SOLOPOS.COM - Gigih Wiyono Alumnus STSI (ISI) Solo Alumnus Program Pascasarjana ISI Yogyakarta Ketua Padepokan Seni Djayabhinangun Sukoharjo. (FOTO/Istimewa)

Gigih Wiyono
Alumnus STSI (ISI) Solo
Alumnus Program Pascasarjana
ISI Yogyakarta
Ketua Padepokan Seni
Djayabhinangun Sukoharjo. (FOTO/Istimewa)

Pameran seni rupa oleh staf pengajar seni murni Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, 6-13 Februari lalu, di Taman Budaya Jawa Tengah, Kentingan, Jebres, Solo atau Taman Budaya Surakarta (TBS), memunculan kontroversi sangat keras antara pengajar muda dan senior, bahkan merembet ke mahasiswa aktif maupun alumni.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pameran tersebut layak dikritik karena terkait dengan lembaga perguruan tinggi  yang semestinya memberi teladan yang mencerdaskan bagi mahasiswa maupun masyarakat secara luas. Karya-karya yang dipamerkan tidak maksimal. Pengajar mudanya cenderung arogan seolah jauh lebih mengerti kesenian dibanding siapa pun.

Hampir semua kritik dan saran dianggap tidak akademis dan kurang memahami konteks permasalahan. Pameran adalah tempat apresiasi yang multitafsir dan bukan tafsir tunggal seperti pengajar menilai karya mahasiswa. Mestinya kesempatan tersebut digunakan untuk  menyerap dan mendengar sebanyak-banyaknya masukan dari luar agar pameran berikutnya bisa diselenggarakan dengan lebih baik.

Tampilan karya yang asal-asalan dan tanpa kurasi di Galeri TBS yang semakin kumuh nyaris tanpa perawatan itu menumbuhkan rasa miris bagi yang melihatnya. Tema Ngebut Benjut! menjadi terasa naif dihadirkan nyaris tanpa konsep yang jelas. Bisa dimaklumi  ketika  ada  yang mengatakan  tema itu lebih layak untuk tema mahasiswa semester awal yang baru mengenal dunia seni rupa.

Untuk pameran besar rutin staf pengajar yang latar pendidikannya rata-rata magister seni, sungguh patut dikaji ulang dan dipertanyakan. Makna apa yang hendak disampaikan dalam pameran itu? Apa hanya untuk mencari nilai kredit dan menghabiskan anggaran? Berkarya seni itu memang bebas, tetapi bagi staf pengajar apakah tidak perlu etika dan  pertimbangan efek  psikologis terhadap peserta didik? Apakah tidak perlu lagi asas tema yang berkorelasi  dengan karya yang dipamerkan?

Apakah tidak perlu konsistensi  saat mengajar di kampus dengan saat berpameran? Bila hal ini terus terjadi, saya khawatir ISI Solo seperti menanam  bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Adakah hal ini disadari oleh pemangku kebijakan dan pengembangan kampus? Pertanyaan selanjutnya, ada apa sesungguhnya  dengan seni rupa ISI Solo?  Mengapa hal demikian bisa terjadi?

 

Perekrutan  dan Pengawasan

Sejauh yang saya ketahui, sejak 1991, ketika kali pertama masuk kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo (kini menjadi ISI Solo), telah terjadi pembohongan secara sistematis. Dalam brosur tercantum Jurusan Seni Lukis Strata 1 (S1), ternyata belum ada. Yang ada adalah Jurusan Teknik Kriya dan Tata Rupa Pentas, dan itu hanya sampai jenjang D3.  Calon mahasiswa baru dijebak masuk agar tidak lagi punya pilihan di akhir pendaftaran. Akhirnya banyak mahasiswa yang terpaksa kuliah pada jurusan yang bukan menjadi pilihan utama.

Hanya jenjang D3, namun anehnya beban mata kuliah dan bobot kualitas sederajat S1 karena dalam rangka menyiapkan untuk menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Artinya, sesungguhnya STSI telah dengan sengaja mengorbankan mahasiswa saat itu hanya sekadar untuk menjadi ISI dengan fasilitas kampus dan pengajar seadanya. Tekanan kuliah yang sangat berat memang mampu menghasilkan mahasiswa tangguh yang hanya lulus jenjang D3 tetapi kualitasnya sekelas S1.

Fakta tersebut bisa dilihat dan dibandingkan karya D3 STSI Solo—dulu–dengan S1 yang sekarang. Bisa disimpulkan bahwa mahasiswa seni rupa STSI Solo sesungguhnya hanya tumbal untuk mencapai pengakuan dan izin pemerintah untuk menjadi ISI. Tanpa seni rupa yang kuat, ISI tidak mungkin bisa dicapai. Namun, anehnya, setelah menjadi ISI justru perekrutan staf pengajar  tidak transparan, mungkin karena terdesak kebutuhan sehingga praktik KKN sulit dihindari.

Praktik tidak sehat inilah yang menyebabkan buruknya kinerja tenaga pengajar. Latar belakang pendidikan dan keahlian tidak sesuai dengan  mata kuliah yang diampu. Penyusunan kurikulum dan konten mata kuliah  yang tidak proporsional masih sering terjadi. Pemberian beasiswa untuk pengajar menempuh program pascasarjana hanya ajang mengejar status, tidak mengejar kualitas keilmuan yang signifikan sebagai modal utama mendidik secara profesional.

Pengajar yang idealis dan profesional justru disingkirkan. Anggota staf pengajar  yang jarang melihat pameran atau mengapresiasi karya seni menyebabkan seperti katak dalam tempurung. Bila ada mahasiswa yang kritis dibungkam, nilainya terancam, dipersulit kelulusannya, bahkan hak-haknya dikebiri dengan alasan yang mengada-ada.

Saran dan masukan dari alumni  diabaikan karena dianggap virus luar yang akan mengancam kemapanan. Namun, perlu disadari bahwa sesungguhnya keberhasilan institusi pendidikan bisa diukur melalui indikator kelulusan. Artinya, kiprah alumni di tengah masyarakat dengan sendirinya akan menggaungkan nama almamater. Atau sebaliknya, institusi yang hanya mencetak sarjana menara gading yang pintar berkicau menirukan pengajarnya.

Bukankah institusi pendidikan didirikan dengan maksud dan tujuan mencerdaskan anak bangsa dan bukan mencetak tukang, pesuruh apalagi kuli? Bagaimana mungkin pendidikan seni bisa melahirkan sarjana seni yang tangguh jika pengajarnya kurang berkualitas, yakni pengajar dengan model karbitan yang tidak memiliki pengalaman dan  diduga direkrut melalui unsur KKN.

Praktik demikian jelas melemahkan institusi di kelak kemudian hari sebab sejatinya dunia kesenian tidak bisa dilakukan melalui proses  instan. Tak ada fakta sejarah yang mampu menunjukkan seorang maestro seni yang menjalani hidup berkeseniannya  dengan cara instan. Perlu pengawasan kinerja staf pengajar secara ketat. Perlu pula kiranya ISI Solo membuka diri secara transparan untuk dikritik dan bisa terbuka menerima setiap masukan.

 

Menelanjangi Diri

Pameran dengan tajuk Ngebut Benjut! yang diusung staf pengajar seni murni ISI Solo sungguh sebuah potret buram yang menelanjangi diri sendiri. Dengan alasan dan retorika apapun sulit publik bisa menerimanya. Pengajar yang profesional merupakan pilar penyangga utama berdirinya institusi pendidikan dan seyogianya memberi keteladanan nyata bukan sekadar bisa memerintah mahasiswa. Alasan dan retorika  hanyalah mempertontonkan ketidaksiapan pengajar yang profesional di bidangnya.

Seorang jurnalis bernama William Arthur Ward menuliskan demikan: Guru yang biasa-biasa, berbicara. Guru yang bagus, menerangkan. Guru yang hebat, mendemonstrasikan.  Guru yang agung, memberi inspirasi. Saya meyakini sesungguhnya mahasiswa dan audiens menginginkan guru yang agung yang mampu menginspirasi dan bukan guru yang biasa-biasa yang hanya pandai berbicara. Namun, sejauh pengamatan saya sejak pameran dibuka hingga ditutup dengan diskusi tidak ada satu pun yang mampu menginspirasi.

Sepertinya ajaran para bijak mengenai kerendahan hati hingga bisa memahami kritik sebagai bentuk kepedulian dan rasa memiliki sedang  terlupakan. Dua puluh dua tahun menjadi bagian keluarga besar STSI hingga menjadi ISI bagi saya adalah sebuah  rentang waktu yang cukup panjang untuk mendewasakan diri dan merasakan pahit getirnya sebagai pelaku seni.

Tidak ringan mengemban amanat sumpah alumni dan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang selalu menjunjung tinggi nama baik almamater, berbakti kepada nusa bangsa dan mengabdi kepada masyarakat. Rasanya menjadi tidak relevan lagi untuk ditaati jika melihat realitas almamater yang dipenuhi orang yang tidak profesional. Suara alumni seperti angin yang menerpa arca bebatuan. Akankah kebanggaan selama itu terkikis karena melihat fakta dan realitas demikian? Kesadaran dan perubahan institusi yang mampu menjawabnya.

Tulisan ini tak hendak  mendiskreditkan siapa pun, hanya ingin menyampaikan pesan kepada  pemangku kepentingan institusi bahwa ada persoalan serius yang terjadi di seni rupa ISI Solo. Perlu transparansi dan pengawasan yang ketat agar kualitas ISI Solo bisa lebih baik. Koreksi, kritik dan saran disampaikan sebagai bentuk kepedulian alumni terhadap almamater, jauh dari kepentingan pribadi maupun kelompok yang haus pengakuan dan jabatan.



ISI Solo adalah institusi negeri yang  didanai uang negara,  tidak sepantasnya membuat kegiatan di luar tanpa konsep dan program yang jelas. Kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat jika dilakukan asal-asalan dan kurang berkualitas  akan  menjadi cermin buram yang tidak menguntungkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya