SOLOPOS.COM - Agus Riewanto (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (3/10/2017). Esai ini karya Agus Riewanto, seorang Doktor Ilmu Hukum dan pengajar di Fakultas Hukum serta Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Alamet e-mail penulis adalah agusriewanto@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO — Kita baru saja mendapat tontonan peristiwa ”dramatis” pembebasan Ketua DPR Setya Novanto dari status tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi dana proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik atau e-KTP senilai Rp2,5 triliun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setya Novanto dibebaskan dari status tersangka oleh hakim tunggal Cepi Iskandar dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Solopos edisi Sabtu, 30 September 2017). Peristiwa ini memantik perdebatan publik dan hampir semua kalangan mempertanyakan kredibilitas hakim dan pengadilan dalam memutus gugatan status tersangka korupsi di sidang praperadilan.

Ini bukan kali pertama hakim praperadilan membebaskan tersangka kasus korupsi. Paling tidak telah ada 147 gugatan praperadilan dan KPK kalah dalam empat kasus dugaan korupsi, yaitu kasus dugaan pemilikan rekening gendut yang menjerat Komisaris Jenderal Budi Gunawan (13 Januari 2015); kasus dugaan korupsi dengan tersangka Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajudin (7 April 2014), kasus korupsi mantan Ketua BPK Hadi Poernomo (21 April 2014), dan kasus Setya Novanto ini.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal mekanisme praperadilan,  yaitu persidangan oleh pengadilan negeri untuk menguji sah tidaknya tindakan penangkapan dan atau penahanan. Pengadilan juga berwenang memeriksa dan memutus sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Itulah sebabnya kerap kali praperadilan dijadikan modus para koruptor untuk dapat bebas dari status tersangka. Praperadilan merupakan peradilan hukum acara yang bersifat administratif maka praperadilan ini tidak terpaku pada substansi kejahatan.

Selanjutnya adalah: Praperadilan hanya akan menilai apakah proses penetapan seseorang…

Menilai

Praperadilan hanya akan menilai apakah proses penetapan seseorang menjadi tersangka telah sesuai dengan maksud KUHAP, UU No. 30/2002 tentang KPK, dan standar prosedur operasi KPK. Pada publik ada kesan kuat bahwa pembebasan tersangka korupsi dalam sidang praperadilan menyiratkan betapa prosedur hukum (hukum acara) dapat mengalahkan substansi kejahatan korupsi.

Secara teoretis fakta demikian karena kuatnya pengaruh sistem hukum Kontinental Eropa (Europe Continental) dalam sistem peradilan kita ketimbang sistem hukum Anglo Saxon (Amerika Serikat). Sistem hukum Kontinental Eropa bercorak rechstaat (administrasi) yang menempatkan aspek prosedur (hukum acara) sebagai bagian dari inti penegakan hukum.

Dalam sistem hukum ini asas legalitas ditempatkan sebagai asas utama. Artinya semua hal terkait dengan menghukum seseorang harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertulis yang nyata dan ditegakkan dengan hukum acara yang rigid agar setiap orang tidak mudah dirampas hak asasinya oleh kesewenang-wenangan aparatur hukum.

Sistem hukum Anglo Saxon bercorak rule of law (moralitas) yang menempatkan aspek substansi jauh lebih penting daripada prosedur (hukum acara). Itulah sebabnya dalam sistem ini acap kali mengabaikan prosedur hukum dalam menjatuhkan putusan bersalah pada seorang pelanggar hukum.

Yang diutamakan dalam sistem ini adalah asas judge made law (hakimlah yang membuat hukum) yang ditempatkan sebagai asas inti penegakan hukum. Tidak mengherankan kalau sistem hukum Anglo Saxon lebih mengutamakan pada patokan pelanggaran asas moralitas.

Selanjutnya adalah: Sepanjang suatu perbuatan itu melanggar moralitas…

Melanggar Moralitas

Sepanjang suatu perbuatan itu melanggar moralitas, kendati tidak ada pedoman peraturan tertulis, maka seseorang dapat dijatuhi hukuman oleh hakim. Kuatnya pengaruh sistem hukum Kontinental Eropa di Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah hukum negeri ini yang memiliki hubungan erat dengan bangsa Eropa, yakni ketika Indonesia menjadi koloni Belanda lebih dari 250 tahun lamanya.

Itulah mengapa membicarakan sistem hukum dan peradilan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Eropa yang mengutamakan aspek kepastian hukum (legal security) yang berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon yang lebih mengutamakan kemanfaatan hukum.

Dalam sidang praperadilan kasus Setya Novanto ini hakim tunggal Cepi Iskandar hanya menguji kesesuaian penetapan tersangka atas Setya Novanto dengan KUHAP, UU KPK, dan standar prosedur operasi KPK. Hakim tidak menguji substansi salah benarnya tindakan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi dana proyek pengadaan KTP elektronik.

Itulah sebabnya dalam sidang pengadilan ini terdapat sejumlah kejanggalan yang mungkin jika dilihat dari kacamata substansi hukum seharusnya hakim menolak gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto dan memerintahkan KPK untuk melanjutkan proses penyidikan hingga ke peradilan.

Hakim bisa saja menolak mendengarkan rekaman untuk mendukung 193 barang bukti korupsi yang mendukung penersangkaan Setya Novanto, namun hakim menyatakan alat bukti hanya dapat dibuktikan dalam substansi materi dalam sidang pengadilan, bukan sidang praperadilan, karena sifat sidang praperadilan adalah peradilan administrasi, bukan menentukan bersalah tidaknya seseorang.

Selanjutnya adalah: Hakim praperadilan menyatakan terdapat kesalahan administrasi…

Kesalahan Administrasi

Itulah sebabnnya kemudian hakim praperadilan menyatakan terdapat sejumlah kesalahan administrasi KPK dalam penetapan Setya Novanto sebagai tersangka. Hakim Cepi Iskandar menilai penetapan Setya Novanto sebagai tersangka yang dilakukan di awal penyidikan dan di akhir penyelidikan tidak sah karena menurut KUHAP untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka bukan di awal penyidikan dan tidak boleh bersamaan dengan penerbitan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Realitasnya adalah Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersamaan dengan dimulainya penyidikan, yakni dengan penerapan surat perintah penyidikan No. 56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017. Seharusnya seseorang baru bisa ditetapkan sebagai tersangka manakala ditemukan dua alat bukti dalam penyidikan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP.

Pasal ini menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik mencari dan mengumpulkan alat bukti guna menemukan tersangka. Hakim praperadilan berpendapat seharusnya KPK dapat membedakan antara fungsi kerja penyelidikan dan penyidikan dalam rangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan.

Penyelidikan merupakan upaya menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana, sedangkan penyidikan merupakan upaya mencari barang bukti dan menentukan tersangka. Penetapan tersangka baru bisa dilakukan di akhir penyidikan, bukan di awal penyidikan.

Setelah membaca putusan hakim praperadilan dan pertimbangan hukumnya dalam konteks penegakan hukum formal (hukum acara) sebagai bagian dari pengaruh sistem hukum Eropa Kontinental sesungguhnya logis. Justru putusan praperadilan Setya Novanto ini seharusnya dapat menjadi refleksi bagi KPK untuk lebih berhati-hati, cermat, dan teliti dalam menetapkan tersangka korupsi melalui mekanisme uji KUHAP yang matang.

Selanjutnya adalah: Harapannya agar penetapan tersangka tak mudah digugat…

Tak Mudah Digugat



Harapannya adalah agar penetapan tersangka tak mudah digugat di praperadilan dan berakhir kalah. Lebih dari itu, kekalahan KPK dalam kasus Setya Novanto ini seharusnya tidak mengecilkan nyali KPK untuk terus mengungkap skandal megakorupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik ini.

Langkah taktis yang masih terbuka bagi KPK adalah KPK melapor kepada Komisi Yudisial (KY) atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim Cepi Iskandar dalam membuat putusan ini. Cepi Iskandar telah beberapa kali dilaporkan ke KY oleh sejumlah kalangan atas dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam beberapa kasus.

KY perlu melakukan eksaminiasi (menguji putusan hakim) apakah terdapat aspek pelanggaran etik dalam penerapan hukumnya. Kasus ini menyangkut kasus elite politik, bukan tidak mungkin terdapat pengaruh kekuasaan politik di dalamnya.

Langkah berikutnya adalah KPK perlu berjuang keras untuk memintal, merunut, dan menyelidiki serta menyidik kasus Setya Novanto ini dan kemudian kembali menetapkan sebagai tersangka karena menurut KUHAP tidak dibatasi secara limitatif bahwa jika seseorang menang dalam gugatan praperadilan tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka kembali.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 24 April 2015 tentang perlindungan hak tersangka tidak boleh diartikan sebagai bentuk proteksi terhadap tersangka yang menang dalam praperdilan dan kemudian tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka kembali.

Sesungguhnya kekalahan KPK dalam kasus Setya Novanto ini tak berarti berakhir pula pengusutan kasus dugaan korupsi dana proyek pengadaan KTP elektronik. Kekalahan KPK kali ini seharusnya menjadi cambuk untuk memperkuat barisan penyidik KPK agar memiliki energi dan pengetahuan hukum acara yang kuat guna terus membuka tabir korupsi yang diduga dilakuan oleh Setya Novanto dan kawan-kawannya.

 

 

 



 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya