SOLOPOS.COM - Prabang Setyono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (10/10/2015), ditulis Prabang Setyono. Penulis adalah Ketua Program S3 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret dan Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Lingkungan  Hidup Indonesia (IALHI).

Solopos.com, SOLO — Kelestarian hutan sebagai sumber plasma nutfah seharusnya dijaga berdasarkan nilai fungsi ekologisnya bukan sekadar dari aspek tutupan lahan hijauan.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Hutan sebagai komponen kekayaan sumber daya alam Indonesia memberikan kontribusi besar dalam kapitalisasi hasil hutan sebagai sumber devisa negara.

Kebakaran hutan jadi laku pemiskinan dari sendi ekonomi bangsa. Menurut Kantor Berita Antara, Indonesia menghadapi ancaman kerusakan hutan cukup tinggi.

Pada 1990 hingga 2005 kerusakan hutan Indonesia di urutan dua setelah Brasil.  Hadi S. Alikodra, pakar Kehutanan di Institut Pertanian Bogor (IPB),   mengatakan selama 15 tahun terakhir kerusakan hutan di dunia mencapai 148 juta hectare. Ada lima negara yang mengalami kerusakan hutan terluas.

Brasil di urutan pertama dengan hutan rusak seluas 42 juta hektare. Hutan di Indonesia yang rusak sekitar 28 juta hektare. Penyebab kerusakan hutan yang dominan adalah aspek manusia, kontribusi mismanajemen lebih dominan dibandingkan aspek bencana alam.

Bencana yang disebabkan aktivitas manusia inilah yang sering disebut bencana lingkungan yang bersifat slow on set disaster atau proses terjadinya perlahan tapi pasti.

Kerugian akibat bencana lingkungan ini secara signifikan akan berpengaruh pada proses pemiskinan masyarakat yang terkena dampak jika penanganannya tidak komprehensif dan efektif.

Peter H. Raven mengatakan hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10-30 jenis satwa seperti insekta (serangga) serta hewan besar lain dalam siklus rantai makanan.

Kasus kebakaran hutan menunjukkan secara de facto telah melumpuhkan rantai ekonomi daerah yang terkena dampak seperti di Sumatra dan Kalimantan, bahkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 156 titik api sumber kabut asap di Sumatra dan Kalimantan,  95 titik di Sumatra dan 61 titik di Kalimantan. Kabut asap pekat terutama menyelimuti wilayah Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Hal ini menunjukkan hutan kita memberikan kontribusi peningkatan nilai tambah rantai ekonomi bangsa dan  akan menurunkan nilai tambah rantai ekonomi tersebut jika terjadi bencana kebakaran hutan seperti saat ini.

Telah terjadi paradoks antara hutan sebagai sumber kekayaan menjadi hutan sebagai sumber kemiskinan. Dampak kebakaran hutan secara langsung memengaruhi hilangnya habitat satwa liar yang berarti putusnya rantai makanan di hutan tersebut.

Dampak lainnya pada mata air karena vegetasi sebagai penyimpan cadangan air telah hilang. Selain itu, terjadi peningkatan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi dalam proses perubahan iklim, terganggunya kesehatan masyarakat, dan lumpuhnya sendi-sendi ekonomi masyarakat karena transportasi terhambat.

Status bencana kebakaran hutan di Indonesia saat ini lebih didominasi oleh bencana lingkungan meskipun terdapat juga variabel bencana alamnya.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan perhitungan kerugian kebakaran hutan berasal dari produk domestik regional bruto dan biaya penanggulangan bencana asap.

Di Riau sudah menyedot dana BNPB sekitar Rp164 miliar atau sepertiga dari anggaran penanggulangan kebakaran nasional yang mencapai sekitar Rp500 miliar. Menurut data BNPB, kerugian perekonomian akibat bencana asap dari kebakaran hutan dan lahan di Riau selama Februari-April 2014 telah mencapai Rp20 triliun.

Kebakaran hutan tahun ini secara morfologi dan anatomi proses lebih dahsyat dibandingkan pada 2014. Terjadi peningkatan nilai kerugian secara signifikan.  Dana Rp20 triliun jika dimanfaatkan untuk dana pembangunan desa akan terserap oleh 2.000 desa di Indonesia dengan asumsi tiap desa mendapatkan dana hibah Rp1 miliar. [Baca: Plasma Nutfah]

 

Plasma Nutfah
Program pengurangan angka kemiskinan akan terkompensasi dari stimulus dana desa tersebut sehingga praktis bencana kebakaran hutan menghambat program tersebut.

Hutan sebagai sumber kekayaan plasma nutfah, nilai tambah devisa negara, pendukung mata air, kekayaan nilai ilmiah sebagai sumber bahan obat baru, dan sebagainya jika terbakar akan menjadi sumber kemiskinan masyarakat.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serbakekurangan yang terjadi bukan karena kehendak si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatannya.

Dampak kebakaran hutan berimplikasi pada rantai ekonomi kalangan menengah ke bawah terganggu dan menimbulkan kondisi ketidakpastian siklus pemenuhan kebutuhan primer.

Jika tidak diantisipasi akan menimbulkan pemiskinan masyarakat kalangan bawah. Ilustrasinya pada pencemaran udara akibat asap kebakaran hutan yang menimbulkan penyakit saluran pernapasan bahkan penyakit paru.



Individu yaung terjangkait penyakit dan berstatus tulang punggung keluarga tentu mengganggu stabilitas ketahanan ekonomi keluarga,  bahkan berpotensi menuju proses pemiskinan.

Dampak kebakaran hutan pada kalangan menengah atas dapat direduksi sedemikian rupa sehingga hanya bersifat sementara dan kondisi dapat dipulihkan dengan segera. Hutan sebagai sumber kakayaan di satu sisi akan memiskinkan di sisi lain.

Lingkungan hutan kita berstatus kritis karena kebakaran hutan yang bersifat kompleks. Hutan dengan kekayaan hayati ketika terbakar akan berubah statusnya menjadi miskin hayati.

Kebakaran akan memutus dinamika genetic drift dan genetic flow sebagai prasyarat kekayaan hayati. Kondisi seperti ini memunculkan fenomena kemiskinan hayati yang mengarah ke homogenitas jenis sehingga keseimbangan dan stabilitas ekosistem terganggu.

Hal terpenting yang harus disadari pemerintah saat ini adalah menjadikan momentum kebakaran hutan sebagai baseline agar tahun depan penanganan pelestarian hutan jauh lebih baik.

Pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) maupun perkebunan sawit harus membuat surat keterangan berkomitmen menjaga lahan dan betanggung jawab penuh ketika lahan terbakar, termasuk siap menanggung rimplikasi hukum.

Integrasi data geographic information system (GIS) dalam menentukan koordinat kebakaran berbasis dokumen izin HPH menjamin akurasi penanganan dan penanggulangan kebakaran hutan secara cepat, akurat dan tepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya