SOLOPOS.COM - Kukuh Tejomurti (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (24/2/2016), ditulis Kukuh Tejomurti. Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulis juga peneliti pada Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional.

Solopos.com, SOLO — Masyarakat Indonesia patut mengapresiasi positif kebijakan uji coba kantong plastik berbayar. Kebijakan tersebut diinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Berdasar UU ini disepakati pengenaan biaya penggunaan kantong plastik belanja di usaha retail, seperti supermarket, hipermarket, dan minimarket. Kebijakan tersebut disepakati KLHK, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).

Kesepakatan berbentuk Surat Edaran Menteri LHK kepada kepala daerah bertanggal 17 Februari 2016 mengenai harga dan mekanisme penerapan kantong plastik berbayar. Untuk tahap uji coba, kebijakan ini dilaksanakan di 22 kota di seluruh Indonesia.

Pemerintah dan Aprindo menyepakati harga minimal per lembar kantong plastik Rp200, sudah termasuk pajak pertambahan nilai. Rencananya pemerintah akan secara berkala mengevaluasi kebijakan ini tiap tiga bulan sekali.

Meski memang harus dikatakan “terlambat” dibanding negara-negara lain dalam mengurangi penggunaan kantong plastik, kita harus tetap mengapresiasi kepedulian pemerintah melalui program pengurangan kantong plastik yang dapat berpengaruh positif meningkatkan kualitas lingkungan manusia yang sehat.

Negara-negara lain yang sudah melaksanakan kebijakan tanpa kantong plastik adalah India pada 2002, Denmark pada 2003, Belgia pada 2007, Irlandia pada 2007, Prancis pada 2007, Brasil pada 2007, Tiongkok pada 2008, Meksiko pada 2010, Italia pada 2011, dan Amerika Serikat pada 2013. [Baca selanjutnya: Isu Global]Isu Global

Perkembangan isu-isu global terkait lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia telah mengintervensi “kedaulatan” negara-negara di dunia dalam mengatur hukum nasionalnya, khususnya terkait pengelolaan lingkungan hidup.

Negara lambat laun meninggalkan teori “kedaulatan” tradisional yang menganggap “kedaulatan” negara adalah wilayah absolut dari sebuah negara, tidak ada kekuatan negara manapun yang mampu mengintervensi kebijakan-kebijakan nasional sebuah negara.

Dengan meningkatnya perhatian negara-negara di dunia terhadap hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi yang melebur dalam kerangka hukum internasional memengaruhi “menipisnya” kedaulatan negara dalam menciptakan kebijakan nasional.

Banyak negara yang semula mendorong ekonomi nasional dengan indutrialisasi yang sering kali berdampak pada pencemaran lingkungan karena tiada manajemen pengelolaan limbah yang baik.

Sekarang negara-negara yang mengaku sebagai anggota organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), harus mengurangi ego kedaulatan terkait pembentukan kebijakan-kebijakan nasional, khususnya terkait ekonomi dan lingkungan hidup.

Pada 1972, PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm, Swedia, yang dikuti 113 negara. Konferensi tersebut menghasilkan prinsip-prinsip umum untuk membimbing seluruh manusia dalam usaha pelestarian dan peningkatan mutu lingkungan hidup.

Selanjutnya pada 1982 dunia internasional menyepakati  hukum internasional dalam kerangka Konvensi Hukum Laut 1982 yang memberikan mewajibkan negara-negara peserta konvensi melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari bahaya pencemaran.

Perhatian dunia salah satunya  terfokus pada sampah plastik yang terkumpul di beberapa lokasi di samudera (zona konvergensi) atau pusaran samudera.

Kumpulan sampah ini terdiri atas kepingan-kepingan kecil sampah plastik yang mengapung di permukaan dan beberapa kepingan kecil lainnya yang tenggelam.

Berdasarkan riset Davilla Prawidya (2014), secara global sampah yang mencemari laut mayoritas adalah sampah plastik dengan persentase 60%-80% dari keseluruhan sampah di laut.

Tidak ada data ilmiah yang kuat mengenai asal-usul sampah tersebut. Diperkirakan 80% sampah plastik itu berasal dari daratan dan 20% berasal dari kapal.

Sampah yang berasal dari aktivitas di daratan misalnya tempat pembuangan akhir sampah yang dekat pantai atau sampah yang terbawa saluran-saluran air dan sungai di perkotaan.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sebagian wilayahnya dikelilingi Samudera Pasifik, terkait dengan pencemaran sampah plastik tersebut, berdasar kesepakatan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982  juga dapat dimintai pertanggungjawaban.

Indonesia wajib mengambil segala tindakan dan kebijakan nasional yang perlu untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang bersumber daratan dan kapal.

Indonesia sebagai produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, jika tidak kita antisipasi sejak dini, pada 2050 mendatan, diprediksi oleh sejumlah pihak pesisir pantai akan penuh tumpukan sampah.

Tampaknya gerakan awal untuk mengurangi penggunaan kantong plastik berbayar cukup baik untuk melatih masyarakat agar lebih peduli lingkungan. [Baca selanjutnya: Efek Samping]Efek Samping

Kebijakan kantong plastik berbayar sebagai gerakan awal harus dikaji secara bertahap, mulai dari harga kantong plastik, akuntabilitas dana Rp200 per kantong plastic akan digunakan untuk apa, sampai dengan penggantian kantong plastik dengan bahan nonplastik.



Terkait harga Rp200 per kantong plastik tampaknya kurang begitu memberi efek samping kepada orang-orang yang berbelanja di pusat perbelanjaan modern.

Harga Rp200 per kantong plastik masih terlalu murah dan tidak memengaruhi jumlah kantong plastic yang digunakan. Orang-orang mampu yang berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan tidak akan merasakan efek harga kantong plastik tersebut.

Pembelanja lebih memilih membayarkan koin Rp200 untuk membeli kantong plastik daripada menjadi beban dan memenuhi isi dompet mereka. Kebijakan KLHK tersebut juga belum menyasar warung-warung tradisional dan pasar tradisional yang tidak termasuk golongan usaha ritel.

Rencana pemerintah mengevalusi kebijakan kantong plastik berbayar tiap tiga bulan sekali tepat dilakukan, terutama terkait harga, akuntabilitas dana hasil penjualan kantong plastik, dan tempat-tempat (warung) belanja di luar usaha ritel modern yang masih belum terkena kebijakan tersebut.

Sembari menunggu evaluasi pemerintah atas program kantong plastik berbayar tersebut,  pemerintah daerah sebaiknya membangkitkan kesadaran masyarakat dengan mengimbau yang hendak berbelanja sebaiknya membawa kantong belanja mandiri atau tiap orang yang berbelanja di pusat perbelanjaan dikenai batasan dalam menggunakan kantong plastik.

Pemerintah daerah dapat mengajak para pelaku usaha mikro atau usaha kecil di daerah untuk membuat kerajinan yang berfungsi sebagai kantong belanja.

Kerajinan kantong belanja tersebut dibuat dari bahan nonplastik yang mudah terurai dan dapat dititipkan atau dijual di pusat perbelanjaan (ritel) modern sebagai pengganti kantong plastik berbayar.

Dengan gerakan pemerintah daerah tersebut selain akan menghidupkan perekonomian pengusaha-pengusaha mikro atau kecil juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi penggunaan kantong plastik di tengah masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya