SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (22/2/2016), ditulis Aris Setiawan. Penulis adalah etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Solopos.com, SOLO — Komposisi musik berjudul Freedom Jazz Dance karya Eddie Harris menjadi catatan penting bagi sejarah musik Indonesia.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Komposisi itu dimainkan seorang pianis cilik kelahiran Bali bernama Joey Alexander yang baru bermumur 12 tahun di Microsoft Theater, Los Angeles, Amerika Serikat, tempat Grammy Awards Premiere Ceremony digelar (Senin, 15 Februari 2016).

Sebelumnya Joey tak banyak dikenal publik Indonesia. Sebagai anak-anak ia telah, meminjam istilah Andre P. (2015), memilih “jalan sunyi” dalam bermain musik.

Ia tak menjatuhkan pilihan bermusiknya pada genre pop atau dangdut yang saat ini sedang digandrungi di Indonesia, namun ia memilih musik jazz.

Ia tak memiliki penggemar alay yang menjerit-jerit di tepi panggung sambil membawa foto-fotonya, seperti di acara-acara musik setiap hari yang disiarkan televisi kita.

Ia hanya tekun menatap deretan tuts piano. Joey memang tak mengumbar kehadiran fisik dalam bermusik, tak melempar senyum, apalagi membuka baju disertai gerakan sensasional.

Ia tak berniat menjadi idola, apalagi menjadi artis dengan mengikuti ajang ”idol-idolan” dan ”talent-talent-an”. Ia bermain musik semata karena ia suka, tidak lebih.

Jazz memang bukan musik arus utama di negeri ini. Kehadiran Joey pada awalnya tak pernah diperhitungkan. Ia pernah tampil di Java Jazz dengan musisi-musisi ulung negeri ini, namun ia segera dilupakan.

Eksistensinya kala itu kalah oleh gosip artis yang lebih heboh, kalah oleh kontroversi musisi yang terjun ke dunia politik, kalah oleh kisah perceraian artis, kalah oleh kasus-kasus korupsi negeri ini.

Bagi Joey, jazz adalah musik anak-anak, wahana yang membuat ia bisa bebas berimprovisasi dan berimajinasi. Ia bisa mencurahkan segala kegundahan hati dan keriangan rasa lewat pemainan nada dan harmoni.

Jazz adalah musik yang mempribadi, sangat personal, memberi ruang seluas-luasnya bagi musisi untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dan terbuka.

Jazz tak terpaku dengan belenggu berujud pakem-pekem tradisi yang mengikat kuat. Di situlah Joey menemukan dunianya. Dunia yang bagi sebagian orang dianggap aneh dan asing.

Maklumlah, jazz adalah musik yang sulit dimainkan, sulit dimengerti, dan sulit dinikmati, bahkan sering kali membingungkan. Mendengarkan musik jazz kadang tak cukup hanya berbekal telinga, namun harus disertai rasa dan terutama otak untuk berpikir.

Musik jazz tak ubahnya lingkaran labirin atau sama seperti bermain puzzle, banyak kejutan dan temuan-temuan baru yang tak terduga. Memainkan komposisi musik jazz berarti bersiap menemui segala kemungkinan.

Memainkan musik jazz seperti seorang detektif yang mengungkap sebuah kasus, kadang berhasil dan kadang tidak. Saat seseorang bermain jazz, kadang ia begitu bagus–berhasil–dalam berimprovisasi, namun kadang ia menemui jalan buntu alias tak bisa berbuat apa-apa, monoton, dan hambar.

Karena itu, jika ada seseorang yang mampu memainkan musik jazz dengan ”memukau” bahkan mendekati ”sempurna”, berarti ia adalah salah seorang jenius yang pernah ada. Begitulah yang terjadi pada Joey.

The New York Times edisi 12 Mei 2015 menyebutnya sebagai bocah ajaib dan Majalah Down Beat edisi 5 Mei 2015 menyatakan ”jika kata jenius memiliki arti, maka anak inilah (Joey) wujudnya”.

Dengan demikian, menikmati jazz tentu tidak sama dengan menikmati musik pop atau dangdut koplo yang semata mengandalkan goyang dan lirik sensual.

Jazz umumnya dikenal sebagai musik orang tua, kuno, dan tak laku di pasaran insdustri musik kita. Banyak forum-forum musik jazz digelar di negeri ini, namun jumlah penonton dapat dihitung dengan jari.

Jikalau ada forum musik jazz besar layaknya Java Jazz (Jakarta), kadang-kadang hanya mengandalkan sensasi, mendatangkan artis-artis yang tak memiliki dasar musik jazz, namun terkenal karena kontroversinya.

Lihatlah kemudian artis musik pop, dangdut,  bahkan campur sari sering kali diundang dalam forum musik jazz hanya karena dianggap lebih menjual dan mendatangkan keuntungan.

Sementara musisi-musisi yang dengan teguh menziarahkan hidup dan kerier dalam musik jazz kebanyakan tak terpengaruh dengan ingar-bingar dunia hiburan. [Baca selanjutnya: Idealisme]Idealisme

Mereka tetap berkelana dalam nada-nada sunyi yang mereka tekuni. Mereka tak terbawa mainstream dengan menjual idealisme demi segenggam upah.

Oleh karena itu, musik jazz adalah musik yang baik dalam mendewasakan arah berpikir seseorang. Joey dengan sadar mengambil jalan itu.

Ia terkenal bukan karena sensasi ketampanan fisik yang mampu membuat gadis-gadis menjerit histeris, namun karena bakat besar yang dimilikinya.

Kita bisa membaca awal mula persentuhan Joey dengan musik jazz lewat biografi singkat yang kini banyak tersebar di media online. Joey belajar bermain piano dengan keyboard listrik kecil pemberian ayahnya.

Jari-jarinya yang mungil tak menghalangi kelincahannya. Ia sering mendengar komposisi musik jazz era 1990-an koleksi ayahnya. Bakat itu semakin tumbuh dan terus tumbuh.

Tidak ada kursus jazz formal di tempat tinggalnya di Bali. Joey mulai bermain dalam jam session bersama musisi-musisi jazz Bali dan Jakarta. Pada akhirnya ia berkesempatan bermain untuk Herbie Hancock, duta UNESCO, di Jakarta saat usianya delapan tahun.

Bakatnya semakin terasah dan dibuktikan dengan meraih Grand Prix dalam Master-Jam Fest 2013, kompetisi musik jazz untuk segala usia di Odessa, Ukraina, yang diikuti 43 musisi dari 17 negara.

Puncaknya pada 2016 ia masuk sebagai nomine Grammy Awards dalam kategori Improvisasi Jazz Solo Terbaik lewat karya Giant Steps dan Album Instrumental Jazz terbaik lewat karya My Favorite Things.

Di kategori Best Jazz Instrumental Album, Joey dikalahkan musisi jazz senior John Scofield. Musisi Christian McBride mengalahkannya di kategori Best Improvised Jazz Solo.

Walaupun ia tak meraih penghargaan itu, masuk dalam nomine adalah pencapaian yang monumental. Secara khusus ia menjadi tamu kehormatan untuk mempertontonkan kebolehannya dalam Grammy Awards Premiere Ceremony.

Semua pengunjung terkesima dan langsung memberikan standing ovation. Kala artis-artis negeri ini sekadar bermimpi dapat berjalan di karpet merah Grammy Awards, anak bermur 12 tahun itu telah melakukannya.

Ia menjadi yang pertama, sekaligus mungkin juga satu-satunya. Semua kerja kerasnya dihargai pada hari itu. Joey harus rela tak belajar di gedung sekolah layaknya anak-anak lain sebagai akibat dari pilihannya menekuni dunia musik jazz.

Setiap hari dihabiskan untuk berlatih dan bermain jazz keliling dunia. Joey akan tampil di Newport Jazz Festival yang bergengsi pada Agustus mendatang. Begitulah bakat itu diasah dan diasuhpada saat pendidikan di negeri asalnya berusaha menghambat dan mengekangnya.

Saya yakin, prestasi itu tak akan tercapai jika Joey disibukkan dengan agenda-agenda pelajaran sekolah yang menyita waktu. Bakat anak di negeri ini semata-mata ditentukan saat ia berhasil menyelesaikan soal Ujian Nasional.

Selebihnya, bakat-bakat bermutu itu terkubur bersama mimpi dalam tumpukan buku-buku pelajaran yang menjemukan.

Saya juga yakin musik yang terbebas dari agenda komersialisme, kapitalisme, dan politik adalah sarana pendidikan ideal bagi seorang anak. Jazz adalah musik itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya