SOLOPOS.COM - A. Tony Prasetiantono (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (25/8/2015), ditulis A. Tony Prasetiantono. Penulis adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada.

Solopos.com, SOLO — Rupiah akhir pekan lalu nyaris menembus level psikologis baru, Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (US$), sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga berada pada level yang rendah, yaitu 4.335.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Situasi ini lekas memantik kepanikan. Orang lantas menebak-nebak bahwa ini merupakan ulangan peristiwa krisis 1998 yang traumatis itu. Sesungguhnya bukan cuma kita yang panik, namun praktis seluruh dunia.

Depresiasi bukan hanya terjadi pada rupiah, namun juga ringgit (Malaysia) dan baht (Thailand). Kedua mata uang tersebut mengalami pelemahan besar, bahkan mencapai level terburuk sesudah 1998. Begitu pula indeks bursa saham.

Ini bukan cuma di negara-negara emerging markets yang bursanya rontok, bahkan di New York indeks Dow Jones jatuh di level yang amat rendah, yaitu 16.459. Beberapa waktu yang lalu, indeks saham New York pernah mencapai 18.300 atau jauh lebih tinggi daripada sebelum krisis subprime mortgage 2008-2009.

Apa yang menyebabkan kepanikan ini? Pertama, secara tak terduga, pemerintah Tiongkok mendevaluasi mata uang yuan. Sebenarnya sudah sejak lama pemerintah  Tiongkok secara sengaja membuat yuan lemah atau setidaknya ”tidak mengizinkannya berada di level yang semestinya kuat”.

Sudah lama pula pemerintah Amerika Serikat (AS) melobi pemerintah Tiongkok agar mau membuat yuan kuat. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terkuat nomor dua di dunia sesudah AS, mata uang yuan mestinya cenderung kuat.

Kenyataannya, pemerintah Tiongkok sepertinya ”menikmati” benar yuan yang lemah, demi mendorong ekspor. Pemerintah Tiongkok bergeming. Mereka tetap tidak mau mendorong yuan agar menguat sesuai mekanisme dan kehendak pasar.

Belakangan ini Tiongkok justru mulai keteteran dengan daya saingnya. Tiongkok mulai mengalami perlambatan ekspor dan perlambatan pertumbuhan ekonomi karena upah buruh yang terus naik serta harga tanah yang naik di daerah industri negeri itu (kota-kota besar di sepanjang pantai timur).

Data terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi mereka hanya 6,9% atau di bawah ekspektasi 7%-7,5%. Pemerintah Tiongkok tidak mungkin menekan upah buruh dan harga tanah maka satu-satunya solusi yang cepat adalah mendevaluasi yuan.

Kebijakan ini kemudian memicu kekhawatiran akan terjadinya ”perang kurs” (currency wars) di seluruh dunia. Untuk menghadapi situasi buruk ini, para pemilik modal di seluruh dunia segera mencari aman.

Caranya? Segera memindah dana mereka menjadi dolar AS. Akibatnya, segera terjadi kenaikan permintaan terhadap dolar AS, penjualan surat-surat berharga di pasar modal, serta aliran dana keluar (capital outflows) dari seluruh dunia ke AS.

Kedua, anjloknya harga minyak juga menambah runyam masalah. Harga minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) pada akhir pekan lalu hanya US$40,45 per barel, sedangkan jenis Brent cuma US$45,46 per barel.

Penurunan harga ini terutama disebabkan produsen besar di Arab Saudi yang menyatakan berani ”perang harga” melawan produsen-produsen lain karena ongkos produksi mereka paling murah di dunia (hanya US$10 per barel).

Sementara itu, juga terungkap informasi bahwa biaya produksi minyak di AS (shale oil) ternyata juga murah, diperkirakan cuma US$20 per barel. Jadi, jika harga minyak dunia dipatok murah US$40 per barel sekalipun, Arab Saudi dan AS masih mempunyai margin yang cukup.

Kombinasi antara currency wars dan oil wars membuat pemilik modal di seluruh dunia panik dan memilih main aman dengan cara ”memegang” mata uang dollar AS. Begitulah kira-kira penjelasan kenapa dolar AS begitu diminati orang serta mengapa rupiah dan mata uang dunia lainnya terperosok dalam.

Sesungguhnya hal itu bukanlah ekuilibrium permanen. Lihatlah bahwa indeks harga saham di New York pun jatuh cukup dalam. Artinya para investor dunia menyiratkan keraguan, apakah masa depan perekonomian AS benar-benar bersinar terang sehingga mereka layak memegang dolar AS dalam jangka panjang?

Dengan kata lain, apakah AS juga akan senang jika mata uang US$ terus-menerus menguat? Saya rasa tidak. Mereka pun akan kerepotan jika US$ terlalu kuat (overvalued), terlebih lagi mereka akan menghadapi yuan yang dipatok terlalu lemah (undervalued).

Hasilnya, defisit perdagangan AS terhadap Tiongkok akan semakin parah. AS pasti tidak menghendaki ini terjadi. Jadi, sebenarnya kurs US$ yang terlalu kuat dan kurs mata uang lain terlalu murah, termasuk Indonesia, saya yakin bukanlah hal yang akan bersifat permanen.

Ini hanya bersifat sementara karena pasar terlalu panik menyikapi currency wars dan oil wars. Jika berpikir lebih tenang dan jernih, kepanikan yang sedemikian besar itu tidaklah perlu. Ekuilibrium yang lebih sehat bagi semua pihak (AS, Tiongkok, dan seluruh dunia) bakal ditemukan. [Baca: Menjaga Momentum]

 

Menjaga Momentum
Apakah Indonesia akan terperosok ke lubang krisis serupa 1998? Tidak. Situasinya berbeda. Pada 1998, rupiah memang mencapai Rp 15.000 per US$, bahkan pernah menyentuh Rp17.000 per US$ selama dua hari pada Januari 1998.

Kurs sekarang yang nyaris Rp14.000 per US$ memang sudah hampir mendekati level tersebut, namun kondisi fundamentalnya lain. Pada 1998, semua bank praktis insolven dan bangkrut. Hampir semua bank membukukan kerugian besar yang memakan modal (equity) hingga modalnya negatif.

Hal ini disebabkan kombinasi antara tingginya nonperforming loan (NPL) dan negative spread (suku bunga deposito 60%-70% versus suku bunga kredit cuma 24%). Saat ini kondisinya berbeda. Bank-bank kinerjanya memang menurun, laba stagnan atau turun, tapi masih ada beberapa bank yang labanya bisa naik.



Dari sisi permodalan, semuanya masih kuat dengan CAR rata-rata 20% dibandingkan CAR negatif pada 1998. Kredit macet memang beranjak naik, namun masih di level 3%. Pertumbuhan kredit memang melambat, namun tetap ada pergerakan.

Bank-bank juga sudah melalukan stress test. Pada umumnya masih mampu menghadapi kurs rupiah Rp15.000 per US$.  Apa yang bisa dilakukan sekarang? Bank Indonesia (BI) kian memperketat penggunaan US$.

Sebelumnya, setiap pembelian valuta asing hingga US$100.000 harus disertai bukti transaksi yang memadai (underlying documents). Angka ini kini diperketat menjadi US$25.000. Banyak orang yang salah interpretasi bahwa BI membatasi transaksi valuta asing (valas).

Bukan begitu. Transaksi pembelian valas tetap diizinkan, namun harus disertai bukti bahwa itu benar-benar dilakukan, bukan cuma orang yang berspekulasi.

Pemerintah juga perlu mempertajam prioritas belanja yang menggunakan valas agar cadangan devisa yang sudah tertekan menjadi US$107 miliar dapat dihemat. Proyek-proyek pemerintah yang haus devisa terpaksa harus dikaji ulang untuk sementara atau dijadwalkan kembali.

Sementara itu, soal BI rate rasanya tidak perlu diubah dulu. Jika melihat urgensi bahwa rupiah tertekan maka BI rate memang perlu dinaikkan. Jika itu dilakukan, hanya akan lebih menyulitkan industri perbankan dalam upaya mendorong ekspansi kredit.

Tanpa kenaikan suku bunga pun ekspansi kredit cenderung menukik turun. Bagaimana pun juga industri perbankan tetap perlu menjaga momentum agar tahun ini pertumbuhan ekonomi tetap bisa mencapai 5%.

Saya tetap percaya masa-masa sulit ini dapat kita lalui. Syaratnya, para pelaku ekonomi di pasar finansial dan modal janganlah panik secara berlebihan. Kepanikan tidak memberi manfaat apa pun, selain menyebabkan perekonomian kian terbenam. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya