SOLOPOS.COM - Dr. Sumbo Tinarbuko (I Ketut Sawitra Mustika/JIBI/Harian Jogja)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (24/8/2017). Esai ini karya Sumbo Tinarbuko, doktor dan peminat budaya visual yang mengajar Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Dialog kebangsaan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-50 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa pekan lalu membahas tentang pendidikan multikultural di tengah ruang interaksi yang minim dan rasa kebangsaan yang melemah. Rangkuman hasil dialog kebangsaan ini saya baca di Harian Kompas edisi 12 Juli 2017.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pembahasan Dialog Kebangsaan ke-2 bertema Pendidikan Memperkuat Kebangsaan itu memberikan pencerahan sekaligus perenungan. Salah satu narasumber adalah Azyumardi Azra, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memaparkan beberapa pemikirannya.

Sekolah maupun perguruan tinggi terlalu disibukkan dengan proses administrasi yang membebani. Kolonialisasi perguruan tinggi ini dilakukan oleh kementerian, padahal bila ingin perguruan tinggi nasional kompetitif maka perlu ada perubahan kebijakan para dosen untuk dibebastugaskan dari kewajiban mengurusi urusan nonteknis administratif.

Ekspedisi Mudik 2024

Menurut Azyumardi, birokratisasi menjajah pendidikan saat ini. Guru atau dosen sekarang lebih sibuk mengurus proses administrasi birokrasi yang berbelit-belit sehingga tidak lagi membaca buku atau memperkaya wawasan atau minim literasi. Kritik yang disampaikan Azyumardi semakin menguatkan tengara bahwa tugas utama guru dan dosen sebagai pengajar sekaligus pendidik secara sistematis dibonsai.

Mereka tidak kuasa melawan penjajahan yang dilancarkan birokrat pendidikan di negeri ini. Mereka wajib legawa bersalin profesi menjadi administrator pendidikan yang baik dan benar. Mereka harus sigap dan terampil mengurusi  A sampai Z administrasi pendidikan yang disampirkan ke pundak guru dan dosen. Meskipun tidak bahagia, mereka harus patuh membuat laporan administrasi pendidikan secara terstruktur dan mengikat sesuai peruntukannya.

Kemampuan intelektualitas para guru dan dosen cenderung mandheg alias jalan di tempat karena alih profesi tersebut,. Mereka tidak sempat lagi membaca buku sebagai sumber ilmu sekaligus jendela literasi yang mengembuskan angin segar wawasan dan pengetahuan.

Mereka ditarget memenuhi tuntutan satuan kredit semester dalam jumlah tertentu. Akhirnya mereka menjadi guru dan dosen yang mati gaya di hadapan mandor kurikulum dalam kendali payung sistem kredit semester.

Dampaknya adalah dalam setiap penyelenggaraan proses belajar mengajar, para pendidik di jagat pendidikan formal menjadi sosok pendidik yang kaku membatu sekaligus mati gaya. Segala ruang, media, dan gerak yang bersinggungan dengan jagat pendidikan dihadirkan tanpa adanya pendidikan itu sendiri.

Hal itu terjadi bisa dilihat saat  membuat dan menyampaikan materi ajar jarang sekali melakukan pembaruan yang berarti. Mereka senantiasa memelihara zona nyaman dan mencari suasana aman saat menyelenggarakan proses belajar mengajar. Mereka mengedepankan materi ajar dengan konsep ”biasanya” yang dijalankan dari tahun ke tahun dalam format sama.

Selanjutnya adalah: Mereka tidak berani menginterpretasi sebuah kurikulum…

Tidak Berani

Mereka tidak berani menginterpretasi sebuah kurikulum yang sudah kaku membatu agar menjadi bahan pengajaran yang ”seksi” dan merangsang minat serta keingintahuan peserta didik untuk berproses lebih lanjut secara merdeka dan bertanggung jawab.

Dalam perspektif budaya visual, manakala fenomena itu menggejala secara membabi buta, mengakibatkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Realitas sosial mencatat dengan jitu ketika konsep pendidikan tanpa pendidikan menjadi panglima perang komersialisasi pendidikan hasilnya adalah mutu pendidikan memasuki peringkat rendah.

Pendeknya, kualitas pendidikan formal tidak seperti diharapkan. Kualitas pendidikan mati gaya dan hadir dalam perwujudan yang kaku membatu. Keberadaannya cenderung menumbuhkan dinding-dinding kaku sebuah perspektif ilmu. Ujung ekstremnya adalah hadir terpisah dari kehidupan sehari-hari yang sejatinya lentur dan dinamis.

Dampak atas format semacam itu menyebabkan peserta didik harus berkenan menerima proses indoktrinasi. Sebuah proses yang melibatkan tangan penguasa untuk menyeragamkan pola pikir serta menyetarakan perilaku. Lengkap dengan selera tata rasa sang penguasa.

Hasilnya adalah keberadaan lembaga pendidikan tinggi dalam konteks industri pendidikan bersalin rupa. Pendidikan tinggi menjadi layaknya jalan tol untuk ngebut berburu kasta modern bergengsi tinggi. Representasinya dalam wujud jabatan publik dengan kepemilikan derajat dan pangkat tinggi.

Atas dasar hal itu, kehadiran lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tanpa pendidikan sekarang tidak lagi dipandang sebagai lembaga sosial. Lembaga pendidikan demikian ini bukan lagi sebuah lembaga sosial yang menyandang amanah tugas sosial untuk mencerdaskan dan memerdekakan peserta didik.

Atas nama mandor kurikulum, lembaga pendidikan harus rela tunduk pada kehendak penguasa zaman untuk berganti peran menyelenggarakan pendidikan tanpa melibatkan unsur pendidikan itu sendiri. Yang paling menyedihkan adalah dipaksa menanggalkan karakter klasik sebagai sebuah lembaga sosial.

Lembaga pendidikan tidak boleh lagi menanam kebaikan. Dilarang menyebar virus kebermanfaatan guna merangkai ilmu pengetahuan dalam jalinan nilai-nilai kemanusiaan yang manusiawi, adil, mandiri, bermartabat, dan berbudaya.

Ketika konsep pendidikan tanpa pendidikan itu terus dijalankan menyebabkan sikap hidup peserta didik untuk belajar dalam praktik kehidupan yang senyatanya semakin luntur. Bagi peserta didik yang notabene kawula muda, kegiatan belajar mengajar tidak dipandang sebagai proses mengembangkan diri.

Pencapaian kegiatan belajar mengajar tidak lagi berujung pada penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Yang terjadi adalah mereka lebih terobsesi mewujudkan jalan cerita yang dihadirkan jagat sinetron televisi.

Atas nama merayakan masa muda, mereka cenderung menghabiskan energi kemudaan dengan mengumbar syahwat duniawi bergaya hidup modern. Mereka sangat mendukung slogan yang ngehits: ”pokoknya yang penting happy! Pada akhirnya mereka lebih senang belajar hura-hura ketimbang belajar serta lelaku prihatin menuju penguasaan masa depan yang beradab dan bermartabat.



Selanjutnya adalah: Mereka lebih suka berpikir instan dan pragmatis

Instan dan P

ragmatis          

Mereka lebih suka berpikir instan dan pragmatis. Mereka lebih menggemari kemasan pikiran seragam sehingga nalar kreatif ditenggelamkan terpaan badai gaya hidup konsumtivisme dan hedonisme. Mereka lebih senang bersiasat jangka pendek dengan menisbikan jalinan sebuah proses.

Sebuah proses—apa pun bentuk dan pengejawantahannya–sejatinya adalah pilihan wajib yang harus dilakukan oleh siapa pun dalam mengisi hidup dan kehidupan ini. Pada titik seperti inilah terlihat dengan gamblang mereka dirundung kebingungan sosial. Mereka  dengan gampang meninggalkan aspek moralitas dan spiritualitas.

Mereka membuang jauh hakikat adat istiadat dan kearifan lokal yang sejujurnya menjadi penjaga gawang hati nurani. Kearifan lokal adalah cetakan perilaku makhluk sosial untuk senantiasa berbuat baik dan bertindak elok sesuai kepribadian sendiri secara mandiri dan merdeka yang bertanggung jawab.

Mereka cenderung tidak peduli atas upaya mengolah rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia dalam konteks positif. Akibatnya, penduduk bangsa ini mudah bingung dan tersinggung karena tidak memiliki jati diri dan potensi diri yang diandalkan.

Penduduk bangsa ini dalam pengaruh hipnotis dan dikondisikan menjadi keledai dungu. Jiwa raga mereka dikendalikan pengaruh negara asing yang menjajah secara ekonomi, budaya, dan ideologi. Cengkeraman itu menjadikan bangsa ini lembek daya juangnya.

Bangsa ini lebih bangga diposisikan sebagai bangsa konsumen. Bangsa ini lebih bahagia mengandalkan seluruh pemenuhan kebutuhan hidup melalui aktivitas impor. Pertanyaannya kemudian, dengan fenomena pendidikan tanpa pendidikan akankah mampu memperkukuh aspek kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau pokoknya yang penting happy, senang, dan bahagia?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya