SOLOPOS.COM - Flo. Kus Sapto W. ho.sapto@yahoo.com Praktisi pemasaran Penanggung jawab costing di sebuah perusahaan trading

Flo. Kus Sapto W. ho.sapto@yahoo.com Praktisi pemasaran Penanggung jawab costing di sebuah perusahaan trading
Flo. Kus Sapto W.
ho.sapto@yahoo.com
Praktisi pemasaran
Penanggung jawab costing
di sebuah perusahaan trading

Berdasarkan pendapatan domestik bruto (PDB) saat ini yaitu 5.170 USD per kapita, maka untuk bisa bertumbuh menjadi negara berpenghasilan menengah-atas diperlukan kenaikan sekitar 14.8% per tahun. Pertumbuhan itu sendiri merupakan indikasi kenaikan kemakmuran dari negara berpenghasilan menengah-bawah.

Persentase kenaikan itu harus didapatkan dalam kurun waktu sampai 2016. Kurun waktu tersebut merupakan akumulasi dari tenggat 28 tahun yang diperlukan suatu negara untuk bertumbuh menuju level kemakmuran (Kompas, 23 Desember).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sementara saat ini Indonesia sudah 25 tahun berada dalam kelompok negara berpendapatan menengah-bawah. Salah satu tools untuk bisa beranjak menuju level lebih baik adalah dengan meningkatkan produktivitas dalam negeri.

Jika tidak demikian maka Indonesia akan terjebak dalam stagnasi. Salah satu faktor yang menghambat produktivitas itu agaknya adalah kenaikan upah buruh. Bagaimana memahami korelasi antara upah buruh dan produktivitas?

Secara rata-rata nasional tuntutan kenaikan upah buruh adalah 50%. Persentase itu didasarkan pada akumulasi dari sejumlah komponen. Setidaknya telah ada 60 jenis kebutuhan yang diakui pengusaha. Sedangkan tuntutan buruh naik menjadi 84 jenis kebutuhan (Koran Tempo, 2 November).

Sebagai ilustrasi, beberapa jenis kebutuhan harus dicukupi adalah sandang, perumahan, pendidikan, dan komunikasi. Terhadap permintaan buruh tersebut pengusaha dan pemerintah masih bisa mendapatkan celah untuk bernegosiasi. Substansinya adalah standardisasi.

Misalnya kebutuhan jaket kulit dan dompet kulit bisa dibandingkan dulu berdasarkan harga aktual di sentra-sentra industri kulit di Magetan, Garut, atau Tanggulangin. Demikian juga dengan tas kerja, topi, dan piyama bisa dikomparasikan dengan harga produksi langsung di tingkat pengrajin rumahan di Wedi atau Bandung.

Jam dinding dan jam tangan tentu bisa disandingkan dengan produk impor yang sangat variatif dan kompetitif. Pesawat televisi dan mesin cuci bisa saja menggandeng sejumlah SMK untuk menjadi perakit barang kelas low cost.

Pulsa bisa dikerjasamakan dengan sejumlah operator telepon seluler melalui sistem bundling paket hemat. Kosmetik juga terbuka untuk dipaketkan dalam sebuah kemasan dari produsen lokal.

Terlepas dari celah negosiasi di atas, bagaimana pun permintaan persentase kenaikan upah itu merupakan angka yang cukup signifikan. Bagi pekerja hal itu diyakini akan sangat berpengaruh positif terhadap  tingkat kesejahteraan mereka.

Sebaliknya, bagi pengusaha angka itu bisa berarti penggerusan laba atau bahkan kerugian bagi seluruh operasi perusahaan. Secara umum kenaikan upah ditanggapi sebagai sebuah peningkatan daya beli. Benarkah demikian? Terkait dengan harga-harga produk, menarik untuk dicermati bagaimana upah buruh ini memengaruhinya.

 Di dalam industri apa pun mekanisme penetapan harga produk dilakukan dalam sebuah skema costing. Metode ini didasarkan pada kalkulasi sejumlah komponen harga. Secara garis besar terdiri dari komponen fix cost dan variable cost.

Komponen fix cost meliputi semua biaya rutin. Pengeluaran ini dihitung berdasarkan biaya yang muncul baik ketika ada produksi maupun tidak. Di dalamnya adalah gaji karyawan, listrik, dan telepon dalam sebulan.

Sedangkan variable cost adalah biaya yang dikeluarkan terkait dengan produksi. Biaya ini timbul dalam proses produksi. Di dalamnya ada biaya langsung (material dan ongkos) dan biaya tak langsung (packaging dan biaya kirim). Komponen lain dalam costing adalah margin.

Modal Kerja

Besaran margin tergantung pada kebijakan manajemen dan kelihaian divisi pemasaran. Di dalam penawaran di beberapa jenis industri bisa dimungkinkan costing mengalami beberapa kali revisi. Sampai kemudian terjadi kesepakatan yang di dalam pemasaran biasa dikenal dengan istilah closing.

Dalam mengejar penawaran kompetitif ke pembeli biasanya harga produk juga diperbandingkan dengan kompetitor. Fase ini sering kali juga disertai pilihan untuk melempar produksi ke subkontraktor atau outsource. Bisa jadi harga kompetitor atau subkontraktor lebih mahal atau lebih murah.

Akan tetapi di dalam costing yang benar perbedaan itu tidak akan signifikan. Bahkan ketika sejumlah efisiensi operasi telah dilakukan. Tentu dengan tetap objektif-komparatif memasukkan perbedaan antara skala industri rumahan dan pabrikasi.

Sebagai ilustrasi, dengan komponen harga over head (OV) di kisaran 25%, dengan margin tetap, kenaikan 50% upah pekerja akan berdampak pada kenaikan harga jual produk sebesar hampir 60%.  Pergantian harga ini sangat fantastis.

Secara luas hal ini dapat dimaknai sebagai bumerang. Kenaikan upah akan dengan sendirinya diikuti kenaikan harga-harga produk. Perbandingan 50% kenaikan pendapatan dengan kenaikan indeks harga rata-rata produk sebesar 60% menjadi terlihat tidak berimbang.

Pada akhirnya bisa dimengerti bahwa komponen biaya yang paling memengaruhi harga produk adalah upah pekerja. Pada praktiknya secara legal penetapan komponen upah pekerja di dalam costing harus didasarkan pada upah minimum. Faktor inilah yang diakui atau tidak pada akhirnya menjadi pembeda utama di antara costing yang dibuat oleh internal, kompetitor, maupun subkontraktor.

Tanpa bermaksud apriori atau menghakimi, dalam konteks ini banyak industri–terutama skala rumahan–secara ironis justru bisa mendapatkan ”efisiensi” optimal. Praktiknya adalah dalam sistem kerja borongan atau kekeluargaan.

Sistematika ini dimungkinkan secara kultural dalam berbagai industri berbasis usaha mikro, kecil, dan  menengah (UMKM). Secara masif hal ini akan mendorong pabrikasi mengurangi atau menghentikan produksi inhouse-nya.

Sistem outsource akan lebih kompetitif karena mampu memberikan harga murah sebab memberikan upah pekerja lebih rendah. Terlebih lagi di kawasan yang masih kental hubungan kekerabatannya, dan didukung oleh banyaknya sentra-sentra industri rumahan. Model hubungan industri berbasis kultural bermuatan kearifan lokal akan berkembang.



Pada gilirannya konsep pabrikasi tidak lagi diminati. Investasi korporatif akan berhenti. Pabrikasi akan bergerak ke arah trading company yang slim employee. Pekerja akan dibatasi menjadi hanya yang berkompetensi tinggi. Sedangkan divisi produksi–yang menjadi bagian terbesar dalam hal jumlah karyawan–akan dihilangkan.

Sekilas home industry akan berpeluang lebih produktif. Namun, merebaknya home industry akan sekaligus diartikan sebagai penurunan daya saing global. Terutama dalam kapasitas produksi dan standardisasi. Di dalam atmosfer ini home industry akan sulit untuk dikembangkan menjadi pabrikasi.

Secara konseptual pabrikasi akan mensyaratkan hubungan industrial yang profesional. Sistem borongan dan kekeluargaan akan terpinggirkan sehingga tidak ada lagi upah murah. Apakah dengan demikian home industry akan tetap menjadi pilihan?

Agaknya pilihan untuk tetap menjadi home industry juga belum serta-merta menghindarkan masalah. Misalnya karena kesulitan cash flow yang disebabkan piutang. Di dalam rantai supply, yang di antaranya mensyaratkan sistem pembayaran mundur, sering kali menjadikan perusahaan skala UMKM sulit bernapas.

Faktanya banyak perusahaan skala UMKM yang justru memodali perusahaan besar. Mekanisme ini berdampak pada pelemahan modal kerja sehingga lambat laun akan berhenti berproduksi.  Sebagai catatan, dalam laporan Doing Business 2014, Indonesia saat ini berada di peringkat ke-120 dalam kategori kemudahan berusaha (World Bank, 2013; hal. 3).

Upah pekerja kita nomer 10 di Asia (liputan6.com, 26 April). Cukup kompetitif untuk daya tarik investasi korporatif. Dengan demikian, jika tetap berada dalam skala industri rumahan yang sebetulnya justru menepikan upah minimum, produktivitas dan kesejahteraan justru melambat. Sebuah kondisi yang kontraproduktif dengan percepatan kemakmuran global. Tentu ini sebuah pilihan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya