SOLOPOS.COM - Riwi Sumantyo

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Senin (11/9/2017). Esai ini karya Riwi Sumantyo, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah riwi_s@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO — Berita tentang Saracen, kelompok yang diduga sebagai salah satu pelaku penyebarluasan konten hoaks, mengagetkan kita semua. Hoaks atau berita bohong (fake news) yang akhir-akhir ini ditengarai menjadi penyebab timbulnya intoleransi dan disharmoni antarwarga masyarakat ternyata penyebarannya sengaja dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Fenomena ini memunculkan kekhawatiran pada hampir semua elemen bangsa ini karena berpotensi mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindak lanjut kepolisian mengungkap aktor intelektual, termasuk pemesan konten hoaks yang berisi ujaran kebencian, sekarang menjadi sesuatu yang ditunggu seluruh elemen bangsa ini.

Perkembangan teknologi, terutama teknologi digital, menampilkan dua wajah yang saling bertolak belakang. Di satu sisi hal ini menjadi wahana yang mempermudah kita semua saling berinteraksi dan berbagi pesan positif. Di sisi lain bisa menjadi sarana untuk mengadu domba dan menanamkan bibit kebencian kepada pihak lain.

Perkembangan teknologi digital yang salah satunya ditandai dengan maraknya penggunaan media sosial menjadi ladang bisnis baru bagi pihak-pihak yang memang kreatif mengolahnya. Kegiatan yang bernilai ekonomis bisa dilakukan terhadap hal-hal yang berbau positif dan edukatif sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Tidak sedikit yang melakukannya dengan mengabaikan etika demi mengeruk keuntungan finansial semata. Hal inilah yang sepertinya dilakukan Saracen. Kelompok ini diduga membuat ribuan akun di media sosial yang menjadi ujung tombak penyebarluasan berbagai macam isu, terutama yang provokatif, sesuai keinginan pemesan.

Selanjutnya adalah: Modus yang mereka gunakan adalah menawarkan proposal…

Menawarkan Proposal

Modus yang mereka gunakan adalah dengan menawarkan proposal kepada berbagai pihak dengan harga yang fantastis. Satu proposal ditawarkan dengan harga Rp75 juta hingga Rp100 juta. Mereka pintar membaca ”peluang bisnis” dengan menyasar berbagai peristiwa politik terutama momentum pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, serta peristiwa politik lain yang menyita perhatian masyarakat.

Bisa juga dilakukan untuk membunuh karakter seseorang yang dianggap sebagai kompetitor kuat dalam bisnis dan politik. Tindakan yang dilakukan Saracen atau kelompok sejenis memunculkan wacana tentang komodifikasi hoaks.

Hoaks adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengar agar memercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita itu palsu atau tidak benar adanya. Begitu berita dimunculkan, penyebarannya akan menjalar sangat cepat lewat Facebook, Twitter, blog, akun media sosial lainnya, dan yang marak akhir-akhir ini melalui berbagai grup Whatsapp.

Masyarakat Indonesia sampai saat ini seolah-olah masih terpolarisasi akibat peristiwa politik pemilihan presiden pada 2014. Ketegangan belum reda, ancaman konflik sosial muncul akibat pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.

Saat ini partai politik dan para tokoh sedang mempersiapkan diri menghadapai agenda politik besar yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden yang rencananya akan digelar secara serentak pada 2019.

Selanjutnya adalah: Penangkapan beberapa orang pendiri Saracen…

Pendiri Saracen

Penangkapan beberapa orang yang diduga menjadi pendiri kelompok Saracen tentu melegakan kita semua. Kita berharap pengungkapan kasus ini tidak berhenti sampai di sini, tetapi benar-benar dilakukan secara komprehensif agar keharmonisan masyarakat kita tetap terjaga.

Yang menarik adalah ternyata pemanfaatan media sosial untuk kepentingan politik bukan merupakan kasus unik yang hanya ada di negara kita. Hal serupa bahkan terjadi di negara adidaya seperti Amerika Serikat.

Kontestasi pemilihan presiden Amerika Serikat antara Donald Trump melawan Hillary Clinton tidak terlepas dari faktor tersebut. Donald Trump, sosok yang sangat kontroversial, bahkan sebagian pihak menganggapnya rasis, di luar dugaan berhasil memenangi kontestasi tersebut.

Selain faktor keinginan masyarakat Amerika Serikat terhadap perubahan, kekalahan Hillary Clinton diduga akibat ”campur tangan” Rusia yang memanfaatkan penggunaan media sosial untuk membunuh Hillary Clinton.

Menarik kalau kita merujuk apa yang yang disampaikan intelektual sekaligus budayawan, Goenawan Soesatyo Mohamad, dalam pidato penerimaan anugerah Parasamya Anugraha Dharma Kriya Budaya atau Universita Sebelas Maret Award yang disampaikan pada acara perayaan dies natalis ke-41 Universitas Sebelas Maret pada 11 Maret 2017.

Dalam pidatonya Goenawan Mohamad menggunakan istilah pasca-kebenaran atau posttruth untuk mendeskripsikan fenomena yang berkembang di masyarakat akhir-akhir ini. Istilah posttruth ini kali pertama diinisiasi oleh drawaman Amerika Serikat keturunan Serbia bernama Steve Tesich pada 1992.

Pada 2004, Ralph Keyes membahas lebih dalam di bukunya yang berjudul The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Cintemporary Life. Istilah tersebut kemudian menjadi wacana global bahkan kemudian dinobatkan sebagai word of the year pada 2016 oleh Oxford Dictionaries.

Selanjutnya adalah: Keadaan ketika daya tarik emosional lebih berpengaruh…

Daya Tarik Emosional

Post-truth adalah kata sifat yang berarti suatu keadaan ketika daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang objektif. Argumentasi ini bukanlah tanpa alasan. Apabila kita tarik ke belakang, dinamika dunia Internet lima atau 10 tahun lalu sangatlah berbeda dengan sekarang.

Dulu Internet bersifat tekstual, sangat terdesentralisasi, penuh dengan informasi dan pengetahuan yang kaya dengan materi maupun latar belakang yang beragam. Membaca Internet lima atau 10 tahun lalu seperti membaca buku di perpustakaan yang komplet.

Saat ini, Internet telah didominasi oleh media sosial. Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp telah menggantikan blog. Pamor media sosial semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna platform tersebut. Hal ini mendorong lahirnya efek positif pada eksternalitas jaringan media sosial. Setelah titik kritis terlampaui, tidak ada pilihan lain bagi suatu platform selain menjadi lebih besar lagi.

Menurut lembaga riset E-Marketer, sampai akhir 2016 jumlah pengguna Internet di negara kita sekitar 102,8 juta orang. Indonesia merupakan negara peringkat keenam di bawah Tiongkok, Amerika Serkat, India, Brasil, dan Jepang dalam jumlah pengguna Internet.

Jumlahnya diprediksi menjadi 112,6 juta orang sampai akhir tahun ini serta akan menempatkan Indonesia di peringkat kelima di dunia menggeser Jepang. Pertumbuhan penetrasi Internet yang sangat cepat ini menjadi daya tarik yang luar biasa dari berbagai pihak untuk mengais keuntungan ekonomi melalui bisnis yang legal maupun lewat cara ilegal seperti apa yang dilakukan kelompok Saracen.

Kelompok seperti Saracen diduga jumlahnya puluhan bahkan ratusan di Indonesia. Pengungkapan kasus ini diharapkan menjadi jalan pembuka untuk mengungkap keberadaan kelompok lain yang diduga menggunakan modus yang sejenis.



Selanjutnya adalah: Mudah terprovokasi dan menelan mentah-mentah…

Mudah Terprovokasi

Salah satu penyebab mengapa saat ini masyarakat dunia, khususnya Indonesia, mudah terprovokasi dan cenderung menelan mentah-mentah apa yang tersaji di media sosial adalah kurangnya budaya literasi.

Literasi digital adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu yang secara sengaja menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.

Sayangnya arus informasi yang begitu deras menyerbu masyarakat belum diimbangi dengan sikap kritis yang seharusnya dimiliki masyarakat. Saat ini masyarakat cenderung mengandalkan emosi, ketertarikan, dan keberpihakan terhadap suatu hal atau tokoh tertentu dalam menyikapi informasi.

Kecenderungan ini seolah-olah menafikan opini yang lebih kredibel yang disampaikan pakar yang kompeten di bidangnya. Batas antara opini dan fakta menjadi sangat kabur. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika harus proaktif dalam memberikan edukasi dan membentengi masyarakat dari berbagai informasi palsu atau hoaks yang akan terus membanjiri ranah publik.

Jika bersikap lamban, bukan mustahil akan muncul  Saracen baru yang memanfaatkan sikap apatis masyarakat demi mengeruk keuntungan semata. Jangan sampai hoaks menjadi komoditas baru yang menyebabkan makin tajamnya disharmoni dan polarisasi dalam masyarakat Indonesia.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya