SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (26/9/2017). Esai ini karya Udji Kayang Aditya Supriyanto, seorang pembaca buku dan pengelola Buletin Bukulah! Alamat e-mail penulis adalah udjias@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — September ini benar-benar bulan kenceng dan serius, isinya ribut terus, tak seceria dendang Vina Panduwinata. Di sana sini orang sibuk menggali ingatan ihwal Gerakan 30 September (G 30 S) 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengingatan tersebut tentu saja hadir mewujud dalam debat tak habis-habis, seakan-akan tanpa ujung, padahal penelitian-penelitian mutakhir sebetulnya sudah pantas merevisi pengetahuan yang dicetak rezim Orde Baru, pengetahuan yang (sayangnya) masih mengendap di benak kebanyakan kita.

Perseteruan pengetahuan mutakhir dan pengetahuan kolot tentang G 30 S dan PKI tak pernah menemukan titik temu untuk setuju. Kedua pengetahuan itu sampai kini selalu beradu. Pengetahuan yang kadung mengendap di benak kebanyakan khalayak kita itu kini menuntut penayangan kembali film ”terburuk” sepanjang sejarah Indonesia, Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984).

Setiap film propaganda bisa dipastikan selalu buruk. Arifin C. Noer selaku sutradara menggarap film sesuai dengan pengetahuan yang diatur Orde Baru, dengan data-data sejarah masih rancu, atau dirancukan. Film itu pun terasa sangat menonjolkan heroisme Angkatan Darat, terutama Soeharto, manusia murah senyum yang paling diuntungkan dengan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.

Meski dengan segala keburukannya, Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI telah sukses menjadi film berpenonton terbanyak sepanjang sejarah Indonesia, mengalahkan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 (2017) sekaligus.

Konon Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 telah ditonton enam juta orang lebih dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 sudah berpenonton tiga juta orang lebih meski sampai hari ini belum turun layar. Kita sama-sama tahu, penonton Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI itu adalah seluruh generasi Orde Baru. Bayangkan, betapa banyak jumlah penonton film itu!

Kita tidak usah capek-capek ikut berdebat penting tidaknya ditayangkan kembali Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Jelas film tersebut tak relevan dan memalukan bila nekat ditayangkan lagi hari ini. Usul Presiden Joko Widodo untuk menggarap film G 30 S versi milenial, dengan imbuhan ”reborn” mungkin, itu tentu lebih baik.

Film G 30 S versi baru memungkinkan revisi pengetahuan sejarah terjadi. Sejarah yang dulu dikaburkan, ditutupi, dan direkayasa Orde Baru dapat diperbaiki dengan kehadiran film versi baru. Dengan catatan film versi baru itu sanggup menafsir pengetahuan sejarah termutakhir.

Selanjutnya adalah: Mengambil hikmah sebagaimana diajarkan orang saleh…

Mengambil Hikmah

Ketimbang capek berdebat, lebih baik kita mengambil hikmah sebagaimana yang diajarkan orang saleh. Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI setidaknya menunjukkan kepada kita betapa demi membangun suatu rezim baru, mencari dan menghabisi kambing hitam itu diperlukan.

PKI, pada akhirnya, menjelma jadi kambing hitam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. PKI bukan hanya kambing hitam yang disembelih pada 1966, tapi juga terus disembelih ulang pada masa-masa setelahnya. Menyalahkan PKI sungguh seasyik menuduh Yahudi, Tiongkok, dan tuduhan lainnya yang pada era media sosial ini begitu mudah dilontarkan.

Sekian teks secara terang-terangan memunculkan istilah ”kambing hitam” dalam pembahasan ihwal peristiwa G 30 S. Pernyataan Djawoto dalam buku Hario Kecik, Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009: 417),”Saya dan Soepeno berpendapat bahwa kejadian itu adalah suatu ledakan dari keadaan kontradiksi internal Angkatan Darat. Dalam hal ini PKI dijadikan kambing hitam.”

Di novel Tapol (2002) garapan Ngarto Februana, istilah kambing hitam juga dimunculkan. ”Dia naik ke puncak kekuasaan dengan mengorbankan jutaan orang. Bisa jadi PKI hanyalah kambing hitam. Peristiwa G 30 S itu akibat konflik internal di dalam tubuh Angkatan Darat,” tulis Ngarto melalui tokoh bernama Mirah. Kita mudah menebak siapa yang dimaksud ”dia” dalam kutipan itu.

Pernyataan lebih gamblang kita jumpai di esai Membongkar Kleptokrasi Warisan Soeharto: Mungkinkah? (2006) garapan George Junus Aditjondro. ”Pembantaian 1965-1966, yang dibarengi dengan pemenjaraan sepuluh ribu orang terpelajar di Pulau Buru selama sepuluh tahun, meletakkan dasar bagi suatu politik teror, di mana setiap orang yang menentang kebijakan pemerintah, atau menentang suatu proyek atau program pemerintah, tanpa banyak cingcong dapat dicap ‘PKI’, dan serta merta dibungkam. Politik kambing hitam ini, segera melebar dengan banyak ‘kambing hitam’ lain, yang disesuaikan dengan sejarah pergolakan daerah-daerah di Kepulauan Nusantara dalam proses integrasinya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”

Aditjondro juga menulis,”Politik kambing hitam begini, yang dikawal oleh militer dengan komando teritorialnya dari Jakarta sampai ke desa, memungkinkan Soeharto bersama kerabat dan sahabatnya, menjadi penguasa tanah terluas di Nusantara, dalam berbagai bentuk hukum (HGU, HPH, HTI, bahkan tanah milik). Makanya, tidak mungkin membayangkan akumulasi kekayaan oligarki ini, tanpa berbasiskan pada politik kambing hitam, yang diletakkan dasarnya pada pembantaian 1965-66.”

Tiga teks menyatakan politik kambing hitam terjadi dan kambing hitam itu adalah PKI. Kita mesti tahu politik kambing hitam dalam sejarah Indonesia begitu serius dan mengerikan. PKI dan kambing hitam tak selalu dibahas lewat debat serius dan menjengkelkan.

Selanjutnya adalah: Peristiwa politik diungkit dalam humor…

Humor

Peristiwa politik mengerikan pun boleh diungkit dalam humor. Kita menjumpai humor itu pada rubrik Anehdot Lagi di majalah Humor Nomor 53, 9-22 Desember 1992. Ada dialog singkat tentang komunis di antara dua ekor kambing. ”Kau tahu, paham komunis kini sudah bubar di kandangnya sendiri?” tanya seekor kambing putih.

Kambing hitam menjawab,”Benar, tapi akibatnya, popularitas saya kini jadi menurun, bahkan bangsa kita semakin terancam punah.” Kambing putih heran,”Kenapa begitu?” tanya dia. “Kini banyak manusia yang bersuka cita dengan pesta kambing guling,” pungkas kambing hitam.



Dalam humor, punchline atau banyolan pokok biasanya ditempatkan pada bagian akhir. Kita wajar mengira punchline humor dua ekor kambing itu ada di ”pesta kambing guling”. Kendati begitu, ide atau gagasan dari humor justru terdapat pada pernyataan kambing hitam tentang bubarnya paham komunis, ”Akibatnya, popularitas saya kini jadi menurun.”

Kita lantas mengerti kegusaran kambing hitam sebab di Indonesia ini yang membesarkan nama kambing hitam memang komunisme, yang menubuh sebagai PKI. Selepas PKI, istilah kambing hitam masih sering dipakai, namun ingatan pada ”kambing hitam itu PKI” selalu tersisa.

Humor sebagai majalah gerrr nasional santai saja terus memunculkan kambing hitam di sekujur majalah. Pemunculan kambing hitam itu rupanya kena teguran melalui surat pembaca kiriman Rudianto yang dimuat di majalah Humor Nomor 95, September 1994.

Rudianto menulis,”Saya mulai membaca Humor tahun 1991. Saya punya usul. Cover sebaiknya memfokuskan kriteria umum yang lagi hot dan seru, agar kelihatan dewasa. Selain itu, dalam penulisan, jangan terlalu berlebihan menyoroti figur yang dikambinghitamkan, nanti repot, lho! Juga saya berharap, majalah Humor akan selalu bertahan untuk hidup selamanya dan tidak terkena problem kode etik jurnalistik seperti tiga majalah yang terkena kartu merah. Semoga.”

Setelah tertawa membaca humor dua ekor kambing tentang komunis, kita beralih ke rasa sedih karena menengok surat pembaca dari Rudianto. Kalau kita hendak mengurusi isu komunis secara serius, akademis, dan intelek berarti harus wani perih berdebat dengan orang-orang yang pengetahuan sejarahnya cetakan Orde Baru.

Kita mau bercanda pun rupanya tetap dibayang-bayangi repot dan bahaya. Kita melipir menghindari perdebatan isu komunis, ketemunya debat khalayak sastra Indonesia ihwal kiprah Denny J.A. dan Narudin Pituin. Menurut saya, harus dipertanyakan kompetensi kesastraan mereka. Aduh, selain ulang tahun ke-20 Harian Solopos, September ini tidak ada ceria-cerianya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya