SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Heri Priyatmoko heripri_puspari@yahoo.co.id Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Heri Priyatmoko
heripri_puspari@yahoo.co.id
Alumnus Pascasarjana
Ilmu Sejarah
Universitas Gadjah Mada

 Jemu. Begitulah kata yang tepat untuk menanggapi perayaan hari ulang tahun Kota Solo. Di hari istimewa itu, dari tahun ke tahun, kita melulu membicarakan hal-hal terkait Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Seolah-olah Kota Bengawan sebagai ladang inspirasi sukar diceraikan dengan segala urusan yang menyangkut kedua institusi kekuasaan itu. Kebosanan dan rasa jemu layak muncul karena tak muncul gagasan anyar dan menyegarkan, kendati itu cuma gagasan yang sederhana.

Dalam menilai serta mengenang Kota Solo, kita jarang memakai perspektif orang luar [secara administratif tidak tercatat sebagai orang Solo, entah lahir maupun menetap]. Dengan meminjam pandangan orang luar, sesungguhnya kita bisa menemukan butir penilaian yang tak subjektif dan–meminjam istilah dalam ilmu sejarah—mendekati kebenaran.

Pengamatan sastrawan dan budayawan Umar Kayam (UK) cocok dihadirkan untuk mengenang Kota Solo yang tahun ini merayakan hari ulang tahun (HUT) yang ke-269. Dialah salah satu akademisi yang ikut mengibarkan dan mengukuhkan Solo sebagai ”kota keplek ilat”.

Kurang lebih selama 13 tahun (1935-1948) UK mengakrabi Solo serta berkesempatan menghayati suasana kota lengkap dengan isinya. Sampai usianya terbilang sepuh, UK masih dijerat kerinduan, dan yang paling mencolok ialah ihwal kuliner.

Sorotan sosiologis, analisis budaya, dan hasil cicipan lidah UK perihal makanan uenak di tlatah Solo bisa kita telusuri dalam buku-bukunya. Dilambari konsep ilmu sosial tidak ndakik-ndakik, pemahaman antropologi yang memadai, serta diikuti dorongan membangun rumah kenangan, menyebabkan pengamatan UK berbobot.

Bagi yang belum pernah menjajal kuliner Solo pasti dibikin penasaran. Pada titik inilah UK sebenarnya duta wisata kuliner Nusantara yang mumpuni. Kementerian terkait dan pemeritah daerah tak perlu repot-repot membayarnya.

Sang duta wisata kuliner ini hadir jauh sebelum Bondan Winarno mempromosikan kuliner Nusantara di televisi [UK memulai berpendapat soal kuliner di media massa pada akhir 1980an].

Sejatinya UK yang mencetuskan istilah maknyus guna mengekspresikan dan mendramatisasi kenikmatan suatu makanan yang dirasakannya. Terminologi maknyus dan nyus berhamburan dalam karangannya.

Selera adalah hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Keampuhan lidah UK menilai enak tidaknya suatu makanan sulit diragukan. Saking saktinya, Rama Y.B. Mangunwijaya menganugerahi UK gelar “si lidah cerdas”. Berikut ini jenis makanan yang digandrungi sekaligus dibicarakan UK.

Pertama, nasi liwet. Dalam buku kumpulan kolomnya, Mangan Ora Mangan Ngumpul (2012: 55), UK menyatakan: sega liwet Malioboro itu’kan tiruan Solo. Itu pun tiruan yang jelek. Tidak gurih, tanpa areh yang putih mumpluk ditaruh di atas sambel goreng jipang. Sing asli itu ya sega liwet Baki itu, Pak. Lha, kalo tindak Solo mau mencicipi itu di Keprabon…

Itulah opini UK menyoal klaim sejarah dan keotentikan nasi liwet. Makanan ini bukan berasal dari Kota Jogja, ”adiknya” Kota Solo. Sega liwet sebagai upaboga (pusaka kuliner) dan digemari UK itu dijadikan identitas kuliner Solo.

Kendati sama-sama dikerjakan tangan orang Jawa dan dimasak di pawon rumah Jawa, namun kelezatan sega liwet Solo tetap paling unggul di lidah UK. Kuliner ini bukan jenis makanan baru di kota “Surganya Hindia Belanda” ini.

Nasi liwet merupakan makanan klasik buatan tangan-tangan ahlinya, yaitu warga Baki, yang lestari hingga berabad-abad lamanya. Paku Buwana IX (1861-1893) pernah memborong nasi liwet demi memanjakan lidah dan mengenyangkan perut para pangrawit yang bersedia memainkan gamelan menghibur raja semalam suntuk.

Hingga detik ini, pagi dan malam, bakul nasi liwet dari Baki bertebaran menjajakan dagangan mereka. Fenomena ini membuktikan ada kesinambungan sejarah wirausaha kuliner nasi liwet, sama halnya sejarah wirausaha batik di Laweyan.

Perubahan zaman dan arus modernisasi tidak menenggelamkan eksistensi sepincuk nasi liwet. Dibantu dipromosikan media, kian hari nasi liwet kian diminati. Nasi liwet sukses bersaing dengan makanan yang dijual di restoran.

Nasi liwet merupakan kuliner Solo yang merobohkan sekat sosial (kaya-miskin), etnis (pribumi-nonpribumi), dan umur (tua-muda). Pembeli yang kaya pun bersedia mincuk dan nglesot di emperan toko, menikmati nasi liwet.

Kedua, gudeg. Sudah menjadi opini publik bahwa gudeg tersohor sebagai kuliner khas Kota Jogja, bukan kuliner khas Kota Solo. Tapi, di mata UK, gudeg di dua kota ini terus “bertarung”, menunjukkan kekhasan dan mempertahankan cita rasanya masing-masing.

UK menuntun kita menata dua piring gudeg vorstenlanden itu, hasilnya pasti lain. Yang keputih-putihan dan santannya agak kental adalah gudeg gaya Solo. Yang santannya cokelat tua kemerahan (kental sekali), medhok, dan rasanya manis lantaran gula Jawa berlebih merupakan ciri yang melekat pada gudeg Jogja.

 

Fungsi Spiritual

Gudeg malam di Margoyudan, Solo, punya fungsi spiritual. Yang dijual pagi gudeg untuk kesegaran jasmani, yang dijual malam gudeg untuk kesegaran rohani. Begadang sembari makan gudeg ceker mengundang inspirasi.

Makin malam, apalagi kian mendekati pagi, makin mengilhami wong Solo. Realitas gudeg ceker Margoyudan menegaskan bahwa Solo ialah ”kota yang tak pernah tidur”.



Bagi banyak orang di daerah lainnya, malam adalah saat rehat dan saat denyut ekonomi menjadi berjalan lebih pelan.

Lain dengan Solo, malam hari merupakan waktu mencari nafkah.

Bila ditelusuri lebih dalam, hal ini rupanya memiliki kaitan sejarah dengan perilaku masyarakat Solo tempo doeloe yang sering tirakat (jalan kaki) dan keluyuran pada malam hari lalu mampir di warung hik.

Ketiga, satai buntel. Ini kuliner maknyus, tapi sayang UK tidak menafsirkan asal usulnya. Berangkat dari hukum atau teori tantangan dan jawaban, manusia dipaksa berkreasi demi menyiasati sebuah kondisi, lalu menghasilkan sesuatu yang bisa dipakai menjawab tantangan tersebut, sebagaimana soal makanan.

Solo ditempeli gelar ”kota pensiunan”. Terminologi ini ada dalam roman yang mendeskripsikan keadaan Solo era 1950-an. Selepas memasuki masa pensiun, para pegawai birokrasi atau–meminjam konsep Robert van Niel—priayi modern memilih atau tetap di Solo untuk menghabiskan hari tua.

Alasan konkretnya, kota ini nguler kembang (warganya tidak grusa-grusu), harga kebutuhan relatif murah, sehingga terjangkau dengan uang pensiunan, dan tersedia segudang jenis makanan yang sesuai dengan isi kantong.

Para bekas birokrat itu terus melaju dengan gaya hidup priayi: urip nglaras, suka ngiras, dan keplek ilat. Budaya priayi telanjur masuk ke tulang sumsum. Rambut bersalin warna dan beberapa gigi sudah tanggal, sementara keinginan nyate tidak padam.

Kenyataan ini menimbulkan persoalan bagi mereka, sekaligus persoalan bagi pedagang. Selanjutnya, pedagang memutar otak supaya pembeli tidak lari dan tetap menyalurkan hasrat makan satai.

Pedagang berkreasi menggiling lembut daging dan dibungkus lemak kambing. Para pinisepuh pemuja kuliner tersebut bisa menyantapnya tanpa merisaukan daging yang alot. Tak perlu ngothot-othot daging dengan gigi, sebab satai jenis ini seakan tak melawan penikmatnya.

Cita rasa kuliner yang dikabarkan UK ke publik mampu memunculkan air liur, dan membuat publik tergoda untuk mencicipi sehingga dengan sendirinya mereka ikut memelihara upaboga.

Dengan mengabadikan hasil penjelajahan kuliner yang berkualitas itu, UK diam-diam telah mengembangkan etnografi kuliner dan sosiologi kuliner Indonesia, selain mengerek bendera Kota Solo.

Kajian kecil-kecilan yang dirintis UK ini tak menjemukan dan terasa makyus laksana tengkleng Solo bagi kaum intelektual yang menggeluti ilmu humaniora. Maka dari itu, masyarakat Solo harus berterima kasih kepada Umar Kayam, si lidah cerdas. Dirgahayu Kota Solo!

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya