SOLOPOS.COM - Hanputro Widyono (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (31/7/2017). Esai ini karya Hanputro Widyono, editor buku Jassin yang Kemarin (2017) dan  berstatus mahasiswa di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah hanputrowidyono@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Jassin yang baik, kini zaman sudah banyak berubah. Jumlah koran dan majalah yang memberi ruang bagi kritik atau esai sastra di Indonesia semakin sedikit. Ruang-ruang di media itu lebih sering diisi isu-isu politik, ekonomi, pendidikan, hukum, tapi jarang sastra.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Apalagi setelah satu-satunya majalah sastra, Horison, mengumumkan gulung tikar setahun lalu, Juli 2016. Pembaca sastra tak lagi memiliki rujukan media yang jelas. Paling-paling hanya bisa mengharapkan koran edisi akhir pekan.

Itu pun seringnya hanya memuat cerita pendek dan puisi, sedangkan kritik atau esai sastra mesti bergantian dengan esai seni rupa, seni pertunjukan, atau esai kebudayaan lainnya.

Tak ayal, seperti yang diceritakan J.J. Rizal saat mampir ke Bilik Literasi pada 20 Mei 2017, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin pun hanya berlangganan koran pada hari-hari tertentu. Pilihan hari sudah tentu akan sering dijatuhkan pada Sabtu dan Minggu dengan harapan mendapat kliping perkembangan sastra mutakhir dengan biaya sehemat mungkin.

Jassin, pada akhirnya sastra memang mesti memakai hitung-hitungan ekonomi. Iya, tentu saja saya masih sepakat dengan ucapanmu di Horison, September 1984, ihwal mengurusi dan merawat sastra.

“Kita butuh orang yang punya dedikasi. Kita butuh orang yang merasa bebas dengan dunia yang telah dipilihnya, walaupun sebenarnya dia tidak bebas. Sebagai orang yang kreatif dia membaca, menurunkan naskah—yang pada akhirnya dia pun bisa menciptakan karya-karyanya. Dalam keadaan demikian dia bahagia. Terus terang, ini tak bisa dibeli. Usaha yang dijalankan, hanya bisa berhasil bila ada dedikasi.”

Yang terjadi saat ini sastra tetap harus mengikutkan hitungan untung dan rugi. Media sebagai ruang yang menampung pelbagai karya sastra jelas tak mau rugi. Mereka pun mesti memperhitungkan daya pikat cerita pendek, puisi, atau esai sastra untuk menarik calon pembeli.

Hal ini penting sebab media butuh mempertahankan kondisi keuangannya agar tetap terbit. Yah, dari dulu masalah semacam ini memang sudah wajar terjadi, terutama bagi media-media yang baru muncul. Situasi mutakhir ternyata juga melanda media-media yang berusia tua.

Mereka tengah didera “badai” kehilangan pembaca. Keluarga pelanggan koran dan majalah tiba-tiba saja memutuskan berhenti berlangganan dengan alasan sudah tidak ada yang membaca setelah orang tua meninggal.

Terpaksalah beberapa koran dan majalah kini mempersempit peredarannya, dari media nasional menjadi lokal, demi menghemat pengeluaran. Kepentingan “bertahan hidup” itulah yang kemudian juga berpengaruh pada kebijakan media soal rubrikasi, pengurangan halaman, dan sebagainya.

Ruang untuk iklan jelas tak bisa dikurangi. Kalau ruang sastra, terutama kritik atau esai yang sepi pembaca, bisa dinegosiasikan. Tahu-tahu, pekan depan, pembaca (dan penulis) sudah kehilangan rubrik sastra yang ditunggu-tunggu. Kita juga semakin dijauhkan dari sastra.

Aduh, Jassin, saya tak bermaksud merusak kebahagiaanmu pada peringatan hari lahir yang ke-100. Saya hanya ingin jujur dengan hal-hal yang terasakan dan terpikirkan. Saya ingat betul dengan pesanmu dan dewan juri Sayembara Menulis Roman DKJ 1976, bahwa seni menuntut kewajaran, ketulusan, sincerety.

Semoga kamu tak merasa sedih atau kecewa mendapat kabar ini. Jassin, dulu kamu sering berkirim surat kepada banyak orang, penyair, prosais, esais, penerjemah, tokoh agama, dosen, peneliti dan lain sebagainya. Sekarang surat sudah tidak laku. Apa kamu punya nomor Whatsapp (WA)? Hei, kamu tak usah tertawa gitu dong.

Oh iya, Jassin, meski masih jadi pilihan terakhir, setelah novel, cerita pendek, puisi, dan drama, tampaknya kerja kritik sastra Indonesia masih terus diusahakan ada. Beberapa kelompok, komunitas, atau instansi yang memiliki perhatian lebih pada sastra, merawat gairah kritik sastra lewat jalur sayembara.

Selanjutnya adalah: Siklus penyelenggaraannya agak lama…

Siklus Penyelenggaraan

Siklus penyelenggaraannya agak lama memang, beberapa tahun sekali, tapi masih layak disyukuri, ketimbang tidak ada sama sekali. Di Jakarta, orang sudah tak asing dengan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Kamu sendiri tentu juga ingat dengan sayembara itu.

Tahun ini, DKJ mengadakannya lagi. Batas pengiriman naskahnya baru saja ditutup. Konon ada 94 naskah yang masuk. Saya tak tahu naskah-naskah itu berasal dari daerah mana saja, tapi jelas berskala nasional.

Yah, itu jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan penyelenggaraan sebelum-sebelumnya. Berarti ada peningkatan dong. Di Jogja, Universitas Gadjah Mada mengadakan Lomba Sastra dan Seni ke-4 yang di dalamnya ada lomba menulis kritik sastra.

Yang cukup mengejutkan adalah Kompetisi Kritik Sastra Tingkat SMA yang digagas Komunitas Salihara. Bergembiralah Jassin, kritik sastra tak hanya untuk orang-orang dewasa, tapi sudah dikenalkan kepada remaja. Semoga saja dari mereka akan muncul kritikus-kritikus sastra belia.

Kalau membicarakan corak penulisan kritik sastra masa kini, tentu berbeda dengan cara penggarapanmu dulu. Kamu, sewaktu berhadapan dengan karya sastra, selalu mengedepankan “perasaan”. Sastra itu olah rasa.

Nilai-nilai subjektivitas selalu tampak dalam tulisan kritik sastramu. Sekarang tak boleh begitu. Jenjang pendidikan tinggi lebih mengajarkan agar seorang kritikus (atau peneliti) mesti berjarak dengan karya sastra. Objektivitas menjadi hal yang dikuduskan. Jadilah kritik sastra yang tanpa jiwa. Kalau dalam bahasamu, tanpa “penelusuran dan penyusupan ke dalam pengalaman dan penghayatan hakikat seni dan sastra”.



Kecenderungan kritik sastra sekarang adalah memutilasi karya sastra sesuai dengan teori ilmu sastra yang digunakan. Ini bukan cara Jassin banget! Ya, zaman memang sudah berubah. Cara orang mengenangmu juga berubah.

Dulu setiap 31 Juli hampir selalu ada selebrasi sederhana dengan nasi tumpeng dan kata-kata untuk merayakan hari lahirmu. Sekarang, setelah kamu meninggalkan dunia ini pada 11 Maret 2000 lalu, jarang orang mengingatmu.

Di Solo, Bilik Literasi bekerja sama dengan majalah kebudayaan tertua, Basis, mengingat 100 tahunmu dengan mengadakan Sayembara Menulis Esai Sastra. Pesertanya hanya 25 orang dengan 37 naskah yang masuk.

Konon, sayembara ini hanya ikhtiar untuk memperkenalkan kembali dan menularkan kerja-kerja yang selama hidupumu kamu tekuni. Makanya sayembara itu dinamai Penularan Jassin.

Jassin yang baik, rasanya ini dulu yang bisa saya kabarkan kepadamu. Dari kamarku yang sempit ini, saya ucapkan “selamat ulang tahun” yang ke-100 kepadamu. Segera kabari saya kalau sudah punya nomor WA!

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya