SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Albertus Rusputranto PA
Dosen Institut Seni
Indonesia (ISI) Solo
Bergiat di Forum Pinilih. (FOTO/Istimewa)

[….] kota-kota yang ada kini, pada dasarnya adalah desa agraris yang mengalami aglomerasi yaitu proses pemadatan (intensifikasi) dan perluasan (ekstensifikasi) yang menggerombol. Desa yang memadat dan hanya bisa sedikit membesar kini dikenal sebagai kampung kota. [….] Kini kawasan perumahan ini menjadi kampung

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

dan profesi penghuni sebelumnya ”disimpan”

pada nama kampung.

Ekspedisi Mudik 2024

(Johan Silas)

 

 

Kutipan di atas diambil dari artikel Johan Silas yang diterbitkan dalam bungai rampai tulisan tentang sejarah kota-kota di Indonesia, yaitu Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan, 2005, Penerbit Ombak, Yogyakarta. Keseluruhan artikel Perjalanan Panjang Perumahan Indonesia dalam dan Sekitar Abad XX ini mengkaji tentang pertumbuhan perumahan di kota-kota di Indonesia yang umumnya lebih memilih menciptakan sebuah kompleks perumahan daripada menata kawasan pemukiman (kampung) yang sudah ada.

Pada awal dekade 1980-an pemerintah menjadikan pengadaan perumahan sebagai proyek nasional. Salah satunya, sebagai contoh, dibuatnya perumahan nasional di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Solo, di sebuah kawasan persawahan tadah hujan yang konon kurang produktif. Semenjak itu kompleks perumahan menjamur, tumbuh di mana-mana.

Dan sekarang, di antara banyak kompleks perumahan yang dibangun, yang paling subur bertumbuh justru di tanah-tanah ”bekas” persawahan produktif. Menggantikan ratusan ribu ton gabah hasil panen padi. Pengadaan perumahan bukan hal baru di negeri bekas jajahan Belanda ini, apalagi di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pengadaan perumahan bagi warganya, khususnya warga kelas satu (Belanda-Eropa), membangun kompleks-kompleks perumahan. Dan kompleks-kompleks perumahan tersebut dibedakan dengan kawasan permukiman yang sudah ada sebelumnya yaitu kawasan perkampungan.

Masyarakat menengah di zaman keemasan pemerintah kolonial Hindia Belanda berusaha sebisa mungkin membuat garis pemisah antara mereka yang bermukim di kawasan perumahan dan orang-orang kampung. Usaha mensterilkan pergaulan mereka ini bisa dilihat dari ungkapan yang populer di kalangan mereka: jangan bergaul dengan orang-orang kampung. Sebuah nasihat yang dipercaya ”bijak” saat itu dan masih terwariskan tuahnya hingga seakarang.

Pemisahan kawasan permukiman ini ternyata bukan persoalan fisik belaka tetapi juga mengimplikasikan persoalan yang lebih pelik, diskriminasi secara politik, sosial, kebudayaan dan akhirnya sampai pada persoalan estetika. Tentu kita masih sering mendengar, bahkan mungkin dari beberapa kita masih sering mengucapkan, istilah ”kampungan”.

Istilah ini menstigma keadaan, sifat atau perilaku yang dianggap lebih buruk, kurang beradab atau mengganggu. Ini setara dengan stigma ndesa. Seakan-akan apa saja yang datang dari kebudayaan kota baik adanya, dan apa-apa saja yang dianggap kurang baik, yang terjadi di kota, dianggap berasal dari kampung (kampungan) dan desa (ndesa). Padahal pada banyak kasus, kampung dan desa justru merupakan penopang utama kehidupan kota. Sejak sebelum zaman kolonial hingga sekarang.

Stigma tersebut sampai sekarang masih subur bertumbuh di tengah-tengah masyarakat. Mitos ini terkukuhkan bukan hanya karena orang-orang ”berkebudayaan” kota saja yang menstigmakan tetapi juga karena orang-orang yang distigma, yang ”berkebudayaan” kampung, menyetujuinya. Seperti halnya kebanyakan dari kita percaya bahwa orang-orang Eropa–dan Amerika–lebih unggul dalam segala bidang, lebih beradab, dibandingkan kita. Tapi apakah benar mitos tersebut, bahwa kampung dan desa memang lebih rendah peradabannya dibandingkan kota? Tentu tidak.

Hubungan antarwarga di kampung, sebagai desa yang memadat dan sedikit membesar, cukup akrab. Mereka relatif masih punya waktu untuk saling menyapa dan sedikit banyak memikirkan bagaimana bisa selalu hidup nyaman dan aman di kampung yang mereka tinggali. Kepedulian mereka pada kampung yang ditinggali diwujudkan pada berbagai hal yang menurut mereka adalah upaya untuk menjamin rasa nyaman dan aman tinggal di kampung, baik itu pada persoalan fisik kampung (selokan, jalan setapak, pos ronda dan sebagainya) maupun yang nonfisik (misalnya kontrol sosial).

 

Persoalan Kota

Kepedulian ini kadang-kadang, di kampung-kampung yang terlalu kuat kontrol sosialnya, justru mengganggu privasi masing-masing warga. Namun, juga sebaliknya, kalau terlalu longgar juga tidak akan bisa menjamin rasa aman dan nyaman bagi warga yang tinggal di dalamnya. Kampung adalah penopang kota. Asalkan komunalitas warga dan rasa wilayah terjaga dan terkelola dengan baik maka kebutuhan warga untuk bisa hidup, berkehidupan dan berpenghidupan di kota secara egaliter, nyaman dan aman bakal terpenuhi. Komunalitas dan rasa wilayah inilah modal dan sekaligus roh kampung.

Sayangnya justru dua modal inilah yang sekarang di sebagian kampung di perkotaan relatif memudar. Padahal saat komunalitas dan rasa wilayah ini hilang maka saat itu pula kita kehilangan kampung. Dan saat kita kehilangan kampung maka, seperti yang sudah terjadi di beberapa kota besar di negeri kita, saat itu pula kota berubah menjadi rimba raya: hanya yang kuatlah yang menang!

Komunalitas dan rasa wilayah pada masyarakat kampung adalah solusi persoalan-persoalan kota. Seandainya setiap warga di kampung merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap wilayah kampung, dan demikian pula di setiap kampung di wilayah perkotaan, niscaya kota akan terkelola dengan baik. Pemerintah kota dimudahkan dalam mengelola wilayah administratifnya. Rasa wilayah dan komunalitas membuat kampung bisa menata wilayahnya dengan lebih manusiawi. Mereka—pemerintah dan warga kampung–bakal mempertimbangkan kemaslahatan bersama dalam pengelolaan kampung. Dengan demikian kasus-kasus perebutan ruang publik dengan alasan ”perut” dapat diminimalisasi sebab semuanya sudah diatur dan disepakati bersama dalam forum-forum kampung.

Tidak semua ruang harus bernilai ekonomis, seperti yang marak terjadi sekarang, dan hanya dengan rasa wilayah pengelolaan ruang ini bisa dilakukan. Kampung mempunyai kewenangan untuk mengaturnya, membagi-bagi peruntukan ruang-ruang wilayah sebagai ruang permukiman, ruang ekonomi, ruang kegiatan bersama, ruang pendidikan dan sebagainya.

Kampung dengan rasa wilayah mampu mencegah dan mendeteksi ancaman-ancaman bencana yang mungkin terjadi, misalnya banjir dan atau kegerahan yang disebabkan oleh pembangunan kota yang tidak ekologis, wabah penyakit dan sebagainya. Kampung dengan rasa komunal mampu menangkal gangguan-gangguan keamanan, setidaknya bagi warga yang tinggal di dalamnya.

Kampung secara sederhana merupakan medan tarik ulur kepentingan antara yang pribadi dan yang publik. Potensi konfliknya pun besar. Namun, sebuah kampung yang otonom (yang mampu mengelola dirinya sendiri) biasanya mempunyai mekanisme penyaluran konflik yang baik, sehingga kemungkinan terjadi konfrontasi frontal antarwarga bisa diminimalisasi.

Saluran konflik ini bisa bermacam-macam bentuknya, di antaranya adalah bentuk-bentuk olahraga dan kesenian populer. Baik yang dikerangkai dalam permainan-permainan (olahraga sebagai permainan yang dilakukan di pelataran, lapangan kecil atau di jalan setapak kampung), aktivitas kesenian yang sederhana dan populer dan atau berbagai bentuk festival kampung.



Kemandirian kampung inilah yang memunculkan stigma ”kampungan” sejak zaman kolonial hingga sekarang. Mereka dimarginalkan oleh kekuasaan–termasuk kuasa budaya, estetika mainstream dan pasar (ekonomi)–karena wilayah budaya ini, kampung, mandiri secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kemandirian ini sering kali dirasa berbahaya bagi pihak-pihak empunya kuasa sebab membuatnya sulit untuk dikuasai dan dikontrol.

Jadi, setelah ini apakah kita masih akan menyimpan stigma kampung dan ”kampungan” sebagai kekurangberadaban? Apakah warisan kolonial yang diskriminatif ini masih akan kita uri-uri? Kampung yang tumbuh karena komunalitas dan kuatnya rasa wilayah setiap warganya setidaknya lebih beradab dibanding pengukuran pertumbuhan kota yang didasarkan pada hitungan-hitungan ekonomi semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya