SOLOPOS.COM - Riyadi riyadi.uns@gmail.com Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

 

Riyadi  riyadi.uns@gmail.com  Dosen Pendidikan Sejarah  Fakultas Keguruan  dan Ilmu Pendidikan  Universitas Sebelas Maret

Riyadi
riyadi.uns@gmail.com
Dosen Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tradisi kirab pusaka saat malam 1 Sura di Kota Solo awal pekan ini memantik pemikiran mengenai tradisi kirab yang sarat dengan makna dan simbolis hingga keprihatinan masyarakat Jawa akan konflik internal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang tidak berkesudahan.

Desas-desus yang berkembang sebelum kirab bahwa kirab ditiadakan–yang diselenggarakan sejak Paku Buwono (PB) X itu–ternyata tidak terbukti. Namun, sangat disayangkan karena kirab  yang dilangsungkan tanpa pusaka keraton. PB XIII juga tidak mengikuti kirab karena dikunci di dalam kamarnya sendiri oleh istrinya.

Kirab malam 1 Sura tanpa pusaka keraton dalam perspektif sejarah telah keluar dari esensi kirab itu sendiri. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991) mengisahkan sebelum perpindahan nagari  dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat pada 1745  telah terjadi ontran-ontran yang berujung pembakaran Keraton Mataram di Kartasura oleh orang-orang China dan pasukan di bawah pimpinan Raden Mas Gerendi.

Garendi adalah cucu Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun dengan gelar Amangkurat V atau Sunan Kuning. Peristiwa itu lebih dikenal dengan istilah geger pecinan. Sebelum meletusnya geger pecinan, PB II pada November 1741 menyerbu markas VOC di Semarang dengan kekuatan 20.000 orang yang sebagian pasukannya adalah orang Tionghoa, namun penyerbuan itu gagal.

Pada Juli tahun yang sama, PB II juga menyerbu garnisun VOC di Kartasura yang sekarang menjadi Kandang Menjangan. Huru-hara di Mataram Kartasura membuat PB II pergi ke Ponorogo dan menemui Kiai Hasan Bestari. Setelah situasi Mataram kembali pulih, PB II mendapatkan hadiah berupa tombak yang dijaga o kerbau bule (albino).

Sebenarnya kirab yang selalu diselenggarakan setiap malam 1 Sura itu untuk tombak yang menjadi salah satu piyandel (pusaka bertuah) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, bukan untuk kerbau bule yang dikenal dengan nama Kiai Slamet. Fungsi kerbau hanya sebagai cucuk lampah dari kirab tombak dan pusaka lain milik keraton.

Masyarakat sering kali terkecoh bahwa esensi kirab adalah kerbau bule Kiai Slamet, padahal dalam perspektif sejarah hal ini keliru. Dari analisis sejarah, kirab yang diselenggarakan Senin (4/11) malam lalu itu dapat dikatakan keluar dari esensi karena kirab itu tanpa pusaka keraton. Kunci sasana pusaka keraton konon masih disimpan Sinuhun PB XIII yang malam itu berada di kamarnya dan tidak menghendaki kirab.

 

Daripada Tidak

Kirab yang tanpa esensi pada Senin malam lalu merupakan salah satu representasi betapa konflik yang sedang melanda Keraton Kasunanan Surakarta memang membikin miris. Raja bukan lagi simbol keagungan dan kedaulatan adat serta budaya. Sangat disayangkan agenda yang dinantikan wong Jawa ini dilangsungkan dengan tidak utuh.

Namun, apa pun yang telah terjadi, penyelenggaraan kirab tersebut telah menyelamatkan tradisi dan pengharapan masyarakat Jawa di awal tahun. Kirab pusaka bukanlah satu-satunya perayaan unik yang dilakukan masyarakat Jawa. Daerah nagari gung memang masih menganggap kirab malam 1 Sura sebagai puncak acara dari konsekuensi fungsi keraton sebagai pusat budaya.

Hal ini telah dicatatkan dalam sejarah oleh PB X yang suka dengan politik panggung. Gebyar dan kemegahan acara diamanfaatkan raja sebagai momentum membangun kedekatan dengan kawula sekaligus berperan sebagai representasi kebesaran Keraton Kasunanan Surakarta. Masyarakat yang jauh dengan pusat pemerintahan Jawa (keraton) menyambut perayaan malam tahun baru Jawa dengan cara desa, sesuai kearifan lokal yang masing-masing daerah, yakni tapa bisu, pasa mutih, kungkum, tapa laku (berjalan), sesaji, hingga lek-lekan (tidak tidur sampai pagi).

Setiap bentuk ritus itu ditujukan untuk memohon keselamatan, sekaligus momentum berkontemplasi, refleksi, evalusi, hingga resolusi dan pengharapan untuk satu tahun ke depan. Kirab sebenarnya merupakan momentum budaya sebagai pengingat tahun telah berganti, sekaligus wadah sosial untuk refleksi dan pengharapan.

Perayaan kirab sebagai manifestasi budaya Jawa sering kali dimaknai secara bias dengan mengaitkannya dengan aktivitas agama. Terdapat dua hal yang keliru. Pertama, memaknai simbol dengan bahasa lugas yang banyak disalahartikan bahwa esensi kirab untuk ngalap berkah, terlebih apabila kebagian lethong (kotoran) kerbau yang dianggap merupakan simbol keberkahan dan terkabulnya permohonan. Padahal lethong ini merupakan simbol kebesaran agraris.

Kedua, banyak komunitas masyarakat memandang budaya dengan perspektif agama. Perpektif yang tidak bijak ini sering kali memunculkan pandangan bahwa aktivitas budaya berseberangan dengan agama, sehingga tradisi yang semacam ini perlu dihentikan. Kekeliruan ini perlu diluruskan. Tradisi merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat yang berbeda dengan aktivitas religi.

Sebenarnya kesalahan pertama tadi yang memicu kesalahan yang kedua. Ancaman terhadap kelestarian tradisi perlu diluruskan dengan penataan cara pandang yang sesuai dengan kultur masyarakat Jawa sebagai pemangku budaya. Terkait momentum 1 Sura  yang peringatan atau perayaannya dalam wujud apa pun, tentu semua pihak berharap agar konflik di Keraton Kasunanan Surakarta segera menemukan penyelesaian dan masyarakat Jawa kembali mengagungkan keraton sebagai simbol kebesaran budaya Jawa.

Tradisi Jawa yang kaya dengan simbol. Wong Jawa sangat teliti ihwal kelengkapan ubarampe (perlengkapan) setiap upacara selamatan. Semoga tanpa diikutkannya piyandel keraton dalam kirab malam 1 Sura bukan pertanda buruk sebagaimana dikhawatirkan masyarakat Jawa bahwa keraton sudah kehilangan akar budaya Jawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya