa adanya.

Semakin lama undang-undang yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda kian mempersempit kemerdekaan pers pribumi. Ini menjadi batu ujian untuk menguji tekad kaum kuli tinta. Di situlah masyarakat luas dapat mengetahui wartawan yang suci dan yang palsu.

Agung Dwi Hartanto (2017) menyebut Marco dan IJB dianggap dapat membahayakan keamanan umum. Sekalipun dibatasi dengan aturan kolonial, sampai pertengahan April 1914 Doenia Bergerak terus memuat naskah garang menentang pemerintah kolonial Belanda maupun mengkritik tabiat para birokrat Hindia Belanda.

Marco kukuh dengan pendirinya, berani karena benar dan takut lantaran salah. Apakah enak merasakan Lebaran di rumah tahanan? Marco ternyata pernah berlebaran di penjara bukan gara-gara tertangkap aksi sweeping, korupsi duit negara, atau mengebom.

Marco dipenjara karena terkena delik pers gara-gara penanya kelewat tajam. Sewaktu umat Islam di Hindia Belanda menabuh beduk merayakan Idulfitri 1336 H, jurnalis cum tokoh pergerakan Indonesia ini meringkuk di balik jeruji besi. Penjara laksana rumah kedua selepas dirinya acap kalah di pengadilan.

Dia berkali-kali masuk bui karena alasan keren dan terhormat: membela wong cilik yang tertindas! Marco mati bukan disebabkan oleh senapan dan kelaparan, tapi gara-gara sengatan malaria di sebelah Barat Papua, di Boven Digul.

Kendati hidup merana, Marco memperjuangkan persamaan hak dan kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak semua manusia, hak semua bangsa, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar Indonesia yang lahir pada 1945. Muh Iqbal (2017) menyatakan perjuangan itu dikerjakan Marco dengan bahasa Melayu rendah yang tidak mengenal status dan kelas, sekaligus sebagai antitesis dari penggunaan bahasa Belanda yang elitis di Hindia Belanda.

Bahasa inilah yang akhirnya diterima segenap orang di Hindia Belanda. Marco dengan keterbatasannya dalam penguasaan bahasa Belanda justru ikut ambil bagian dalam menyebarluaskan bahasa Melayu di Hindia Belanda.

Pemikiran dan peranan wartawan dalam pergerakan Indonesia menjadi satu acuan bagi generasi masa kini. Sikap hidup, prinsip, keberanian, ketabahan mereka pada masa pergerakan harus menjadi inspirasi menciptakan kesadaran bertanah air dan berbangsa Indonesia dengan bahasa persatuan, bahasa kemanusiaan. Kini, giliran pembaca koran yang mestinya mengatakan ”selamat Hari Raya Idulfitri” kepada para jurnalis, para wartawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya