SOLOPOS.COM - Kali Pepe di Solo (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (15/3/2018). Esai ini karta M. Fauzi Sukri, penulis buku Guru dan Berguru (2015) dan Pembaca Serakah (2017). Alamat e-mail penulis adalah emfauzisukri@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Tiap kali hujan turun saya teringat seorang tokoh bernama Ki Wiron Lumut. Dia adalah seorang pertapa dan pemikir ekologis di bumi Solo. Dia meninggalkan Kidul Tanggul, desa tempat tinggal dia, yang sering kebanjiran tiap hujan turun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ki Wiron Lumut memutuskan pergi ke Brang Wetan, untuk bersemedi ekologis, setelah berkali-kali menghadap raja atas banjir yang menimpa desanya tapi tidak pernah ditanggapi. Ki Wiron Lumut memohon agar raja segera membuat kebijakan ekologis terhadap sungai di tanah Solo.

Menurut pengatamannya, masa depan permukiman masyarakat, harta benda, dan anak-anak mereka sangat terkait dengan kelestarian ekologi sungai. Pernyataan dan permohonan tidak pernah ditanggapi. Barangkali karena dia hanya dianggap sebagai penduduk biasa.

Dia bukan sebagai pertapa ekologis yang sudah melakukan semedi dan penelitian terhadap sungai yang terus membanjiri desanya. Akhirnya dia memutuskan meninggalkan desanya untuk sekali lagi bersemedi.

Selama meninggalkan desa untuk semedi ekologis itu terjadilah peristiwa aneh di desa tersebut. Seorang perempuan hamil, yang suaminya meninggal tertimpa pohon roboh, tidak mau menerima bantuan dan pertolongan para tetangga.

Ekspedisi Mudik 2024

Kepada para tetangganya, perempuan itu selalu mengatakan bahwa dia masih mampu. Sebenarnya si bayi dalam kandungannyalah yang selalu menolak, menggeliat, dan menendangkan kaki pada perut perempuan itu tiap kali ada orang yang hendak menolong.

Pada satu hari, desa si pertapa ekologis dan perempuan hamil itu dilanda  banjir besar. Para tetangga hendak menolong si perempuan itu, tapi tetap ditolak. Calon ibu itu naik ke atap rumah. Dan di atas atap rumah itulah, si bayi lahir.

Selanjutnya adalah: Alam memberikan reaksi dahsyat

Reaksi Alam

Bayi ini diberi nama Empyakwati. Tiba-tiba alam memberikan reaksi dahsyat. Saat bayi itu kali pertama menangis, air banjir surut dan semakin surut bersama pecahnya tangis si bayi yang membahana sampai akhirnya air mengering di tanah-tanah yang kebanjiran. Masyarakat takjub.

Seperti sudah diperkirakan Ki Wiron Lumut, bayi itu hanya akan berumur 40 hari dan meninggal. Sang bayi hanya mengingatkan dan sekaligus memberikan peringatan keras. Sang bayi itu adalah simbol kehidupan masa depan yang bisa menjadi tumbal ekologis tiap kali kebijakan ekologis diabaikan, apalagi jika dengan sengaja dicederai dan dikhianati.

Ki Wiron Lumut barangkali benar, namun seperti tiap kealpaan, manusia sering berlupa. Lagi pula, arus perjalanan ekologi dan sejarah manusia sering hanya bertaut dalam suatu arus air pada waktu musim panas yang tenang: tak terdengar oleh masyarakat. Akan diingat lagi jika sudah mulai memasuki musim hujan dan banjir mengancam.

Begitu juga kita ingat dan lupa dengan tokoh Ki Wiron Lumut. Tiap kali air turun dari langit, air hujan selalu tahu dan tak pernah lupa ke mana harus bergerak mengalir melalui jalur-jalur yang sudah diarahkan alam: menurun sampai menemukan aliran sungai.

Kita sering tak begitu siap, terutama saat sungai sudah kita tinggalkan. Sejak abad ke-19, sungai secara perlahan-lahan bukan lagi menjadi perhatian kita. Orang Jawa sebagai masyarakat agraris sudah mulai berubah atau diubah secara paksa.

Kita tahu bahwa sejak kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) dan pada 1830 pecah perang di Eropa selama sembilan tahun yang dipicu pemberontakan Belgia terhadap pemerintahan Raja Willem I, praktis kas pemerintah kolonial Hindia Belanda kosong melompong, habis untuk membiayai perang.

Selanjutnya adalah: Terjadilah revolusi kapitalisme agrobisnis

Agrobisnis

Sebagai salah satu solusi, terjadilah revolusi kapitalisme agrobisnis berorientasi tanaman ekspor di Jawa. Inilah proyek raksasa dari Van den Bosch yang kemudian terkenal sebagai Tanam Paksa. Selama 1831 sampai 1877, perbendaharaan pemerintah Belanda menerima 823 juta gulden dari hasil agrobisnis di Hindia Belanda (Vlekke, 2016).

Akibat sampingannya, seperti yang kemudian ditulis Clifford Geertz, antropolog dari Amerika Serikat, terjadilah involusi pertanian di Jawa. Sawah yang oleh Van den Bosch awalnya konon tidak boleh digunakan untuk agrobisnis mulai digantikan oleh tanaman agrobisnis seperti tebu (dan tanaman ekspor lainnya) di berbagai daerah.

Sawah semakin menyusut secara drastis. Dalam penyusutan ini terjadilah penyusutan kepemilikan tanah sawah yang awalnya menjadi lahan utama ekonomi rakyat. Akibatnya, seperti yang dilaporkan pejabat pemerintah kolonial Belanda, beribu orang berjalan sempoyongan, terjatuh-jatuh di tegalan, membanjiri sawah yang hampir menguning.

Para korban ini punya istilah aneh: wong manukan! Inilah manusia lapar yang tak lagi punya sawah, tak punya tempat keluarga bernaung di desa, dan tak punya kesempatan bekerja di pabrik atau di kota. Perkebunan Belanda memiskinkan petani.

Yang miskin semakin miskin dan akhirnya berbagi kemiskinan di antara sesama miskin. Di luar akibat sosial ekonomi itu terjadilah yang biasa terjadi: jika sungai sebelumnya dipelihara bersama, sebagai aset pertanian bersama, seiring dengan memudar atau bahkan berbahayanya pertanian, sungai tidak lagi diurus bersama dan akhirnya dibelakangi.

Dan yang lebih memperparah, terjadilah perkembangan budaya baru di Jawa agraris: urbanisme, sebagai pusat berhidup. Sejak awal abad ke-20, para pemuda penting mulai tidak lagi perlu menginjak tanah apalagi menjadi petani yang pergi ke sawah berkat pendidikan modern dan pekerjaan urban.

Selanjutnya adalah: Tersadarkan bahwa tidak ke sawah bisa lebih kaya

Tidak ke Sawah

Yang di desa mulai tersadarkan juga bahwa ternyata kalau tidak pergi ke sawah bisa lebih kaya, tidak seperti kakek dan nenek mereka yang tetap saja miskin bahkan banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka

Itulah awal mula sungai mulai semakin jelas hilang kedungnya, terutama di mata bertinjauan ekonomis para pemuda. Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Jawa, dari mata air (tuk) di Pegunungan Seribu di perbatasan Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah sampai bermuara di Ujung Pangkah, Kabupaten Gersik di Jawa Timur.

Sungai ini adalah warisan alam yang megah nan melimpah yang bahkan membentuk warisan budaya masyarakat, tapi mulai dibelakangi, terutama jika kita melihat rumah-rumah yang dibangun membelakangi sungai-sungai di sekitar Solo dan daerah lainnya.

Perubahan pola peradaban ekonomi dari dhasaran agraris ke industri (perkebunan lalu tekstil, teknologi, dan jasa) mengubah nasib dan peradaban sungai. Sejak pertengahan abad ke-20, terlihat betapa masyarakat Solo seperti tidak begitu tahu bagaimana harus mewarisi sungai terpanjang ini.



Bengawan Solo kemudian sekadar menjadi saluran air saja (got) yang nan panjang untuk menghanyutkan sampah di rumah-rumah (terutama yang di pinggir sungai), sebagai saluran limbah industri tekstil, sebagai sekadar saluran air di musim hujan, sebagai sungai wisata atau tempat pemancingan sedikit orang, sebagai sungai yang dibiarkan tiada dalam keberadaan: tak usah dilihat apalagi dipermasalahkan, atau sebagai entah apa.

Gamang kolektif? Yang jelas, di Kota Solo yang sudah memproklamasikan tidak punya sawah, sungai bukan lagi sebagai bagian integral pertanian. Pada 1950-an, perubahan persepsi dan perilaku terhadap sungai itu tampak dalam karya sastra.

Selanjutnya adalah: Perubahan besar persepsi masyarakat Solo

Persepsi

Dalam novel Solo di Waktu Malam, Kamadjaja (1950: 84-5) pernah menulis tentang perubahan besar persepsi masyarakat Solo: sungai menadi tempat pariwisata. Simaklah puisi Kamadjaja ini: Tirtonadi yang permai/ Di tepi sungai/ Suatu kebun yang permai/ Riuh dan ramai/

ltu suaranya air/ Mendesir-desir/ Dari pintu air/ Terjun· mengalir/ Pun di sana tempatnya/ Beristirahat/ Melepaskan lelahnya/ Hibur hatinya/ Sepandjang lembah sungai/ Teratur rapi

Sungguh elok dan permai/ Di Tirtonadi.

Sumarno dan Darmi (atau Miss Neng), istri simpanannya, juga puluhan pemuda urban Solo yang sedang kasmaran pada masanya naik perahu kecil beputar-putar dalam kolam menikmati hawa terang bulan.



Kemudian ia naik dari jembatan kecil. Di ujung jembatan itu terdapat tempat duduk di bawah langit biru yang indah menyegarkan pemandangan (Kamadjaja, 1950: 98). Sungai adalah tempat pariwisata bahkan pada malam hari.

Kamadjaja juga menjelaskan tipologi pengunjung wisata sungai itu. Pihak laki-laki merdeka! Segala macam laki-laki datang di sana. Dari pengikut agama sampai orang-orang yang seperti tidak ber-Tuhan. Kadang-kadang ada yang dengan sembunyi-sembunyi dan kebanyakan berterang-terang. Berterang-terang pula bersama dengan perempuan pelesiran.

Sungai, terutama di sekitar pintu air Tirtonadi, adalah tempat parisiwata, bukan lagi sebagai bagian dari sistem perairan pertanian atau agrobisnis. Debagaimana diberitakan Panjebar Semangat (20 Oktober 1956), sungai yang menjadi bagian integral Taman Partini itu sebagian dijadikan ”taman lalu lintas”.

Sejak itu, riuh dan ramai suara air sungai mulai tergantikan suara (otomotif) kendaraan. Barangkali, sungai sebagai bagian dari wisata urban hanya terjadi di Tirtonadi, namun setelah kehadiran kendaraan bermotor tidak pernah lagi berhasil dibangkitkan. Kita bukan makhluk Venesia di Italia yang mengagungkan wisata air sungai.

Dalam majalah Panjebar Semangat, (No. 48 Tahun 42, 29 November 1975), kita membaca puisi Tony Ismoyo berjudul Grindulu: Ilimu sumlempit tengahing gegunungan/ Ngampili tegal garing lan sawah aking/ Ngoncori palemahan wadhahing penguripan/ Cuwilaning dataran kutha Pacitan// Kedhung Mote kebak galeng gedhe-gedhe/ Kedhung Theng ana blendeng sakrembeng/ Kedhung Grombyang ana kutuke sakendhang.

Selanjutnya adalah: Semua itu kisah masa lalu

Kisah

Semua itu adalah kisah-kisah masa lalu, kata sang pujangga Jawa modern. Sungai sudah bukan lagi bagian dari sawah dan masyarakat agraris. Sekarang atau sejak 1975, bahkan tahun-tahun sebelumnya, seakan-akan hendak mengulang keluhan akbar Ronggawarsita dari abad ke-19, Tony Ismoyo sang pujangga Jawa modern berujar bernas: Necep sabdane pujangga waskitha/ Pasar-pasar ilang kumandhange/ Kali-kali ilang kedhunge.



Urbanisme yang menjadi penggerak Tanah Jawa menjadi kota-kota memaksa kali-kali ilang kedhunge. Dalam arus perubahan itu, ekologi (kedhunge) sungai sebagai bagian integral sosial ekonomi masyarakat berubah bahkan tampak semakin ditinggalkan.

Kedhung adalah ekologi budaya bersungai atau papan kang dadi asal utawa paklumpukan dalam Bausastra Jawa karya Poerwadarminta (1939: 202) memang tidak ambruk, sungai masih ada, tapi dibelakangi. Pemerintah memang masih tampak peduli terhadap sungai dengan mengeruk, membangun tebingnya, bahkan di beberapa sungai dibangun taman.

Ekologi dan fungsi sungai sudah hampir tidak bisa diselamatkan lagi. Kita sudah begitu lama tidak melihat bahkan melarang bocah mandi dan bergembira di sungai. Kita sudah lama sekali tidak melihat perempuan dan lelaki mencuci di sungai.

Kita sudah jarang sekali melihat sungai digunakan sebagai bagian dari budaya bertani. Kita jarang melihat kisah pemuda dan pemudi berbahagia di sekitar sungai. Apa yang diresahkan Ki Wiron Lumut tampaknya akan terus terjadi.

Pada bulan-bulan penuh hujan atau pada tahun-tahun mendatang kita sangat membutuhkan sungai, namun mungkin hanya hujan yang begitu dekat dan memahami sungai.

 

 

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya