SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Heri Priyatmoko
Kolumnis Solo Tempo Doeloe
Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Menarik menyimak artikel Qomarun bertajuk Wisata Pelayaran Kuno Kota Solo (SOLOPOS, 6/2) yang merangkai serpihan fakta ekonomi bisnis lokal Solo yang berjaringan dengan dunia internasional di masa lampau.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gagasan megah yang bisa diunduh dari artikel anggota tim perumus Solo Creative City Network (SCCN) itu adalah ajakan membangun ekonomi kreatif berupa wisata pelayaran kota dengan memanfaatkan aspek artefak, psifak dan ekofak yang lahir dari rahim sungai, ibu dari peradaban.

Solo sebagai bekas kota bandar internasional kuno, yang memiliki banyak jejak prestasi peradaban masa lalu, layak dimunculkan kembali pada masa kini dengan berbagai sentuhan ecocultural design. Saya sadar betul bahwa untuk merealisasikan mimpi megah itu dibutuhkan upaya yang luar biasa karena menyangkut seluruh stakeholders kota dan satuan waktu yang mencapai hingga beberapa dasawarsa.

Tapi, cita-cita yang dituliskan dengan perspektif ekonomi tersebut saya kira terlampau muluk-muluk. Justru ajakan yang lebih mendesak untuk ditiupkan sekarang ialah menyuntikkan kesadaran masyarakat Kota Bengawan untuk mencintai sungai dan merekayasa air sungai menjadi sahabat sehingga tak menjadi laksana predator yang siap melumat penduduk kala hujan deras turun beberapa jam saja.

Banyak peradaban kota lahir dan dimulai dari sungai yang mengalir. Contohnya, Mesir dengan Sungai Nil, India muncul dari Sungai Gangga, dan Solo tumbuh dari bibir tempuran Bengawan Solo dan Kali Pepe. Sejarah merekam bahwa kota ini dari masa ke masa berkawan dengan sungai dan banjir.

Hadapilah peta coretan tangan di Babad Sala bertarikh 1900 dan atlas Kota Solo bertahun 1821 dan 1853 karya pemerintah kolonial Belanda. Simaklah. Di Jawa Tengah, Solo mungkin kota yang paling banyak dialiri sungai, yang membelah-belah wilayah. Tubuh mungil Solo digubet (dililit) Sungai Pepe, Sungai Kabanaran, Sungai Wingko, Sungai Premulung, Sungai Rahman, Sungai Jenes, Sungai Larangan dan Sungai Anyar.

Sewaktu memilih lokasi untuk ibu kota kerajaan yang baru, Toewan Hohendorf yang mewakili pemerintah kompeni mengusung kepentingan fungsional-ekonomis, sedangkan Tumenggung Hanggawangsa dan Adipati Pringgalaya sebagai utusan Sunan Paku Buwono berlandaskan pemikiran magis ketimbang rasional. Lantas, disepakatilah tempat pertemuan dua sungai yang menjadi jalur utama perdagangan abad XVIII sebagai lokasi istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Topografi wilayah yang rendah, dipenuhi rawa dan dalam belitan beberapa anak sungai ternyata tidak mampu membatalkan pilihan yang kadung dilaporkan kepada Sinuhun. Buahnya, semenjak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri pada 1746, banjir sering menyambangi, bahkan menjadi siklus tahunan.

Celakanya, satu setengah abad kemudian dan walau sudah dibangun ekologi kota modern, limpahan air sungai acap menerjang dan melumpuhkan semua aktivitas. Pemerintah tradisional dan petinggi kolonial serta warga segala kelas kalang kabut, kesulitan menangkis serangan banjir meski datangnya tidak secara tiba-tiba.

Kota digenangi air Bengawan Solo dari sebelah selatan ke timur sebanyak 2.000 meter kubik per detik. Kali Pepe meluap dan menggenangi kota dengan limpahan air 800 meter kubik per detik. Menurut Kuntowijoyo (2003), berita terpanjang yang ditulis koran awal dekade 1900-an ialah konstruksi kanal sepanjang lima kilometer  yang menghubungkan Kali Pepe dan Bengawan Solo. Keputusan dibuat pada 1902 melibatkan Kasunanan dan pemerintah kolonial Belanda.

Langkah itu diambil setelah melihat kenyataan bahwa pada permulaan 1902, air Kali Pepe membanjiri Kampung Kebalen, Mangkunegaran, Krapyak dan Balong.  Bulan berikutnya, kota dilanda banjir selama dua hari. Banjir juga melanda pemukiman Belanda di sekitar Benteng Vastenburg, Mangkunegaran menjadi seperti kolam. Pada 7 Februari 1903 dan 20-21 Desember 1903, Bengawan Solo kembali menggenangi kota, hampir sama dengan kejadian pada 1886. Hunian komunitas Eropa nyaris klelep dan air di perkampungan pribumi tampak lebih tinggi.

 

Anugerah

Drainase, mesin pompa air dan tanggul merupakan perangkat yang ditinggalkan penguasa tempo doeloe guna mencegah banjir tahunan. Namun, setelah Indonesia merdeka banjir tetap melibas penduduk. Yang paling parah, banjir 15-16 Maret 1966 yang mengakibatkan Kota Solo ”terkapar”. Hampir seluruh kota dilanda banjir dari Bengawan Solo. Selama dua hari hujan tanpa reda. Di saat warga sedang tidur, tiba-tiba tanggul Kusumodilagan, Semanggi, Demangan dan Cengklik dhadhal (jebol), tak kuasa menahan air.

Dalam tempo senam jam, Solo berubah menjadi lautan. Malam itu yang ada hanya jerit dan teriakan minta tolong yang sayup terdengar. Paginya, ketinggian air hampir menyaingi tugu jam kota di depan Pasar Gedhe yang tingginya tiga meter. Banjir menyapu semua perkantoran di kawasan Gladak (Kantor Bank BNI, Balaikota, Kantor Pos, Kantor Telepon) dan merontokan sektor ekonomi.

Hingga kini, banjir terus menghantui Kota Solo. Tampaknya Pemkot Solo dan warga memilih pasrah—dianggap sebagai sikap terbaik–daripada mengoreksi mentalitas masyarakat dan perilaku kaum berduit yang turut andil menggarap kota secara ngawur. Banjir seolah-olah dipupus sebagai takdir yang harus diterima dengan hati lapang.

Banjir bukan dipahami sebagai akibat tindak tanduk manusia yang ”memperkosa” lingkungan. Manakala banjir datang, hujan deras dan sungai sering dijadikan kambing hitam. Sebelum merealisasikan cita-cita setinggi bintang tersebut, sebaiknya Pemkot Solo bersama tim SCCN terlebih dahulu memikirkan problem mendasar dan menggagas strategi pemecahan yang berkorelasi dengan mimpi wisata pelayaran kota.

Jangan sampai sejarah berulang, yaitu banjir yang menenggelamkan masyarakat di era kerajaan malah dijadikan objek wisata kaum ”bangsawan” dengan naik perahu sambil menyebarkan udhik-uhdik (uang). Sembari menata kawasan sungai dan rajin resik-resik kutha, penting pula mengampanyekan mencintai sungai bukan sekadar soal lingkungan hidup, ekosistem dan banjir yang traumatik.

Mencintai sungai yang membelit tubuh kota adalah masalah keselarasan dengan alam. Ini harus dimaknani sebagai anugerah Tuhan yang teramat besar jasanya bagi Kota Solo (inspirasi seni, mata pencaharian, sarana berniaga dan ruang publik). Sungguh salah kaprah bila sungai menjadi asbak raksasa dan di tepian tanggul berdiri ratusan rumah.

Pemkot Solo juga harus berani tidak memberikan izin bagi kaum pemodal yang hendak membangun gedung bertingkat di daerah resapan air hujan di tengah kota karena kian hari kawasan resapan ini kian berkurang. Mimpi air sungai sebagai sahabat manusia mestinya didahulukan dan diwujudnyatakan karena ini menyangkut kehidupan orang banyak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya