SOLOPOS.COM - Warga melintas di depan mural karya seni mural di Jl. Gatot Subroto (Gatsu), Solo, Kamis (26/10/2017). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (9/11/2017). Esai ini karya Andi Setiawan, pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah andisemar@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Akhir bulan lalu, tepatnya pada 28-29 Oktober 2017,  diadakan acara bertajuk Solo is Solo yang berupa program pembuatan gambar-gambar mural di dinding ruang publik di Kota Solo, tepatnya di daerah Singosaren.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Merujuk pada informasi yang disampaikan otoritas di Pemerintah Kota Solo, kegiatan ini bertujuan menciptakan destinasi wisata baru di Kota Solo dengan membangun brand galeri mural street art.

Acara tersebut dikatakan akan mampu mengintegrasikan kesenian ke dalam kehidupan masyarakat sehingga mempunyai dampak positif terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

Acara yang melibatkan lebih dari 100 orang seniman mural tersebut, menurut koordinator acara, merupakan bentuk edukasi terhadap kaum muda tentang perilaku vandalisme sekaligus membangun partisipasi publik dalam pembangunan kota.

Jika ditarik dari perspektif lain, apakah segala klaim yang diutarakan oleh pemerintah kota dan penggagas acara tersebut bisa dibenarkan? Tulisan ini mencoba melihat kegiatan tersebut dari perspektif kajian pengembangan kota.

Perspektif kajian pengembangan kota menunjukkan ironi dan bahaya yang mungkin bisa muncul, serta memberikan alternatif model kegiatan berkesenian di ruang publik yang lebih berkelanjutan.

Selanjutnya adalah: Dalam sejarah street art

Sejarah

Dalam sejarah street art, Roger Gastman dan Caleb Neelon dalam buku The History of American Graffiti mengatakan graffiti dan bentuk street art lainnya seperti cetak stensil dan mural memasuki momentum baru pada dekade 1970-an hingga 1980-an.

Itu merupakan masa ketika kaum muda perkotaan mulai merespons situasi sosial dan politik di sekitar mereka dan menyerukan sebuah ”perlawanan yang lebih bermakna” melalui aktivitas street art.

Dari titik itulah kemunculan street ar ttidak bisa dipisahkan dari agenda sosial maupun politisnya. Lanskap dunia saat itu merupakan tempat kapitalisme mencengkeram semakin kuat, terlebih di perkotaan, membuat ruang-ruang publik kota menjadi komoditas.

Siapa yang bermodal kuat akan mampu menguasai ruang. Ruang publik akhirnya diisi dengan aneka ragam iklan komersial yang menyuburkan konsumerisme. Street art sejatinya muncul untuk merebut ruang-ruang tersebut.

Street art menjadi media untuk menyampaikan protes dan koreksi melalui ekspresi tulisan dan gambar sekaligus mendekatkan kesenian kepada rakyat miskin kota yang tidak punya kuasa untuk mengis iruang-ruang tersebut.

Spirit ini terus berlanjut hingga perkembangan kontemporer saat ini melalui karya-karya seniman street art semacam Bansky atau Ron English. Apa yang terjadi di Singosaren sebetulnya adalah sebuah ironi. Street art yang lahir dengan semangat perlawanan terhadap kapitalisme di sini justru dijadikan sekadar sebagai komoditas dan dijual untuk menarik wisatawan.

Selanjutnya adalah: Ini adalah praktik komodifikasi kesenian…

Komodifikasi

Ini adalah praktik komodifikasi kesenian. Kesenian yang semakin melayani pasar. Kondisi ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari kerangka konsep pembangunan Kota Solo sebagai destinasi wisata budaya.

Konsep yang merupakan turunan konsep kota kreatif ala Richard Florida (urbanis dari Amerika Serikat) yang terbukti gagal dan banyak menuai kecaman di dunia internasional. Budaya dalam hal ini kesenian hanya dijadikan dagangan untuk dikapitalisasi.

Arah pembangunan kota yang demikian jelas mengarah pada neo-liberalisme ekonomi. Kebijakan kota cenderung lebih untuk melayani kelas pemodal yang dalam kasus ini para pengusaha yang menguasai insfrastruktur wisata urban, seperti hotel, kafe, restoran, dan pusat perbelanjaan.

Tujuannya adalah agar investasi mereka di sektor pariwisata bisa tetap menguntungkan. Suplai wisatawan harus dijaga. Proyek pembuatan galeri street art ini sesungguhnya semata-mata merupakan alat untuk menjaga suplai wisatawan.

Lantas apa yang dinikmati warga kota yang lain? Secara teori, Florida mengatakan akan terjadi surplus ekonomi dari pembangunan zona kreatif tersebut yang nantinya akan dinikmati seluruh warga kota. Benarkah? Ternyata tidak.

Pengalaman Kota London mencatat bahwa berbagai fasilitas di zona kreatif akhirnya hanya dinikmati oleh konsumen, yaitu wisatawan dan kelas kreatif, meninggalkan warga miskin tetap di pinggiran. Jadi boleh dikatakan porsi terbesar dampak ekonomi yang dihasilkan hanya dinikmati oleh pemilik modal yang menguasai insfrastuktur wisata tadi.

Selanjutnya adalah: Semakin ironis ketika dibiayai pemerintah

Ironis

Semakin ironis ketika program tersebut dibiayai oleh pemerintah kota melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah yang jelas merupakan dana publik yang dihimpun dari seluruh warga kota.

Dampak lain proyek semacam ini adalah mendorong terjadinya gentrifikasi (alih kepemilikan ruang). Area kota dengan gambar mural tentunya akan menarik wisatawan. Hal ini mendorong naiknya nilai ekonomi ruang di daerah tersebut. Sebuah kapitalisasi ruang.

Yang terjadi selanjutnya toko dan usaha kecil di kawasan tersebut akan tergusur dan berubah menjadi pusat atraksi atau pertokoan baru milik para investor bermodal besar. Proses alih kepemilikan ruang semacam ini merupakan ancaman serius bagi kota di seluruh dunia.

Gentrifikasi semacam ini mengakibatkan ruang publik akhirnya terprivatisasi dan menciptakan lingkugansosial yang tidak lagi inklusif.

Apakah potensi mural yang secara faktual memang ada di Kota Solo harus diabaikan? Tentu saja tidak. Justru harus dikembangkan, tetapi sebaiknya pemerintah kota bersama para aktvisnya menggunakan pendekatan bottom up.



Salah satu kekuatan street art adalah kemampuan dalam memperkuat relasi sosial sebuah kawasan. Syaratnya adlaah  kegiatan tersebut dilakukan sendiri oleh penghuni dan bukan oleh seniman luar yang hanya diberi tuga mempercantik kawasan itu.

Selain itu, tujuan pembuatan mural bukanlah untuk komoditas wisata, tetapi lebih sebagai ekspresi dan artikulasi warga atas persoalan kota mereka. Bisa pula merupakan usaha pelestarian nilai dan identitas budaya warga. Jika toh akhirnya dinikamati wisatawan itu hanya dampak turunan.

Selanjutnya adalah: Mewajibkan partisipasi yang sebenarnya

Partisipasi

Pendekatan bottom up juga mewajibkan adanya partisipasi yang sebenarnya. Bukan partisipasi semu elitis seniman saja, akan tetapi partisipasi warga penghuni kawasan, pemilik usaha, atau komponen warga lainnya (anak sekolah, pedagang kaki lima, tukang becak, dan lainnya).

Proses partisipasi bisa dimulai dengan diskusi tema apa yang ingin diangkat, gambar apa yang dipilih, hingga teknik visualisasi apa yang akan digunakan. Termasuk mungkinkah secara teknis warga terlibat pengerjaannya.

Tema yang diangkat bisa saja representasi lokalitas, misalnya tentang peran tokoh lokal, sesepuhwarga, ketua rukun tetangga,  atau bahkan pedagang bakso yang berkeliling di kawasan tersebut.

Pengembangan street art juga tidak perlu dilokalisasi, tetapi biarlah tumbuh di kawasan yang memang punya agenda, potensi, dan keinginan untuk mengembangkannya. Itu lebih genuine dan lebih berkelanjutan.



Dengan konsep demikian ini warga jelas akan merasa ikut memiliki sehingga akan menjaga bahkan mengembangkan secara swadaya di lingkungannya. Sejatinya street art adalah bentuk perayaan keseharian warga kota.

Pengembangannya tidak boleh mengabaikan peran warga karena itu representasi suara mereka. Mural yang baik bukan dibuat atas pesanan pemerintah, tetapi oleh warga. Secara lebih luas, kesenian seharusnya berada di sisi kelompok yang lemah dan terpinggirkan.

Seni jalanan seharusnya nyaman dengan aksi gangguan dan harus selalu mengganggu kenyamanan. Bukan justru berakrab ria dengan kekuasaan sertat unduk pada modal. Bukan pula menjadi bahan bakar gentrifikasi serta proses eksklusi sosial perkotaan.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya