SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih kalis.mardiasih@gmail.com Guru Bahasa Inggris

Kalis Mardi Asih kalis.mardiasih@gmail.com Guru Bahasa Inggris

Kalis Mardi Asih
kalis.mardiasih@gmail.com
Guru Bahasa Inggris

Esai ini saya tulis untuk menanggapi esai M. Dalhar berjudul Dari Gaya Menuju Makna (Solopos edisi 29 November 2013) dan esai Danang Muchtar Syafi’i berjudul Menjaga Autentisitas Nalar Beragama (Solopos edisi 13 Desember 2013).

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Dua penulis itu, yang semua laki-laki, sama-sama membahas jilbab bagi muslimat. Saya menulis esai ini berdasar pengalaman saya sebagai muslimat yang mengenakan jilbab. Esai ini saya awali dengan realias zaman yang telah berubah.

Dari penjajahan fisik kita beralih pada hegemoni segala macam bentuk kemewahan khas budaya kapitalistis. Fetisisme pada berhala dan simbol-simbol mistis kini beralih pada fetisisme terhadap komoditas industri dan citra yang dikandungnya.

Demikian pula jilbab. Dari basis teologi kini jilbab harus berhadapan dengan gaya hidup populer. Jilbab berada pada persimpangan nilai-nilai spiritual dan tren. Fenomena jilbab, baik sebagai representasi spiritual maupun secara budaya, hampir selalu dikaitkan dengan kepribadian si pemakai serta hasrat dan pemaknaan subjektifnya.

Kenyataannya selama ini pemakaian jilbab memang didasarkan pada konsep keagamaan serta pemahaman dan penafsiran personal atas konsep tersebut. Seperti halnya simbol-simbol lain, hal yang melekat pada fisik adalah untuk mempertegas identitas suatu hal secara menyeluruh. Jilbab dalam hal ini dianggap membawa pertanggungjawaban karakter dan pola tindakan si pemakai dalam hidup sehari-hari.

Di sini saya akan mengambil posisi sebagai subjek pemakai jilbab yang telah diperbincangkan oleh dua penulis di atas. Saya mencoba mempertemukan dua gagasan yang terkandung dalam dua esai dan secara kontekstual menambahkan ihwal jilbab secara empiris dan fenomenologis.

M. Dalhar terfokus pada pakem standar berjilbab. Hal ini sebenarnya telah selesai dibahas dalam berbagai kajian maupun jurnal ilmiah tentang sejarah jilbab baik secara mitologi, teologi, bahkan ideologi. Bagi saya, membicarakan jilbab  tidak dapat terlepas dari persoalan aurat.

Hal ini menjawab hukum dasar serta alasan pribadi saya berjilbab yang secara tekstual ditegaskan Q.S. Al-Ahzab: 59. Sedangkan tentang bentuk atau ukuran jilbab yang panjang pendeknya seringkali menjadi kontroversi adalah interpretasi Q.S. An-Nur ayat 31.

Untuk persoalan ini kita tentu sangat mafhum karena segala wacana tekstual selalu membawa penafsiran pragmatik maupun dogmatik. Ada yang mengkaji persoalan dalam wilayah tekstual maupun kontekstual.

Tentang aurat, ulama yang mengkaji secara tekstual, seperti Ibnu Taimiyyah, bahkan mewajibkan tidak sekadar jilbab, namun juga niqab (cadar). Sedang para ulama lain ada yang berpendapat bahwa aurat perempuan adalah apa yang dapat menimbulkan fitnah dari tubuhnya. Hal ini dapat disesuaikan dengan budaya setempat.

Seperti rambut, misalnya, di Indonesia tidak menimbulkan hasrat (libido) bagi kaum lelaki, namun berbeda halnya dengan kondisi negara-negara di Timur Tengah. Hal inilah yang menjadi perdebatan serius ketika mufasir M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa jilbab di Indonesia adalah cukup pakaian terhormat.

Sebenarnya interpretasi batasan-batasan terhormat tersebut jelas, yakni nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku di masyarakat. Perbedaan dasar epistemologi tersebut memunculkan lahirnya tafsir yang berbeda-beda, dan tak ada kebenaran absolut di dunia ini.

Selalu ada jalan bagi ijtihad, asalkan sesuai dengan prinsip bil hikmah dan wajaadilhum billatiy hiya ahsan. Saya percaya bahwa kehidupan yang damai dan nilai humanisme di dunia ini lebih layak dijaga dibanding penafsiran subjektif yang berlandaskan prinsip ”cocoklogi” atau ”pokoklogi”.

Danang Muchtar Syafi’i menyoroti budaya kapitalistis yang menyebabkan munculnya berbagai mode jilbab, sebuah spirit religiositas yang justru menjelma sebagai sebuah fetisisme kebudayaan global. Secara garis besar saya setuju.

Tanpa disadari, perempuan memang objek konsumerisme yang sangat strategis. Namun, persoalannya bukan pada gaya atau berbagai model hijab/jilbab/kerudung yang tercipta, sebab yang seperti itu lahir dari kreativitas manusia sebagai makhluk seni dan visual.

Pada problematika ekonomi, fokus kita adalah bagaimana agar industri lokal tanggap terhadap perubahan zaman sehingga kejayaan mode fashion tidak dikuasai oleh industri- industri raksasa semata.

 

Masa Kini

Bagaimana nuansa jilbab era kini? Menarik untuk mengingat catatan Dijk (1980) dalam Adlin (2011) yang menyatakan cadar justru  jarang dikenakan para mahasiswi di institusi-institusi perguruan tinggi Islam, namun mahasiswi di universitas sekuler kadang memilih untuk mengenakannya.

Diperkirakan perwujudan Islam yang lebih ekstrem didukung mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, namun didukung mereka yang menemukan pentingnya Islam lebih kemudian dalam kehidupan mereka.

Saya ingat pengalaman pribadi ketika saya aktif dalam beberapa gerakan yang mendasari mission-nya pada beberapa manhaj tertentu. Suatu gerakan memiliki warna khusus, yang ternyata di dalam warna khusus itu termasuk juga ukuran jilbab.

Ketika suatu hari saya mendatangi sebuah kajian di manhaj A namun memakai standar berjilbab manhaj B, saya justru teralienasi dan mendapat perlakuan yang berbeda. Bahkan lama-kelamaan saya tidak diakui untuk menimba ilmu di sana. Menarik, di sini jilbab berubah sebagai simbol komunal, bahkan politik.

Saya tentu saja tidak setuju terhadap hal ini. Menjurut saya, fenomena mengultuskan sebuah gerakan tertentu justru menyebabkan umat secara umum mengalami perpecahan, bahkan perepcahan yang masih dalam satu tubuh (agama) Islam.



Jilbab adalah tentang bagaimana muslimat membangkitkan kesadaran iluminatif sebagai representasi jiwa yang tercahayai dan diri yang tersucikan semata untuk Tuhan, bukan sekadar kesadaran ideologis yang rentan terhadap berbagai permainan semiotik yang bercampur dalam berbagai kepentingan untuk berkuasa.

Hal lain yang mengganggu adalah bahwa ”berjilbab” di Indonesia masih senantiasa dikaitkan dengan tempat-tempat suci dan terhormat seperti rumah ibadah dan forum pengajian saja.

Jilbab dianggap tak layak dikenalan saat mengobrol dengan pekerja seks komersial, bergaul dengan para seniman, menemui pegiat budaya, atau mendatangi konser-konser musik outdoor di mana anak-anak muda sering menenggak minuman keras dan obat-obat terlarang.

Saya ingin menjadi manusia dengan berada di mana saja.  Selama ini semua simbol agama, tidak hanya jilbab, dianggap berada di menara gading yang tinggi, terpisah dari masyarakat yang terburu takut sebelum mendekatinya.

Saya tak sepakat dengan hal itu. Saya sadar bahwa tugas kemanusiaan adalah milik siapa pun. ”Hijab” yang berarti ”memisahkan” atau ”menutupi” tidak lantas diartikan dengan menarik diri dari segala akses, apalagi menarik diri dari tempat-tempat di mana penyakit sosial berada.

 

Tanggung Jawab

Saya menyambut gembira karena negara kita kini semakin akomodatif terhadap perempuan yang ingin menunaikan hasrat untuk berjilbab. Institusi-institusi dan segala jenis profesi tidak diskriminatif terhadap karyawan yang berjilbab.

Namun, tanggung jawab perempuan berjilbab, seperti seluruh manusia di muka bumi ini, adalah menjadi pemimpin. Jilbaber ikut bertanggung jawab memerangi semua persoalan bangsa seperti kemiskinan, kebodohan, serta korupsi. Memakai jilbab bukan berarti menuntut hak untuk berbeda.

Jilbab adalah tanggung jawab pribadi yang tak dapat menggugurkan tanggung jawab manusia sebagai absolute entity, yakni menciptakan kehidupan yang harmonis di muka bumi ini melalui perjuangan (jihad) di berbagai bidang.

Tantangan kita kini adalah hal-hal yang ”tak terlihat” seperti wacana dekonstruksi syariat melalui kapitalisme global serta berbagai perang pemikiran isme-isme yang cenderung membawa kita pada claim of truth personal. Dalam semua gegar bingar itulah, kita semua diuji sejauh mana keikhlasan kita untuk terus berjalan, mencari dan menemukan Tuhan (kebenaran mutlak).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya