SOLOPOS.COM - Undung Wiyono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (11/11/2015), ditulis Undung Wiyono. Undung adalah pemerhati budaya sekaligus penulis naskah wayang orang. Ia juga alumnus Sastra Jawa Universitas Indonesia dan kini tinggal di Jakarta.

Solopos.com, SOLO — Bende-beri, puksur-tambur membahana, ditabuh bertalu di Kota Solo. Umbul-umbul, gendera, lelayu berkibar-kibar megah. Tiga hari tiga malam Kota Solo menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat pewayangan nasional, bahkan dunia.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Tidak kurang 34 dalang menampilkan berbagai jenis wayang. Lagi-lagi sebuah peristiwa budaya tercatat dan diprakarsai di Kota Bengawan. Pencanangan Hari Wayang Sedunia, 7 November, berdasarkan momentum bersejarah penetapan wayang sebagai warisan budaya dunia oleh United Nations Educational and Scientific Cultural Organization (UNESCO) 12 tahun yang lalu.

Seiring waktu, kini ingar-bingar peringatan hari wayang sudah berlalu. Blencong sudah dipadamkan. Kelir sudah diluruh. Para wayang kembali masuk kotak lagi. Sebuah pertanyaan mengusik: Apakah greget momentum bersejarah itu hanya berkutat di Solo?

Ternyata tidak. Tepat pada Hari Wayang Sedunia, 7 November 2015, nun jauh di seberang lautan, di negeri Serumpun Sebalai, Bangka Belitung, digelar sebuah pergelaran teater anak yang menampilkan cerita Dalang dan Wayang. Teater ini dimainkan dengan apik dan cerdas oleh sebuah teater anak-anak, pemenang Festival Teater Anak Nasional 2015, De Bocah, dari Kota Solo.

Secercah harapan, sebongkah asa, sekaligus kebanggaan mencuat di sana. Ketika wajah-wajah jernih tanpa dosa, ekspresi-ekspresi kekanak-kanakan yang alami dan spontan, memainkan dengan apik sebuah lakon teater yang bertemakan wayang. Naskah lakon teater Dalang dan Wayang ditulis Koko Sondari dengan sutradara Didik Sugiyarta alias Panji.

Didik adalah seorang mahasiswa semester VII di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Dalang dan Wayang adalah sebuah suguhan ”teater wayang” yang segar, menggemaskan, sekaligus mendidik.

Bolehlah beberapa sindiran dari kalangan seniman wayang terlontar yang dialamatkan kepada pemerintah (baca: negara) yang tidak peduli pada momentum peringatan Hari Wayang Sedunia yang dipusatkan di Solo.

Peringatan Hari Wayang kali ini diprakarsai secara mandiri oleh kalangan seniman sendiri. Dimotori ISI Solo, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), dan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi).

Setidaknya pementasan Dalang dan Wayang  dalam pentas yang diberi tajuk Duta Seni, program Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Bangka Belitung menjadi sebuah ”excuse” dari pemerintah yang kali ini disindir belum berpihak pada peristiwa budaya Hari Wayang Sedunia itu.

Ada satire, ada kekonyolan, ada nuansa kental dolanan bocah sekaligus ada nilai-nilai luhur. Pementasan teater anak-anak di pangung yang megah, di depan Gedung Balai Kota Bangka Belitung, malam itu semarak dengan ribuan penonton. Dengan penataan sound system yang pas, dialog-dialog anak-anak wayang itu terkomunikasikan dengan baik kepada penonton.

Alur cerita dapat diikuti dengan antusias. Syahdan, dalang yang suka omdo (omong doang) akan dikudeta oleh para anak wayang. Diawali sebuah pementasan wayang kulit oleh seorang dalang. Anak-anak wayang disimping berjajar.

Secuil adegan Ramayana ditampilkan, yaitu seekor burung Jatayu tiba-tiba menyeruak layar. Wayang-wayang berhamburan ke luar. Berputar-putar kemudian satu per satu masuk ke kotak. Dalang, sang penguasa wayang itu, setelah melakukan tugasnya kemudian tertidur.

Lampu panggung mengarah pada kotak. Satu… dua… tangan-tangan kecil muncul dari dalam kotak. Ada yang geraknya tegas, ada yang bermain-main iseng. Simbolis, tetapi ada kesan bermain-main di sana. Tangan-tangan wayang itu kemudian menyeruak, diikuti tubuh-tubuh energik wayang keluar dari kotak.

Mereka rupanya sudah bosan atas perlakuan semena-mena penguasa, ki dalang. Mereka adalah Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Buta Cakil, Srikandi, da lain-lain. Mereka bersatu, bahu-mambahu mau melakukan kudeta. Dalang yang selama ini menguasai mereka akan disandera.

Mereka menyiapkan seutas tali untuk mengikat. Tiba-tiba mak jegagik… tokoh penjaga muncul. Terbangunlah alur dan juga kelucuan-kelucuan yang spontan dan mbocahi, lucu.  Dengan cerdik akhirnya dua tokoh penjaga bisa dikalahkan. Gelitik kritik sosial terlontar ketika mereka mengalahkan para penjaga itu dengan ”sogokan”. Sebuah celetukan gaya anak-anak tentang korupsi.

Singkat cerita dalang berhasil mereka ikat, lalu ganti dimasukkan ke dalam kotak. Konflik lebih tajam muncul ketika para wayang yang kelilangan figur pemimpin itu akhirnya berebut menjadi pemimpin. Keadaan chaos. Mereka tak mampu mengatasi persoalan mereka sendiri.

Anak-anak wayang itu seperti ayam kehilangan induknya. Cuap-cuap bercampur dengan tangis. Keadaan menjadi pilu. Sebuah celetukan terlontar dengan nyaring, ”Ternyata memilih pemimpin itu susah ya.” Penonton pun merespons haru, ”Oooh…”. Pada suasana kegamangan karena iklim pemilihan kepala daerah serentak sekarang ini, celetukan itu sungguh mengena. Daya ledaknya luar biasa, apalagi disampaikan oleh anak-anak.

Mereka akhirnya sepakat ki dalang dilepaskan kembali. Mereka mengakui salah. Mereka mengakui fitrah sebagai wayang. Dengan tulus mereka meminta maaf kepada ki dalang. Filosofis dan indah. Dalam budaya Jawa dalang adalah manifestasi dari Tuhan.

Wayang adalah makhluk yang tunduk dengan segala takdir Tuhan. Sebuah akhir yang solutif dan gembira menjadi klimaks dari pertunjukan teater anak-anak pemenang ke-7 penghargaan berbagai kategori pada Festival Teater Anak Nasional yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Agustus 2015 yang lalu. Festival itu diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. [Baca: Pendekatan Kejiwaan]

 

Pendekatan Kejiwaan
Sebelum pentas, seperti biasanya sutradara, tim kreatif, dan tim artistik melakukan orientasi panggung. Mereka akan melaksanakan persiapan geladi resik.

”Hayo teman-teman kita coba dorong properti keretanya… Kita kenali karakter panggungnya!” demikian pengarahan sang sutradara, Didik Sugiyarto, dengan pendekatan sebagai teman. Anak-anak pemain teater bocah itu boro-boro menggubrisnya, mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri-sendiri, saling bercanda.

Salah seorang kemudian berteriak, ”Pak Didik, saya mau pipis dulu, ya.” Suasana kemudian menjadi gaduh. Sekelompok anak-anak itu secara koor menyahut, ”Saya juga, Paaak. Saya juga kebeleet.” Mereka berlari bersama-sama menuju toilet. Sutradara yang berbadan kecil seperti anak-anak itu hanya bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum.



Ia memang melakukan pendekatan dengan berusaha menyelami jiwa anak-anak untuk melatih mereka bermain teater. Langkah ini harus dilakukan supaya tidak berjarak dengan mereka dan mereka merasa diperlakukan sebagai teman. Sesekali ia berlaku sebagai kakak.

”Penyakitnya adalah kalau sedang bad mood, mereka rewel, ngambeg. Saya lalu berlaku sebagai pamomong. Merayu mereka, mencoba menuruti dulu apa kemauan mereka. Biasanya mereka minta sesuatu seperti ingin makan, ingin dibelikan jajan. Intinya mereka perlu perhatian,” demikian kata Didik ketika menceritakan suka dan duka menyutradarai teater anak-anak.

Jose Rizal Manua, seniman teater nasional, salah satu juri dalam Festival Teater Anak-Anak Nasional itu, memberikan arahan pembinaan teater anak. Ia berpendapat penyutradaaraan teater untuk anak-anak harus dengan pendekatan kejiwaan yang khusus.

Sutradara harus paham benar dengan psikologi anak-anak. Tidak boleh ada intervensi apalagi ekploitasi berlebih pada jiwa-jiwa yang masih murni dan rentan ini. Sutradara De Bocah berhasil mengondisikan hal ini sehingga keluarlah acting yang alami, spontan, ekspresi lugu dan natural dari bocah-bocah berbakat dari Kota Solo ini.

Jose menilai struktur naskah yang kuat kemudian tema tentang wayang yang akrab dengan anak-anak Solo ini mempunyai andil besar terhadap kesuksesan pementasan mereka. Sebuah naskah dengan struktur yang kuat untuk dilakonkan sudah menjamin setengah keberhasilan.

Setengahnya lagi adalah sutradara yang mampu mengarahkan dan mampu memberi ruang ekspresi bagi anak-anak wayangnya. Sutradara teater anak-anak yang baik adalah sosok sahabat yang mampu membongkar segala potensi keaktoran dari para pemainnya.

Sutradara harus memberi peluang untuk setiap anak mempunyai kebebasan untuk berekspesi, bermain, menjelajahi imajinasinya.  Sisi artistik dari pementasan ini juga rapi dan mendukung. Properti yang sederhana dan ikonik dekat dengan dunia anak-anak. Tata rias dan busana yang modern tetap lekat dengan nuansa tradisi.

Yang perlu mendapat apresiasi juga adalah garapan musiknya yang sungguh pas. Nuansa etnik, harmoni yang muyeg, tetapi enak didengar serta mendukung suasana. Brambang bawang bumbune canthel, nyawang gampang nglakoni angel. Tak semudah membalik tangan membina karakter dan jiwa tabularasa. Perlu proses dan kesabaran.

Tidak mudah untuk bisa ”menyelami” jiwa anak-anak. Didik yang menyandang gelar Sutradara Terbaik pada Festival Teater Anak-Anak  itu berhasil melakukannya. Satu cita-citanya yang ingin dilakukan di Kota Solo adalah menumbuhkan generasi yang kuat untuk teater dengan menggali kearifan lokal dari sumber-sumber cerita lokal seperti wayang, babad, legenda dan lain-lain.

Wilujeng, Mas Didik. Dirgahayu Hari Wayang Sedunia. Selamat kami ucapkan kepada anak-anak Teater Anak De Bocah yang dipimpin Bambang Sugiyarto. Teater anak-anak yang menjanjikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya