SOLOPOS.COM - Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan, Solo

Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan, Solo

Saya tidak tahu apa yang ada dalam bayangan dan benak Saudara Menteri Pendidikan dan Kebudataan (Mendikbud) saat ini. Namun, yang saya tahu, akibat dari kebijakan yang telah Saudara tempuh membawa implikasi luas, implikasi buruk bagi jutaan anak didik di seluruh penjuru Indonesia, tidak hanya di 11 provinsi yang harus tertunda mengikuti Ujian Nasional tahun ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya juga tidak tahu apa yang saat ini sedang Saudara pikirkan? Apakah Saudara bersedih, tenang, bersikap biasa saja manakala melihat jutaan anak bangsa yang duduk di kelas XII SMA/MA/SMK atas tidak tahu harus berbuat apa. Saya tidak tahu apakah yang Saudara pikirkan saat melihat ribuan guru pontang–panting, bertanya ke sana kemari mengenai nasib anak didik mereka.

Ujian Nasional yang karut-marut inilah bukti bahwa Saudara gagal menjalankan amanat sebagai seorang menteri. Saudara gagal menjalankan kewajiban untuk menjadikan dunia pendidikan makin baik dan mampu bersaing dengan negara tetangga. Saya mungkin terlalu ekstrem menilai Saudara. Namun, jika hal itu Saudara tanyakan kepada seluruh anak SMA/MA/SMK maka mereka akan menjawab dengan kalimat yang sama. Saudara mungkin memiliki parameter untuk mengukur keberhasilan Saudara selama menjadi menteri. Namun, kejadian ini telah mengubur semua prestasi yang pernah Saudara klaim dalam dunia pendidikan.

Kebinekaan Anak

Saudara Mendikbud, saya tahu Saudara hari ini pusing kepala memikirkan Ujian Nasional yang karut-marut. Saya lebih tidak tahu mengapa program tahunan ini tidak juga berubah menjadi baik dari tahun ke tahun. Selalu ada saja masalah, dari bocornya jawaban Ujian Nasional, menyontek bersama–sama dan saat ini masalah distribusi naskah Ujian Nasional.

Pada saat Saudara yakin bahwa pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA/MA/SMK akan berjalan lancar, nun jauh di pelosok Tanah Air yang terisolasi, para guru menertawakan Saudara. Menertawakan sebab mereka yang mengerti keadaan tidak pernah Saudara tanya sama sekali. Saudara duduk manis di singgasana kekuasaan di Kota Jakarta yang gemerlap. Saat Saudara memandang keluar, yang Saudara lihat adalah hiruk pikuknya Jl Jenderal Sudirman.

Pada saat saudara menoleh ke samping kiri atau kanan, yang Saudara lihat adalah mal–mal gemerlap yang mengumbar gaya hidup hendonis. Andai Saudara berkenan blusukan ke pedalaman Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, maka pastilah Saudara akan berpikir seribu kali untuk mengatakan Ujian Nasional siap dilaksanakan. Saya tidak tahu apakah Saudara menyesal telah dipilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas mengisi otak anak bangsa dengan berbagai macam latar belakan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.

Saya tidak tahu apakah Saudara memiliki bekal pemahaman yang luas mengenai keanekaragaman anak bangsa saat menjalankan tugas sebagai seorang menteri. Namun, saya menduga bahwa pemahaman Saudara mengenai itu semua tidak lengkap. Bisa jadi Saudara dikelilingi birokrat yang gemar membuat laporan ABS, asal bapak senang. Saudara ditelikung oleh aparatur di bawah sebab banyak yang mengincar kursi empuk yang Saudara duduki saat ini.

Maaf Tidak Perlu

Saudara Mendikud, pada saat jutaan anak SMA/MA/SMK menghadapi ketidakpastian, dengan enteng Saudara berkata meminta maaf! Anak–anak SMA/MA/SMK menjawab dengan sinis permintaan maaf Saudara dengan berkata,”Lebaran masih jauh, Pak Menteri!” Memang mulia jika seorang pejabat tinggi negara sudi meminta maaf. Namun, permintaan maaf itu terlambat, Saudara, dan tidak perlu serta jelas tidak cukup. Permintaan maaf itu tidak akan menghapus luka anak didik yang nasibnya Saudara ombang-ambingkan. Apakah Saudara berpikir dengan hati jernih tentang implikasi yang akan dirasakan oleh anak-anak didik itu? Mereka kecewa kepada para pemimpinnya.

Mereka adalah anak–anak yang masih memiliki idealisme untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran akibat kebebalan para pemimpinnya. Mereka semua, dengan kejadian ini, kehilangan kepercayaan kepada pemimpin mereka. Saudara mengajak anak–anak untuk jujur, namun Saudara tidak bersikap jujur kepada mereka.

Saya tahu bahwa Saudara telah mengambil tanggung jawab atas permasalahan ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat Saudara dipanggil Presiden, Saudara takut dimarahi oleh Presiden. Saudara tidak tahu bahwa jutaan anak sudah telanjur marak kepada Saudara. Mereka kecewa kepada Saudara. Ketakutan yang Saudara rasakan andai Presiden marah adalah bukti bahwa Saudara tidak memiliki jiwa besar layaknya seorang pemimpin.

Pemimpin sejati itu hanya takut dengan kemarahan rakyat yang kecewa. Bukan takut kepada orang yang mengangkat Saudara. Seorang presiden yang marah kepada Saudara, bagi anak–anak SMA yang saat ini tidak bisa mengikuti Ujian Nasional sesungguhnya tidak penting. Mereka tidak peduli apakah presiden menggebrak meja atau membanting asbak. Mereka hanya peduli kapan nasib mereka tidak dipermainkan.

Bukan Force Majure

Saya harap Saudara tidak marah kepada birokrat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak ada gunanya. Saudara juga jangan menyalahkan apalagi mengatakan bahwa penundaan Ujian Nasional tahun ini adalah force majure. Mau tahu apa kata anak–anak SMA/MA/SMK? Penyataan yang garing! Mengapa sampai terjadi force majure? Apakah tidak ada antisipasi dengan melakukan plan A, B, C bahkan hingga Z?

Jika hal itu tidak ada maka ini ibarat kiamat dunia pendidikan kita. Saudara mungkin merasakan kiamat itu misalnya dengan jabatan Saudara dicopot. Itu hal kecil. Kehilangan harta bukan apa–apa. Kehilangan nyawa cuma separuh. Namun, pada saat jutaan anak SMA/MA/SMK kehilangan kepercayaan kepada Saudara maka itulah kehilangan yang paling esensial, paling mendasar.

Ujian Nasional yang selama ini Saudara banggakan menjadi tolok ukur prestasi pendidikan nasional pada kenyataannya berjalan tidak tentu arah. Bagaimana Saudara mengukur prestasi itu jika ternyata masih ada jutaan anak yang menerima nasib sial sebab mereka gagal mengikuti Ujian Nasional bukan karena apa yang mereka lakukan? Andaikan mereka semua diberi bedil lalu diajak berperang untuk melakukan revolusi pendidikan, mereka pasti dengan suka rela maju berperang untuk dunia pendidikan lebih baik dari yang selama ini mereka rasakan.

Saya tidak tahu bagaimana cara Saudara menghargai jerih payah anak didik dalam mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional ini. Mereka pontang-panting mempersiapkan diri. Ikut les sana sini, mengikuti try out, mengikuti les privat dengan biaya mahal. Semua demi Ujian Nasional. Atau bagaimana cara Saudara menghargai tingkah polah orangtua dalam mempersiapkan anak agar tidak gagal dalam Ujian Nasional? Juga bagaimana cara Saudara menghargai jerih payah para guru dalam membimbing anak didik mereka?

Saudara Mendikbud, kejadian ini jangan Saudara katakan bahwa nasi telah menjadi bubur atau dengan kalimat permintaan maaf Saudara. Ujian Nasional yang menjadi hantu anak didik selama ini, saat ini menjadi hantu buat Saudara. Dengan kejadian ini bisa jadi berkah terselubung bagi segenap jajaran saudara untuk berani bersikap menghentikan Ujian Nasional. Ujian Nasional tidak dapat dinalar dengan logika apa pun.

Tiga tahun anak-anak belajar beraneka materi pelajaran, berlatih mengerjakan ribuan soal. Namun, mereka hanya Saudara uji dengan tiga mata ujian, menjawab 50 nomor soal. Lalu ujian yang tiga hari dengan 50 nomor soal itu digunakan untuk menentukan kelulusan anak. Logika ini sesat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya