SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (foto: istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (24/3/2018). Esai ini karya Aris Setiawan, etnomusikolog dan dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Alamat e-mail penulis adalah segelas.kopi.manis@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Bandung Mawardi lewat esai berjudul Konser Kelas Dunia di Pabrik Gula di harian ini edisi Rabu, 21 Maret 2018, mengajak pembaca mengenang kisah-kisah dan persoalan Pabrik Gula Colomadu pada masa lalu.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Judul tulisan tersebut mengarahkan pembaca untuk merenungi urgensi konser Hitman David Foster and Friends, namun arah pembahasan justru lebih banyak tentang narasi politik gula dan kolonial di negeri ini.

Di lembar dan rubrik yang berbeda (Halaman Pergelaran), harian ini memberitakan preevent konser musik tersebut dengan cukup jelas dan gamblang. Pabrik Gula Colomadu sedang berubah menjadi wahana wisata heritage dengan nama De Tjolomadoe.

Nama dengan ejaan lama tersebut seolah-olah menarasikan sebuah tempat yang kuno, etnik, tradisional, bahkan purbawi. Kita tidak tahu alasan-alasan di balik  penggunaan gaya ejaan lama tersebut. Setidaknya nama baru itu memang terkesan unik dan perlente.

Ambisi menjadikan Pabrik Gula Colomadu sebagai ruang berpentas memang patut diapresiasi. Terlepas apakah pentas tersebut memiliki keterkaitan historis yang pekat dengan persoalan gula atau tidak, dengan digelarnya berbagai acara memungkinkan masyarakat lebih mengenal dan mendekatkan diri dengan pabrik sebagai ruang publik dan identitas kawasan.

Jika mengikuti perkembangan arus seni pertunjukan di dunia, lokus-lokus pementasaan saat ini justru tidak lagi mandek di panggung-panggung prosenium yang cenderung kaku dan formal. Gejala seperti ini juga mulai terjadi di negeri ini.

Pergelaran musik jazz kini bertempat di gunung, pasar, danau, kampung, sawah, museum, atau tempat-tempat bersejarah lainnya. Di Solo, Benteng Vantemburg menjadi langganan berbagai forum seni pertunjukan. Benteng yang awalnya penuh dengan ilalang, kotor, dan wingit itu kemudian menjadi destinasi kunjungan yang menyenangkan.

Selanjutnya adalah: Senantiasa menaruh curiga dengan ambisi berpamrih…

Ambisi

Kita kemudian senantiasa menaruh curiga dengan ambisi-ambisi berpamrih di balik itu. Pergelaran dan forum pertunjukan tersebut senantiasa dilihat dalam konteks kepariwisataan atau dunia pelancongan dengan kalkulasi untung rugi secara ekonomi.

Kita jarang melihat konteks lain yang lebih penting, yakni sisi kultural, tentang menjaga warisan dan eksistensinya. Memang harus diakui bahwa masyarakat lebih tertarik untuk melihat artis yang datang mengisi acara dibanding menziarahi tempat pertunjukan sebagai monumen pengekalan sejarah.

Hal ini menjadi pekerjaan bagi pemerintah daerah agar panggung pementasan tidak terkesan berpindah tempat tanpa membawa nilai dan makna apa pun. Tulisan Bandung Mawardi di atas menjadi ruang mengingat bahwa sebagai tempat atau panggung pementasan Pabrik Gula Colomadu harus ditempatkan dalam bingkai cagar budaya yang penting.

Dengan digelarnya konser kelas internasional tidak menutup kemungkinan terjadi perilaku vandalisme dan perusakan, terlebih ribuan penonton dipastikan hadir. Yang menarik kemudian untuk dicermati adalah apakah konser Hitman David Foster and Friends tersebut mampu menjadikan Pabrik Gula Colomadu sebagai  ruang alternatif bagi seniman lokal (Solo dan sekitarnya) dalam berkekspresi seni, terutama musik?

Jika kita cermati ulang, selain Solo Jazz Society, kita tidak menjumpai artis lokal yang terlibat. Harian Solopos edisi Kamis, 22 Maret 2018, memberitakan artis-artis yang bakal tampil adalah Brian McKnight, Anggun C. Sasmi, Inov Spades, Sandhy Sondoro, Dira Sugandi, Yura Yunita.

Pabrik Gula Colomadu yang berada di wilayah Kabupaten Karanganyar hanya akan menjadi tuan rumah atau tempat hilir mudik artis-artis internasional dan ibu kota kian membesarkan nama dan eksistensi. Artis-artis musik lokal berpentas di lorong-lorong kampung dan panggung-panggung hajatan khitanan dan pernikahan.

Bandung Mawardi dengan tuntas menjelaskan nilai-nilai historis penting di balik bangunan Pabrik Gula Colomadu. Pabrik tersebut tidak saja menarasikan tentang persoalan politik dan ekonomi, tapi juga kemanusiaan, kolonialisme, dan harga diri.

Selanjutnya adalah: Melekatkan seperangkat memori historis tentang masa lalu…

Memori historis

Beruntung kita masih dapat melekatkan seperangkat memori historis tentang masa lalu lewat puing-puing dan bangunan pabrik yang masih ada hingga kini. Kita dapat berharap banyak pementasan Hitman David Foster and Friends menjadi awal bagi terbentuknya komunitas masyarakat seni pertunjukan yang sadar sejarah.

 

Setidaknya Pabrik Gula Colomadu harus diperlakukan secara berbeda, tidak semata-mata ruang pentas tapi juga warisan berharga yang monumental. Kendati menuai banyak kritik, pementasan Hitman David Foster and Friends dapat dibaca dalam perspektif yang berbeda.

Pabrik gula dengan nilai-nilai historis tradisional harus menjadi ruang bagi artis-artis terkemuka yang mendamba laku modernitas. Pementasan mereka barangkali terlihat unik dan nyleneh sebagaimana ketika jazz dipertunjukkan di gunung dan kampung-kampung.

Apakah hal tersebut semata-mata sebagai euforia sesaat karena mengikuti tren dan akan hilang seiring zaman yang semakin berubah untuk menemukan ruang-ruang panggung pentas baru? Sebagai area panggung pentas, Pabrik Gula Colomadu memiliki daya tarik tersendiri.



Kita layak berharap ruang itu kemudian tidak menjadi eksklusif, sulit diakses, atau semakin menjauh dari kultur masyarakat akar rumput. Kita juga patut mengapresiasi panitia yang menggelar berbagai diskusi sejarah dan budaya sebelum acara inti pementasan Hitman David Foster and Friends digelar.

Dari diskusi tersebut diharapakan dapat menarik banyak masukan bagi perkembangan dan kelanjutan eksistensi pabrik itu ke depan. Tentu saja kepentingan-kepentingan kapitalistis tak dapat dilepaskan, tapi setidaknya kita dapat berharap sisi-sisi kultural dan pengingatan pabrik sebagai identitas kawasan dapat kembali dihidupkan.

Pada masa depan barangkali bukan pertunjukan musik pop saja yang dapat kita lihat, tapi juga konser-konser musik tradisional gamelan yang secara rutin digelar atau komunitas-komunitas musik indie di Solo dan sekitarnya.

Keberadaan De Tjolomadoe semakin menambah sesak ruang pentas di Solo dan sekitarnya. Di satu sisi kita patut bersyukur bahwa kita menjumpai banyak pilihan ruang baru panggung pentas selain yang sudah ada seperti Taman Budaya Jawa Tengah di Solo atau Taman Budaya Surakarta, Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Benteng Vastemburg, Balai Soedjatmoko, dan Rumah Banjarsari.

Di sisi lain hal tersebut justru terlihat banal karena semakin banyak ruang pentas yang tak diimbangi dengan semakin berkembangnya iklim berkesenian di Kota Solo dan sekitarnya.

Panggung-panggung pentas kemudian hanya menjadi “ruang singgah” bagi artis-artis kenamaan, dan sekali lagi, kita hanya menjadi tuan rumah yang baik, tak mampu menjadi lakon di wilayahnya sendiri. Aduh!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya